Dimana Garis Finish Berada

Lelaki dengan marga Kafkama itu melangkahkan kakinya menuju kamar sang kakak.

“Bang, mau uluran” ucapnya setelah membuka pintu kamar Rezvan.

Di teras belakang rumah dapat kita nikmati indahnya suasana dimalam hari. Yang terkadang langit begitu cerah berhiaskan bintang-bintang dan terkadang nampak hitam mencekam menyosong turunnya air hujan.

Berkali-kali lelaki itu menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Setelah merasa siap, lelaki dengan hoodie hitam itu mencoba menaruh seluruh pandangnya pada satu titik.

Semesta, malam ini tolong izinkan putra bungsu Altarok untuk melepas semua topengnya.

Topeng yang selama ini ia jaga dengan sangat baik. Topeng yang membuatnya rela mengalah saat tubuhnya dilukai secara fisik. Topeng yang menjadi alasannya untuk tetap tegar mendengar segala makian dari insan-insan lainnya.

Tatapan pemuda itu lurus, menatap sang kakak yang tengah mengamati langit malam penuh bintang.

Ada setitik harap yang mungkin terlintas dipikirannya. Tentang keberhasilan yang tidak kunjung menjemputnya. Masih dengan kerapuhan yang sama, Jikal mengubah arah pandangnya.

Ia menutup matanya, menundukkan kepalanya. Dengan alasan sudah lelah dengan dunia. Menatapnya saja udah membuatnya ingin menangis.

Melihat itu, Rezvan bergerak pelan mengikis jarak antara mereka. Diletakkannya tangan penuh kehangatan di puncak kepala sang adik. Mengelusnya pelan, seolah ingin memberikan kehangatan yang sudah sang kakak siapkan khusus untuk dirinya.

“Nangis Le” Rezvan kembali menatap lurus, memandangi setiap lampu kota yang terlukis indah di depannya.

Dan terdengar suara tangisan yang sangat pelan, hampir nyari tidak terdengar namun sangat jelas menggambarkan bahwa kerapuhan tiada ampun sedang menimpa orang itu.

“Udah ya Le?” ucap Rezvan. “Kuatnya udahan dulu...”

“Gua tau lo orang kuat. Kuat banget” Rezvan sedikit menekan suaranya di akhir kalimat. “Gua tau karena selama lo di sini gak pernah ada yang ngajarin lo buat jadi lemah”

“Tapi di sini juga gak ada yang pernah ngajarin lo buat kuat sendirian...”

Tangisan yang sedaritadi masih setia mengisi teras belakang Altarok malam ini tak kunjung reda. Sampai akhirnya, sebuah kalimat singkat berhasil ia ucapkan disela-sela tangisnya.

“Garis finish... jauh banget Kak” ucapnya lirih, tidak kuat menahan memori pait yang terus menari dipikirannya.

Pertanyaan yang tepat untuk ditanyakan. Tepat untuk ditanyakan kepada seorang laki-laki pertama yang berhasil mencapai garis finishnya.

Rezvan sangat mengerti apa yang sedang Jikal alami sekarang. Sama. Sama seperti dirinya dulu yang selalu ingin menyerah tanpa mencoba melangkah maju.

“Garis finish lo udah ada Le, ibun” jawabnya. “Ibun satu-satunya garis finish lo yang belom tuntas sampe sekarang”

“Kenapa belom tuntas?” Pertanyaan Rezvan tidak mendapatkan jawaban. “Coba gua tanya, kenapa belom tuntas?”

Kelopak mata penuh cairan krystal itu menatap bingung netra sang kakak. “Kenapa?” tanyanya berusaha bicara walau hanya bisikan yang keluar.

“Karena yang belom sampe di garis finish itu ibun, bukan lo. Bukan Jikaltara” jawab Rezvan, lagi dan lagi membuat Jikal tambah bingung.

“Kita tunggu ibun sampe sembuh, baru lo bisa ngerasain garis finishnya. Dan sekarang, yang mau gua bilangin itu...” Rezvan menggantungkan kalimatnya dan perlahan mengukir senyuman di wajahnya.

“Selesaiin masalah lo sama temen-temen lo. Mereka cuma ngalangin lo buat sampe ke garis finish. Gausah dibawa serius”

“Pengen buru-buru sampe....”

“Iya, pasti sampe. Jangan buru-buru, kalo kesandung harus ulang dari awal lagi” jawab Rezvan. “Tetep akan ada yang nunggu lo dateng. Mau selama apapun itu”