Berjuang Sekali Lagi

Pagi itu, Haikal yang sudah menunggu lama bisa bernapas lega, karena bus yang akan mengantarnya bertemu sang ibu akhirnya datang juga.

Setelah mendapatkan tempat duduk dan menemukan posisi nyaman, ia langsung mengeluarkan telpon genggam miliknya.

“Bang ekaall” suasana hati yang berbahagia terpancar jelas dari nada suara yang terdengar setelah panggilan telpon tersambung.

“Kra, maaf ya gua ga bisa jemput lo ke bandara”

“Santai aja sih bang” “Udah gapapa, temuin dulu ayah pratama. Nanti medalinya gua taro di kamar lo ya. Ntar mau gua pajang bareng lo”

Sebuah senyuman yang tidak terlihat oleh siapa pun terukir di wajah laki-laki berambut hitam-coklat itu. “Iya, tunggu gua ya”

Dan panggilan telpon dimatikan tepat saat kendaraan beroda empat itu berhenti di sebuah halte.

Disambutlah dengan senyuman dan pelukan yang belum lama ia rasakan. Sambutan yang sederhana tapi entah kenapa membuat Haikal merasa sangat nyaman.

“Haikal, kamu sudah siap nak?”

“Sudah bu” . . . Sebuah kalimat dengan tulisan berukuran besar terpampang jelas di sisi atas gedung berwarna abu-abu merah tersebut.

“Lembaga pemasyarakatan cipinang” Haikal membacanya dengan sangat pelan nyaris tidak mengeluarkan suara. Lalu ditatapnya sang ibu dengan penuh tanya.

Apa maksudnya? Mengapa sang ibu membawanya kesini?

“Bu” intonasi suara Haikal berubah. Suara yang bergetar akibat sesuatu yang terlintas secara tiba-tiba dalam pikirannya.

Sang ibu hanya menatap Haikal tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Pandangan ibu semakin mengecil akibat sinar matahari yang secara langsung menusuk indra pengelihatannya.

“Bu, jangan bercanda” ujar Haikal. “Ayah Haikal ga mungkin ada di sini” ujarnya lagi, sedikit tertawa.

Sebuah tawa menahan luka sekaligus tidak percaya. Tidak mau percaya lebih tepatnya.

“Nak..” panggil sang ibu diselingi dengan isakan tangis yang entah kapan mulai terdengar.

“Kamu anak kuat sayang... Kamu kuat..” di genggamnya lengan Haikal dengan sangat erat.

“Haikal jangan seperti ini...” tidak hanya sampai dibibir dan suara. Tubuh kecil sang ibu sudah mulai bergetar, menggenggam tangan Haikal dengan penuh rasa khawatir.

“Kamu anak kuat nak” secara perlahan dan masih dengan tangisan yang menyebar ke seluruh tubuh, sang ibu mengangkat kedua tangannya dan memegang wajah penuh air mata itu.

“Haikal kamu anak yang sangat kuat, ya?” tangisan rasa sakit dari sang ibu membuat Haikal mempercayai apa yang dirinya pikirkan sedari tadi.

Ayahnya masuk penjara. Ayahnya seorang narapidana. Ayah Pratama yang selama ini Haikal cari ada di tempat yang seharusnya tidak di singgahi oleh siapa pun.

“Haikal dengerin ibu” ujarnya.

“Ayah orang jahat bu?” tanya Haikal penuh rasa takut.

Sang ibu menggeleng cepat, “Haikal dengerin ibu.”

Haikal lagi-lagi tidak sanggup dengan semua ini. Ternyata memang lebih baik tidak pernah berdamai dengan semesta jika pada akhirnya harus bertemu dengan rintangan seperti ini.

Haikal baru saja ingin melangkahkan kakinya maju menuju garis finish, tapi seakan-akan semesta menyuruh Haikal untuk menyerah sebelum berjuang.

“Bu...” panggil Haikal pelan, sangat pelan. “Haikal mau pulang” ucapan terakhir dari Haikal terdengar jelas bahwa ia sama sekali tidak menggambarkan emosi apapun saat ini.

“Engga Haikal” sang ibu kembali mengangkat kepala Haikal dan menatapnya. “Ibu bilang apa? Kamu boleh nangis, boleh rapuh.. boleh banget. Tapi jangan pernah menurunkan dagu kamu. Kalau kamu tidak salah, jangan pernah menunduk. Itu membuat kamu terlihat lemah di mata semua orang”

“Haikal anak hebat, ibu tau itu. Sekarang Haikal mau kan masuk ke dalam? Kamu harus berdamai dengan semestamu Haikal. Jangan di tunda-tunda lagi”

“Kalo memang semua orang akan mempunyai happy ending-nya masing-masing, Haikal mau ya berjuang sekali lagi? Haikal harus tau makna berjuang yang sebenarnya”

“Bukan berjuang mencapai garis finish dengan menahan luka. Tapi berjuang melawan luka sampai terlihat garis finish di depan mata”