Rezvan, Haikal, Dunia dan Semesta
“Kenapa jon” Haikal mengambil asbak di meja sebelum duduk di sebelah Rezvan, lesehan.
“Gua mau donor-
“DEMI APA ANJING?! BAGUS DONG” Haikal langsung memotong perkataan Rezvan penuh semangat.
“Apaan sih anjing” Rezvan menarik Haikal yang tadi sempat menjauh karena berteriak. “Dengerin dulu”
“Gua mau tapi gua takut” ucap Rezvan dan suasana berubah serius.
“Yaelah Van cemen lo” Haikal menghirup batang rokok di sela-sela jemarinya itu. “Udah gede begini takut suntikan, malu ama umur”
plak!
Rezvan memukul belakang kepala Haikal. “Gua lagi serius anjing” Rezvan tertawa.
Melihat itu Haikal tersenyum tipis, ujung kedua mata bulatnya ikut melengkung tersenyum.
“Takut kalo situasi balik kaya dulu?” tanya Haikal.
“Iya” jawabnya langsung. “Gua pamrih. Gua pengen mereka nganggep gua setelah gua donorin darah gua”
“Kalo itu pamrih. Rubah aja”
Perkataan Haikal membuat Rezvan menengok, menatapnya bingung.
“Buat pamrih lo jadi perjanjian” jawab Haikal.
“Susah Mal. Istri ayah udah nolak gua mentah mentah dari awal” jawab Rezvan putus asa.
“Coba dulu kali”
“Kalo gagal?”
“Kalo berhasil?” tanya balik Haikal.
“Kalo gagal?” tanya Rezvan ulang.
“Mikirin gagalnya ntaran aja. Kalo berhasil gimana?”
“Ya bagus”
“Goblok” muka Rezvan berubah tidak terima. Raut wajahnya seakan-akan menggambarkan 'apaan sih?' akibat perkataan asal dari Haikal.
“kalo berhasil-
Rezvan fokus menatap Haikal. Sangat fokus menunggu jawabannya.
-lo udah di garis finish Van” lanjut Haikal.
“Ga kerasa kan?” Haikal tersenyum.
Mata Rezvan berkaca-kaca setelah mendengar perkataan Haikal. Dia tidak percaya itu adalah akhir dari perjuangannya selama ini.
Rasanya sangat cepat menuju akhir. Berbeda dengan dulu, saat dia masih hanya mempunyai kedua tangannya sendiri. Tidak di bangkitkan siapapun di saat ingin menyerah.
“Hebat Van” Haikal mengangkat tangannya, mengacungkan jempol untuk rezvan.
“Ngelewatin rintangan mustahil emang ga gampang. Tapi ga mustahil kan?”
Semua kenangan dari awal mereka bertemu terus berputar di kepala Rezvan. Jika Haikal tidak datang saat dia dikepung preman-preman, jika Haikal tidak datang saat dia di cegat kak Reno di kantin bimbel, jika Haikal dan Malan tidak terus meminta rezvan berjuang,
Rezvan tidak akan berada disini. Bahkan tidak jadi Rezvan yang sekarang. Rezvan yang hebat, kuat, dan berani.
Ayah, Rezvan sudah kuat sekarang. Ayah bisa bilang terima kasih ke Haikal. Rezvan baik baik aja bukan karena hebat tapi karena Haikal, batin rezvan dalam hati.
Tatapannya tidak lepas dari Haikal yang masih tersenyum kepadanya.
“Kal” panggil Rezvan setelah terdiam lama. Suaranya bergetar akibat suasana hatinya yang menangis.
Haikal tersenyum lebar, merespon panggilan Rezvan
“Orang kuat boleh rapuh Kal. Nangis ga bikin dosa”
Lagi dan lagi. Haikal mendengar kata kata itu kembali malam ini. Hatinya ingin teriak sekarang, matanya ingin menangis sekarang tapi selalu ditolak oleh pikirannya.
Situasi meminta padanya untuk kuat saat ini. Orang yang berada di hadapannya membutuhkannya, jangan memutar balikkan suasananya.
Rezvan yang membutuhkan ulurannya bukan Haikal yang membutuhkan uluran.
Semesta meminta Haikal untuk tetap kuat berulang kali, bertahan sedikit lagi. Semesta berjanji akan memberinya kebahagiaan saat waktunya tiba.
“Kalo yang selama ini lo lakuin cuman buat bantu kita kuat, lo kapan kuatnya? Kapan sampe garis finishnya?”
“Harus banget kita tungguin di garis finish?” Rezvan mendengus kecil, tertawa sedikit.
Setidaknya berhasil membuat Haikal sedikit tersenyum. “Iya gampang Van. Masalah gua mah sekali kedip juga kelar”
Rezvan tahu Haikal berbohong, tetapi topik pembicaraan ini tidak akan Rezvan lanjutkan karena Rezvan tahu itu cara Haikal menunjukkan sisi kuatnya.