Altarok Yang Saling Menguatkan

Cahaya matahari pagi menyambut pagi hari laki-laki berambut coklat tua itu dengan hangat. Pagi hari memang selalu terasa dingin tetapi akan terasa hangat secara bersamaan, ketika sudah bertemu dengan cahaya langit.

Haikal bangun dari tidur panjangnya, dan memang benar-benar panjang. Mungkin kemarin adalah hari dimana seorang Haikal Bulan Pratama memutuskan untuk mengalah melawan sifat keras kepalanya yang meminta untuk tetap kuat.

Haikal merasakan arti istirahat yang sebenarnya. Setelah bertahun-tahun menahan rasa lelah yang pikiran dan hatinya tampung, akhirnya tumpah kemarin hari.

“Mal” panggil Haikal baru satu langkah keluar dari kamar. “sarapan apaan” tanya to the point dan langsung mengisi kursi kosong di meja makan.

“Roti bakar. Ini gua siapin roti sama selainya, lo bakar sendiri bisa kan” jawab Malan yang sudah bolak-balik dari dapur ke meja makan berkali-kali.

Haikal mengangguk dengan jumlah yang tidak terhitung, mungkin karena efek masih mengantuk. “Ibu kemana?” netra Haikal terus mengikuti kemana pun Malan pergi.

“Hah?” Malan menatap Haikal, menghentikan aktivitasnya.

“Ibu mana?” dan akhirnya kedua bola mata Haikal bisa menatap satu titik tanpa harus berlari dari sudut mata ke sudut yang lainnya seperti sebelumnya.

“Oh” Malan langsung melanjutkan aktivitas cuci piringnya setelah mendengar perkataan Haikal yang sempat dia lewati. “tadi keluar pagi-pagi”

“Mau ngapain?” kali ini Haikal hanya menatap punggung tegap milik Malan.

Malan memutar tubuhnya, menghadap Haikal untuk beberapa detik, “mending lo makan. masih pagi ga baik nanya nanya mulu ke orang” ucapnya.

Haikal memasang wajah jengkelnya. “ya kan cuma mau tau. gua kan baru bangun” Haikal mendumel sendiri.

Selesai mencuci piring, Malan kembali duduk di kursi saat dia sarapan tadi pagi, di hadapan Haikal lebih tepatnya. “Bakar sana rotinya”

“Gak, orang gua gamau roti bakar” jawab Haikal sewot, masih menyimpan perasaan kesal.

Malan terkekeh melihat sifat sahabatnya yang tidak pernah berubah. “Lo udah kabarin anak altarok belom?”

Haikal berhenti mengunyah, “kabarin apaan?” tanya Haikal menatap Malan penuh heran.

“Ya kabarin aja lo dah bangun atau gimana kek. Lo kemaren tidur jam tujuh baru bangun jam segini coba” jawab Malan. “Lo itung aja berapa jam lo tidur”

Haikal langsung menghitung menggunakan jarinya, “dua belas jam kurang lebih”

“Lama kan?” ucap Malan yang sudah mengetahui jawabannya jauh sebelum Haikal menghitung. “itu tidur apa praktek meninggal, lama amat”

“Anjing” kata Haikal dengan sangat jelas. Haikal lanjut menghabiskan sisa roti yang masih ada di tangannya, sedangkan Malan fokus memainkan ponselnya.

“Mal lo tau gak?” Haikal memulai sesi bicara yang baru. Malan menoleh dan mengangkat dagunya sekali, bertanya ‘apa?’ menggunakan bahasa tubuh.

“Anak altarok pada kesamber petir semua” jawab Haikal cepat. Malan langsung mengerutkan keningnya, “lah di sana ujan petir emang?”

“Engga sih” Haikal lanjut mengunyah. Setelah minum beberapa teguk air putih dari gelasnya, Haikal melanjutkan kalimat yang sempat dia gantung tadi, “kesamber Tuhan kata gua”

DUKK

Malan reflek menendang kaki kursi yang sedang Haikal duduki dengan tiba-tiba, membuat Haikal kaget dan panik sekaligus karena masih memegang gelas kaca di tangannya. “Anjing, Malan”

“Omongan lo sinting” Malan tidak memperdulikan makian yang baru saja keluar dari mulut Haikal.

“Serius ini gua mau cerita dengerin dulu” Haikal menarik kursinya agar kembali ke tempat semula.

“Ya yaudah cerita aja, dari tadi juga gua dengerin” jawab Malan.

“Nih, coba lo baca dah” Haikal mengambil ponselnya dan mengotak-atiknya sebentar sebelum memberinya ke Malan. “liat ego, gua rasa mereka beneran kesamber rame rame”

Malan membaca pesan panjang dari 5 kontak yang berbeda-beda. “terus mau lo jawab apa?” tanyanya sambil mengembalikan ponsel Haikal.

“Nah gua bingung ya, gua gatau harus jawab apa kalo mereka semua begitu barengan. Tiba-tiba kosong otak gua” jawab Haikal.

“Jawab aja semau lo, mereka juga pasti kenal sifat lo” Malan memberi saran.

“Ntar dah gua pikirin lagi abis mandi” Haikal berjalan menuju dapur, bertujuan untuk mencuci piring bekas sarapannya tadi.

“Kal” panggil Malan.

“Hah” jawab Haikal spontan. “bentar masih nyuci” lanjut Haikal.

“Gua juga ngomong kayak mereka ke lo” Malan masih tetap melanjutkan apa yang ingin dia sampaikan.

“Apa?” Haikal buru-buru menyelesaikan tugas cuci piring dan langsung berlari kecil, kembali ke meja makan.

“Apa? ngomong apa?” tanya Haikal memastikan.

“Tapi dengerin omongan gua” jawab Malan.

“Iya apaan emangnya” tanya Haikal lagi.

“Kalo lo nyerah, gua yakin Sheren bakal nangis kalo sekarang dia masih ada” ucapan Malan kali ini sama sekali tidak pernah terlintas dipikiran Haikal sedikit pun.

Dengan Malan membahas Sheren dengan sangat tiba-tiba itu membuat Haikal terkejut ketika mendengarnya.

Melihat Haikal yang terdiam dan tidak bicara apa apa, Malan kembali membuka suara, “jadi gua minta sama lo-

Malan menggantungkan kalimatnya, menunggu agar Haikal menatapnya saat dirinya sedang bicara

-jangan bikin gua ngerasa gagal sebagai abang buat yang kedua kalinya” lanjut Malan.

Malan masih menatap Haikal dan tiba-tiba mengucapkan, “gua emang bukan abang lo, gua ngomong gini juga karena gamau Sheren sedih kalo ngeliat lo dari surga”

“Bukan karena gua khawatir sama lo” lanjut Malan berbohong. Mungkin Haikal juga tahu apa yang dia katakan adalah kebohongan. Mustahil kalau Malan mengatakan dia tidak mengkhawatirkan Haikal.

Haikal pasti tahu maksud Malan berbicara seperti itu. Karena Malan tahu betul Haikal paling tidak suka di kasihani, jadi Malan mengucapkan itu jaga-jaga jika Haikal merasa di kasihani.

Saat Malan hendak meninggalkan Haikal sendiri, Haikal membuka suara, “tapi Sheren juga pasti tau gua selalu pura-pura bahagia setiap di depan dia”

Rasanya ingin menangis sekarang juga mengingat segala kenangan yang sudah Malan lewati bersama sang adik kesayangannya. Tidak pernah seorang Malan mengajak temannya untuk bertemu dengan Sheren, karena Malan takut temannya akan memandang Sheren aneh.

Jadi, Haikal benar-benar manusia pertama yang menatap Sheren sebagai manusia biasa yang sehat. Melihat Sheren bahagia, Malan mulai merasa tenang setiap kali ada Haikal di samping adiknya.

Kenangan yang masih Malan ingat dengan jelas sampe sekarang itu adalah adiknya selalu menceritakan banyak kisah selama Haikal menjaganya selagi dirinya bekerja di cafe.

'Aku ngeliat kak Haikal tuh masa kayak macan yang dipaksa buat main sirkus padahal keadaan dia lagi ancur banget, tapi dia ga bisa dan ga boleh keliatan rapuh. Karena macan kan emang dikenal hewan yang kuat sama berani. Menurut abang gitu ga sih?'

Kalimat yang selalu membuat Malan bingung dengan maksud perkataan itu setiap kali dia mengingatnya. Dan kini, jawabannya sudah ditemukan.

Mungkin Malan juga akan rela jika orang lain mengira Haikal adalah kakak kandung dari Sheren, karena untuknya kebahagiaan Sheren selalu menjadi nomor satu dihidupnya.

Dan sampai sekarang kalimat indah yang Sheren pernah ucapkan kepadanya itu belum pernah dia ceritakan pada Haikal selama ini.

“Iya gua ga bakal nyerah” ucap Haikal tiba-tiba.

Tatapan Malan yang sedari tadi melamun menatap titik lain selagi pikirannya dipenuhi ombak besar langsung menatap Haikal setelah mendengar perkataannya.

“Gua ga bakal nyerah sama hidup gua” ucap Haikal lagi.

Malan masih diam layaknya patung di tempatnya. “tapi gatau sih ntar kalo pikiran gua lagi kacau, mungkin bisa aja nyerah”

Malan yang tadinya berdiri seperti orang kaku langsung mengambil gelas yang berisi air dan siap-siap untuk menyemburkannya pada Haikal.

“Iya iya engga” Haikal tertawa puas. “lagian gua ngomong lo nya diem aja, emang gua ngomong ama patung apa”

Malan menghampiri Haikal dan memeluknya tiba-tiba. “Lari Kal, tutup mata lo. Inget kata kata gua, jangan pernah ketemu sama kata nyerah. Jangan” ucap Malan tepat di dekat telinga Haikal.

“Oke nyet” tidak sampai 5 menit, Malan langsung melepas pelukannya dan menoyor kepala Haikal.

“Gua bilangin Sheren lo, sifat buruknya kaga ilang ilang!” teriak Haikal sebelum pintu kamar Malan benar-benar tertutup rapat.

“Bangun Kal, sifat lo lebih bangsat” ucap Malan dibalik pintu kamarnya yang dia buka hanya untuk membalas Haikal.