Cari Angin, Taman Rumah Sakit
Meja bundar di sudut taman rumah sakit jadi tempat kedua laki-laki itu menghabiskan malamnya.
Jikal masih duduk di kursi rodanya, menatap bintang. Ditemani Haikal yang juga sedang menatap langit malam, duduk di sebelah sang adik, menjaganya.
“Pernah mau nyerah ga bang?” tanyanya. Pertanyaan itu berhasil membuat Haikal menengok dan menatap heran.
“Kenapa nanya gitu? Mau nyerah?”
“Bukan Jikal” tolak Jikal langsung. “Tapi bang Naren...”
Haikal mengerutkan dahinya, “Naren kenapa?”
“Semua sih. Bang Malan, Rezvan, Juan, Naren, Cekra, semua punya sesuatu yang harus di perjuangin”
“Lah gua cuman gini doang. Masalah balapan. Kalo gua berenti balapan, perjuangan gua selesai ya kan?” Jikal terkekeh menatap Haikal.
“Kok ga nyebut nama gua?” tanya Haikal. “Kan gua juga berjuang”
“Ngapain?” laki-laki itu tersenyum tipis. “Semua percaya lo bisa, masalah apapun yang lo hadapin pasti akan selesai. Lo kan alesan kenapa altarok ada”
“Bukan lo yang punya kita, tapi kita yang punya lo” “Bukan lo yang nemu kita, tapi kita yang ditemuin lo” “Mungkin sama aja, tapi kalo di denger lagi maknanya bakal beda” lanjutnya.
Haikal menatapnya tidak percaya. Laki-laki yang selalu ngambekan, berdiri paling belakang kalo berantem, selalu bawa permen kemana-mana adalah laki-laki yang berada di depannya, bicara penuh makna kepadanya.
Haikal hanya mengangguk tersenyum, “Kejedot ya di mimpi?”
“Dih?”
“Tumben kalo ngomong ngena, ga nyakitin” jawab Haikal, lalu tertawa.