Putra Bintang Kesayangan

Jarum jam menunjukkan pukul 8 tepat pada malam hari, kedua remaja yang dipenuhi rasa khawatir menginjakkan kakinya di gedung besar bernuansa putih bersih itu.

Mereka tiba. Tiba di tempat dimana sang kakak tengah berjuang.

Jikal melangkahkan kakinya dengan cepat menuju kamar seseorang seolah-olah tidak akan melihatnya lagi di kemudian hari. Disusul oleh sang kakak terakhir, Cekraza yang berusaha menyamakan ritme langkah kaki si bungsu.

“Le!-

sapa Rezvan yang sedari tadi menunggu kedatangan kedua adiknya.

-eh buset” Jikal melewatinya begitu saja? Bahkan dengan tidak sengaja menyenggol bahu Rezvan agar bisa menggapai gagang pintu lebih cepat.

“Kale kenapa?” tanya Rezvan penuh tanda tanya kepada Cekra.

Cekra mengatur nafasnya, berpegangan pada dinding rumah sakit. “Sumpah ga tau”

“Turun dari motor aja langsung lari” lanjutnya.

“Lo gapapa?” Rezvan berubah khawatir melihat kondisi Cekra yang terlihat sangat lelah.

Dibalas anggukan oleh Cekra. . . Semua hadir di ruangan itu.

Ruangan yang dipenuhi dengan cat putih, di sekelilingi dengan harum khas rumah sakit, dan dihiasi dengan bunga-bunga cantik di setiap sudut ruangannya.

“Kale udah makan?” tanya Malan berbisik. Menghampiri Cekra yang berada di sudut ruangan, fokus mengerjakan tugas sekolahnya.

Ya, Cekra rela membawa semua tugas sekolahnya yang menumpuk ke rumah sakit demi sang adik yang ingin bertemu kakaknya.

“Udah” jawab Cekra ikut berbisik.

“Ga nangis kan dia?” tanya Malan lagi.

Cekra menggeleng. “Cuman jadi buru-buru aja dia. Di tengah jalan gua sampe kena marah gara-gara pelan bawa motor, padahal udah delapan puluh kilomater perjam bang sumpah”

Malan tersenyum kecil, pandangannya terlempar kesisi tengah ruangan. Pemandangan seseorang yang menggenggam erat orang di hadapannya dengan mata tertutup damai dan sesekali mengistirahatkan kepalanya di atas genggaman tersebut.

“Mal” panggil Haikal dengan nada berbisik. “Keluar dulu” ucapnya.

Malan hanya mengangguk dan mengajak Cekra ikut dengannya. Orang yang lengannya ditarik secara tiba-tiba itu memasang wajah bertanya namun hanya dibalas anggukan oleh Malan.

Haikal meminta semua untuk menunggu di luar kamar. Memberi waktu dan tempat untuk Jikal melepaskan emosi dan rindunya pada Narendra yang tertidur lelap. . . “Kak....

Hari ini Jikal ulangan fisika, terus dapet sembilan puluh dua. Katanya setiap dapet nilai angka sembilan, bakal di masakin sop udang lagi...

Jikal laper. Pengennya makan masakan kak Naren doang...”

Jikal menunduk, menghembuskan nafas beratnya. Di waktu yang bersamaan, air mata pertama pun jatuh membasahi pipinya.

Jikal masih belum menatap sang kakak kembali. Ia tahu sang kakak masih tertidur nyenyak menutup matanya tetapi tetap, ia tidak mau menunjukkan air matanya di hadapan raga sang kakak.

Jikal meletakkan tangan Narendra pelan di sisi tubuhnya, mengusap air matanya sekaligus membelakangi sang kakak.

Dan menangis.

Tangisan penuh rindu yang selalu menjadi musuh terberat bagi seorang Kafkama Jikaltara. Pernah rindu berat dengan seseorang? Jangan tanyakan pertanyaan itu pada Jikal.

Karena kenyataannya dirinya selalu diselimuti rasa rindu yang mendalam seumur hidupnya.

Untuk langit, Tolong kembalikan sang putra Bintang kesayanganmu pada mereka. Mereka membutuhkan Bintangnya. Mereka harus menyelesaikan rintangan semesta bersama. Tolong berpihak pada mereka untuk yang terakhir kalinya.

Tolong izinkan mereka merawat putra Bintang kesayanganmu untuk yang kedua kalinya.

Biarkan mereka memiliki satu cahaya bintang di dalam langit perjuangannya yang gelap. Hanya satu, tidak lebih.

Satu bintang, Bintang Gaduhtra Narendra.

Mereka akan menjaganya seperti dirimu yang selalu menjaganya dari jauh di setiap malam. Tolong beri satu dari seribu putra bintang kesayanganmu pada Altarok.

“Kak-

Jikal kembali menatap Narendra setelah menenangkan dirinya yang semakin rapuh seiring detik jam berjalan.

-betah banget ya tiduran disini?”

Jikal mulai melontarkan pembicaraan ringan untuk menenangkan suasana hatinya.

“Kasur Altarok juga nyaman kak” lanjutnya.

Dinding pertahanan pun runtuh, air mata terjatuh tanpa berhenti, semua kenangan kembali terputar di kepala.

Jikal tidak bisa, Jikal tidak terima dengan kenyataan yang dialaminya. Baru kemarin bukan? Narendra bermain ps dengannya, memasak makan malam untuk Altarok, dan mengomel karena kamarnya yang berantakan.

Rasanya seperti baru kemarin sang kakak tersenyum memberitahu bahwa minggu ini adalah minggu terakhirnya mengunjungi rumah sakit.

“Kak, cepet bangun ya” Jikal menggenggam erat tangan Narendra. “Kita ketawa bareng lagi, main ps bareng lagi”

“Kita berjuang bareng dari awal lagi, ya kak? Tolong bangun...”

“Kak Naren punya Jikal, punya Altarok, punya ayah” suara Jikal kembali bergetar akibat bendungan air mata yang mengisi kelopak matanya kesekian kalinya.

“Bangun demi kita. Bangun kak...

Jikaltara mohon”