Haikal, Altarok, Dunia dan Semesta

Sore itu di bukit, ada Haikal yang kelelahan usai penghormatan terakhir untuk sang ayah dan keenam pejuang yang menatapnya banggaㅡsangat hangat.

“Satu pejuang altarok lagi luka, gua harus apa!” teriak Rezvan, sorot matanya menatap bola mata Haikal. “Liat kan Kal, sejarang apa lo nyerah? padahal udah ada enam kepala disini, tapi semuanya masih gatau harus apa ngeliat lo yang senyerah ini”

Tolong Haikal, tolong tumpahkan semua beban pada keenam orang itu. Mereka janji akan membantu mu tanpa menghadirkan sebuah perpisahan ketiga.

“Bang, diangkat dagunya!” teriak Cekra ditengah hujan deras yang membasahi mereka tiga detik yang lalu. Mereka memang sedikit berjarak; Altarok dan Haikal.

Haikal tidak melanjutkan langkahnya tepat saat netranya menangkap enam bayangan pada aspal abu-abu yang sudah menunggu kedatangannya.

Senja yang memudar, mengizinkan langit kelam mengandung hujan menjalankan tugasnya. Dunia seluas ini punya lima samudra, ribuan bintang, bahkan empat planet kebumian dan empat raksasa gas yang menghias antariksa.

sama halnya; altarok juga mempunyai jutaan kisah hanya dari enam pemeran utamaㅡpunya lebih dari satu orang yang memiliki bahu seluas samudra, punya nama seindah makna bintang, insan yang bersinar dalam kegelapan layaknya bulan pada malan hari, dan pelukan setulus kasih sayang ibu.

Kini hujan turun membuat semua berkumpul di dalam rumah.ㅡTidak. Mereka masih tetap berada di posisinya masing-masing. Jika ada yang bertanya mungkin jawabannya bukan karena sudah terlanjur basah atau hanya ingin menghabiskan waktu di bawah hujan.

Mungkin saja jawaban yang akan keluar dari mulut keenam orang itu adalah karena sang pemilik payung belum ingin berteduh.

Siapa pemilik payung tersebut? Haikal. Siapa payung yang dibutuhkan ketika hujan turun? Altarok.

“Kal, gua kedinginan” ujar Narendra. “Kalo gua sakit tanggung jawab”

Haikal mengusap wajahnya penuh tenaga, sekaligus menghapus jejak air mata yang sudah berkamuflase dengan air hujan.

“Bang, lo keren!” tiba-tiba terdengar suara teriakkan dari sisi paling kiri. “Buat apa ditahan? disini ada enam orang yang bisa gantiin lo pake air mata mereka!” teriak Jikal, senyumnya terlihat mengembang di wajahnya.

Jikal melangkah maju, menerobos hujan yang sepertinya tidak berpengaruh sedikit pun padanya. “Mau nangis kan?” ucapnya saat berhasil menatap bola mata Haikal dari jarak dekat.

“Mau gua peluk atau mau nangis dulu?” tanyanya. Yang ditanya hanya diam seribu bahasa dan dalam hitungan detik jatuh dan bertumpu di telapak kakinya.

“AAAAAA!!!”

Haikal berteriak. Haikal sudah berani mengeluarkan suara dari sisi dirinya yang rapuh.

“Lagi Kal, lebih kenceng” pinta Juan yang entah dari kapan sudah merangkul punggung Haikal di sebelahnya.

“AAAAA” “AAAH ANJINGG!!!” “BANGSAT”

“Terusin Kal. Langit harus tau ada yang lebih jahat dari hujan sama petir. Ada yang lebih kuat dari awan. Ada yang udah berjuang melawan sakit dari musim ke musim”

“Karena lo orangnya bang” Cekra melanjutkan perkataan Rezvan. “Lo bukti nyata dari Tuhan yang bang Rezvan sebut daritadi. Orang kuat kayak lo ga seharusnya nangis di depan orang yang lebih lemah”

“Tapi karena udah terlanjur hujan, semoga enam orang yang emang ga sekuat lo ini bisa nutupin kerapuhan lo dari mereka” lanjut Narendra.

Aneh tapi nyata. Tidak mungkin tapi benar terjadi. Kalimat yang terus tersambung dari ketiga orang itu, terdengar seperti sudah direncanakan.

Ternyata benar, ikatan persahabatan mereka sudah lebih dari kata setia dan kompak. “Nangis aja bang, jangan nyerah. Nggak keren” ucap Jikal dengan nada keras.

Haikal berdiri dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki, jalan mendekat ke arah Malan. Semua hanya terdiam menonton apa yang akan dilakukan Haikal, termasuk Juan yang masih bertumpu pada kakinya, berjongkok.

Saat netra mereka bertemu Haikal membuka suara, “Mal, gua udahan ya kuatnya. Cape banget...”

Baru saja Haikal ingin memeluk sang abang tertua, yang memiliki banyak tanggung jawab untuk enam adiknya, Malan ikut berbicara. “Lo bukan anak sulung, lo juga bukan orang paling tua di altarok. Kenapa harus berlagak paling kuat?”

Seketika Malan tersenyum, merasa lucu melihat tingkah Haikal yang selama ini suka rela mengisi posisi dirinya sebagai abang tertua. “Di atas lo masih ada Rezvan sama Juan kalo lo mau jadi yang paling tua. Gua paling tua, paling banyak tanggung jawab, paling lama juga hidup di bumi, tapi gua tetep nangis. Gua cowo tapi kalo ada hal yang bikin gua sakit, ya gua nangis”

“Mal....” dan mendarat. Haikal tenggelam dalam pelukan sang kakak tertua yang langsung menaruh tangannya pada punggung sang pejuang.

Juan berjalan ke arah dua insan itu dan mengusap puncak kepala Haikal perlahan. Tersenyum sembari menggeleng, “lo anak tunggal tapi berjiwa sulung”

Kini giliran Narendra yang maju dan mengelus punggung Haikal berirama. “Kal.. Kal.. beban anak sulung aja lo ambil, gimana gak cape pundak lo nahan itu semua”

Dan berakhir, semua telapak tangan mendarat dengan perlahan di punggung kokoh Haikal.

Kamu sangat beruntung Haikal. Semua tangan yang nemerima uluran tanganmu masih ada di akhir garis finish milikmu, dan semua hadir.

Mereka mengembalikan uluran tangan yang selama ini sudah Haikal pinjamkan pada mereka. Uluran tangan yang ternyata berhasil membuat mereka kuat melewati rintangan.

Kecuali satu orang, Jikaltara. Jikal berdiri di hadapan Haikalㅡtepat di belakang punggung Malan. Jikal menggenggam tangan Haikal dengan kanan kirinya. Gua doain semoga tangan lo gapernah cape berbuat baik buat orang lain

“Kasih tau ke dunia kalo lo punya kebahagiaan yang ga akan bisa dimilikin orang lain, satu orang pun gaada” bisik Jikal, lalu mengelus belakang kepala Haikal lembut.

Pada akhirnya semua hanya akan menjadi kenangan. Lagi-lagi, mereka punya kisah tetapi dunia yang luas ini punya rahasia. Semua perjuangan dan semua luka sudah menjadi pajangan terindah dalam museum hidup mereka.

“Kal, laki-laki hanya akan menerima bunga di hari kematiannyaㅡHaikal menjauhkan mukanya, menunggu kelanjutannyaㅡjadi jangan lupa buat kasih bunga paling cantik di peristirahatan terakhir ayah Pratama”

“Ya gitu lah hidup, semua pasti balik ke sang pencipta lagi” celetuk Juan. Haikal menoleh ke asal suara yang berasal dari sisi kanannya. “gua tau ini ga adil buat lo, tapi percaya deh. kenangan yang udah lo buat sama ayah Pratama ga bikin lo rugi. kalo kangen ajak ketemuan di mimpi, bareng bunda lo”

Gantian sekarang Malan yang meletakkan tangannya di puncak kepala Haikal, menepuknya dua kali. “Lo bisa tapi lo cuma ga sadar aja lo bisa”

Haikal kembali menatap Malan yang baru saja melontarkan satu kalimat yang tidak asing ditelinganya. Ya, itu kata-kata yang pernah ia katakan pada Malan yang sempat ingin menyerah dengan hidupnya kala itu.

Haikal, seorang remaja laki-laki dengan marga Pratama berhasil menjadi sosok penghuni bumi yang membantu keenam pemeran utama kembali ke posisinya.

Dalam kisah ini, Haikal memang seperti itu. Selalu menjadi orang yang akan mundur dua langkah lebih belakang untuk memastikan semuanya berjalan baik-baik saja. Dia akan menjadi orang terakhir yang memeluk setiap insan dalam ulurannya, tapi ia juga yang paling menguatkan.

Dan benar, beberapa orang yang masih rela menjaga napasnya agar tetap terdengar oleh angin terlihat begitu bahagia, padahal tiap malam ia berlatih untuk terlihat baik-baik aja esok hari.

Kini buku dengan tujuh bab berisi kisah perjuangan setiap pejuang sudah resmi ditutup dan telah menjadi karya terindah yang dikenang.

Selamat berbahagia! Kita bertemu lagi di lain waktu dan kesempatan. Terima kasih sudah menjadi kenangan sekaligus pertemuan terindah yang pernah hadir di hidupku. Akan aku kenang dan ingat kembali masa-masa perjuanganmu dari titik terbawah hingga bisa meroket mencapai garis finish. Terima kasih perjuangannya. Terima kasih lukanya. Kita bertemu lagi, dengan cerita yang berbeda dan tetap kalian tokoh utamanya.