Abun dan Anak Hebatnya
Langit malam dengan angin dingin terhembus menyaksikan pertemuan bapak dan anak itu untuk kedua kalinya.
Pertemuan kedua jikal dengan sang ayah setelah bertahun-tahun menghilang.
“Mau minum?” tawar yang sang ayah.
Setelah melangkahkan kakinya masuk, Jikal langsung menghampiri seorang pria dengan kemeja coklat dan kacamata tipis terletak di batang hidungnya.
Tidak lupa mencium tangan sang ayah, memberi salam.
Anak itu tersenyum, “Ga usah bun”
“Gimana sekolahnya?”
“Gitu gitu aja sih, lumayan bikin cape” jawab Jikal seadanya.
“Pulang sekolah biasanya jam berapa?” tanya sang ayah lagi.
“Kalo ga ada kegiatan paling jam setengah empat”
“Di tempat yang kemaren Abun datengin, gimana? nyaman? seru ya”
Jikal mengangguk cepat, sangat setuju. “Seru banget, nyaman”
Sang ayah tersenyum manis, tapi ada perasaan ganjal di balik senyumnya itu. “Susah ya ngebuat Jikal pulang ke pelukan abun ibun lagi”
Laki-laki dengan nama Jikaltara itu menengok, kemana arah pembicaraan ayahnya?
“Kalo Jikal udah bahagia disana gapapa, jangan pergi dari tempat itu”
“Bun” panggilnya. “Altarok emang tempat Jikal pulang, tapi kan Jikal masih bisa pulang ke abun buat bales pelukannya”
Sang ayah meneteskan air matanya. Ini memang bukan pertama kalinya ia meneteskan air mata di hadapan anaknya,
tapi ini pertama kalinya melihat sang anak yang selalu ia rindukan dan sayang sudah dewasa dan tumbuh dengan sangat baik.
“Kamu diajarin siapa bisa jadi hebat begini..? hm? kakak kakak di sana ya..?” pemiliki marga Kafkama itu mengusap tangan Jikal dan menggenggamnya erat.
Seakan tidak dapat memegangnya esok hari.
Jikal hanya tersenyum tulus, mengangguk. “Kalo mau bilang makasih jangan ke Jikal bun. Makasih sama yang udah bikin Jikal terus bertahan”
Abun memejamkan matanya dan mengangguk bersungguh-sungguh.
“Ayo-
Abun tersenyum menahan isakan tangisnya
-anterin Abun bilang makasih sama mereka”
“Abun minta maaf karena tidak bisa mengurus kamu dengan baik. Maafin ibun-”
Tangisan abun pecah di situ. Di detik saat ia mengucapkan nama sang ibu.
“Maafin ibun masih belom bisa jadi ibu yang baik. Ya jikal ya? kamu anak hebat” mohon sang Ayah.
Tidak berbeda dengan sang ayah, tangisan Jikal yang sedari tadi sudah ia tahan sekuat tenaga pecah juga di hadapan sang ayah.
Bagaimana tidak menangis? Sang ibu sakit sampai tidak bisa berjalan, memang itu kesalahannya? Jelas bukan.
Benar kata Haikal, semesta bukannya tidak berpihak kepadanya. Tapi itu karena semesta sudah menyiapkan kebahagiaan di hari esoknya.
“Itu bukan salah ibun..” ucap Jikal. “Udah Bun, Jikal gapapa. Masa Jikal bahagia, abun sama ibun ngerasa bersalah terus?”
“Jikal mau kan maafin abun sama ibun?” tanya Abun masih dengan tangisnya yang tidak kunjung berhenti.
“Pasti. Udah Jikal maafin dari dulu Bun”