Hujan, 22:17

Aroma hujan yang baru saja reda membuat siapapun merasakan ketenangan dan kehangatan.

Pepohonan terlihat begitu segar setelah di basahi air langit. Masih tersisa bercak air hujan di batangnya maupun daunnya.

Pandangan seseorang terlihat kosong. Sangat kosong, seperti tidak ada kehidupan yang harus di jalani.

Pemakaman berlangsung dengan lancar. Selama perjalanan di bawah langit redup, Malan tidak melepaskan tangannya dari keranda sang adik sejak masuk ambulans.

Mereka kembali ke Altarok setelah Malan melepaskan semua emosinya di hadapan sang adik. Rasa sakit melihatnya ditinggal sendiri, rasa sedih yang sudah tidak bisa di utarakan lagi.

Dan rasa rindu yang selalu hadir. Rindu melihat sang adik berjalan, berlari, memanggilnya kencang. Semua kenangan terus berputar di kepalanya.

Hidup ini dia habiskan 90% dengan Sheren, setiap hari yang ia pandang hanya sang adik. Panggilan yang selalu ia tunggu hanya panggilan dari perempuan yang berbaring di ranjang rumah sakit itu.

Malan duduk di tepi bukit, teras belakang milik Altarok. Penampilannya sudah tidak terlihat seperti manusia sewajarnya. Sangat amat hancur.

Seperti hidupnya sekarang. Hancur.

Keenam sahabatnya selalu berada di belakangnya, menjaganya agar tidak jatuh. Menangkapnya jika menyerah. Seperti sekarang, mereka hanya bisa memandangi punggung sang kakak tertua yang benar-benar terlihat murung.

Dunia memang terasa hancur jika seseorang yang sangat kita sayang pergi. Tapi dengan kepergiannya, tidak berarti kita harus berhenti berjuang.

Kepergiannya harus membuat kita melangkah lebih maju.

“Mal, ke dalem dulu” ucap Haikal. “Angetin badan, dari pagi lu di luar” lanjutnya.

Lagi dan lagi Malan menolaknya, ini bukan tawaran pertama untuknya. Sampai jikal pun sudah menawarkan minuman favoritnya, tapi tidak berefek apa-apa.

Bukan karena malan tidak menginginkannya, tapi karena rasa kehilangan pada dirinya tak kunjung pergi.

Satu persatu keenam pejuang itu mulai duduk di sebelah Malan. Tidak untuk mengganggunya, tapi untuk menatap apa yang malan tatap. Merasakan apa yang malan rasakan.

“Kita mau nyerah?” tanya si bungsu.

“Biar dunia dan semestanya yang jawab. Tugas kita cuman ngejalanin” jawab Haikal, pandangannya menatap lurus.

“Semoga ada bahagia di garis takdir kita” ucap Juan.

“Semoga”

“Semoga” ucap Malan pelan, nyaris tak terdengar.

Dunia, biarkan yang bahagia merasakan kebahagiaannya, biarkan yang sedih merasakan perasaannya, dan biarkan rasa nyerah terus hadir di hidupnya. Permainan semesta sungguh tidak ada yang tahu, semesta itu seperti menonton film di bioskop.

Kita tidak akan tahu jika tidak menontonnya. Prosesnya harus kita lewati dengan membeli tiket. Setiap orang boleh mempunyai tiket tapi soal bisa mempunyainya, itu tergantung keputusan semesta.

Semesta seakan-akan mempunyai beribu-ribu cerita dan rencana untuk setiap orang. Semesta dengan mudah memberi kebahagiaan dan tanpa rasa ragu semesta memberi kesedihan juga.

Dunia dan semestanya, Izinkan ketujuh pejuang ini merasakan hasilnya. Terus membuat dan membantunya untuk semakin kuat. Bilang pada mereka, yang mereka hadapi sekarang adalah jauh dari kata 'tidak sanggup' bagi mereka.

Dunia dan semestanya, izinkan mereka melepas topeng kuatnya dari dunia. Ketujuh pejuang ini sedang merasakan rasa nyerah dalam hidupnya.

Semesta, semua mimpi, permohonan, dan doa yang selalu di sampaikan oleh manusia kepadamu adalah untuk memberi mereka harapan dan semangat.

Untuk dunia dan semesta,

Tolong biarkan mereka bahagia meski hanya untuk sementara. Tolong biarkan mereka bahagia saat sudah waktunya. dan izinkan mereka untuk berhasil sampai di titik itu dengan kaki tangannya sendiri.