Haikal dan Tempat Pulang Miliknya
Angin dingin berembus kencang, siapa sangka cahaya panas dari langit akan kalah dengan sejuknya angin yang bertiup.
Haikal memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket, berusaha menemukan posisi yang nyaman.
Tidak lama setelah itu, Haikal disambut hangat oleh sebuah senyuman. Senyuman yang sudah lama hilang dari ingatannya namun tetap terasa familiar.
Sesampainya di halte bus ini, tempat dimana sang Ibu meminta untuk bertemu. Haikal menyambut sang Ibu dengan pelukan penuh rasa rindu.
Rasa rindu yang selalu terpendam selama bertahun-tahun. Rasa rindu yang akhirnya terbayarkan hanya dengan sebuah pelukan singkat ini.
“Ibu sehat?” ujar Haikal, masih dengan senyuman manis terpampang jelas di wajahnya.
Sang Ibu mengangguk pelan dan tidak lupa menunjukkan senyuman bangganya pada Haikal.
“Kamu sudah siap bertemu dengan abyah Pratama?” tanya sang Ibu berharap mendapatkan jawaban persetujuan.
“Ayah beneran masih ada Bu?” Haikal menatap lawan bicaranya dengan pandangan sendu. Nada suaranya berubah pelan dan ia menghembuskan napas dengan sangat berat seperti baru saja melepas beban terberat di hidupnya.
“Ada nak” nada suara sang Ibu sudah tidak bisa ditutupi lagi. Nada suara yang mulai terdengar bergetar hanya karena menatap sang laki-laki kuat di hadapannya.
Mata Haikal jelas tidak bisa menyembunyikan kalau ia sedang sedih sampai-sampai putra Pratama itu berhasil membuat kelopak matanya menahan air mata yang sudah meminta untuk jatuh.
“Bu...” Haikal menjatuhkan dirinya pada bangku halte, tidak kuat menahan emosi yang bahkan Haikal sendiri tidak mengerti emosi apa yang sedang ia rasakan saat ini.
Terasa seperti dunia akan runtuh detik itu juga. Dunia Haikal akan runtuh. Atau bahkan sudah lama runtuh?
Langit mulai memancarkan warna abu-abu kelam, pertanda bahwa hujan akan turun sebentar lagi.
Senyuman hangat itu hilang, kalaupun terlukis itu hanya semu belaka sebagai tanda rasa rindu kepada sang ibu.
Siang itu, ia habiskan dengan memutar kembali setiap detil yang mampu ia ingat tentang dirinya yang dulu melewati rintangan dunia hanya seorang diri.
“Maaf.. Bu...” keluh Haikal. Dengan tubuh berposisi menunduk dan tangan yang masih menggenggam erat sang Ibu, Haikal mengucapkan kata maaf.
Maaf untuk tidak bisa menjadi kuat saat ini. Maaf sudah karena gagal menahan air mata ini.
“Tidak apa-apa...”
Sang Ibu memeluk Haikal. Meletakkan tangannya di kepala Haikal, mengelusnya pelan.
“Tidak apa-apa Nak...” tidak tahan dengan rasa yang ia rasanya dalam hati, sang Ibu mulai menangis dengan Haikal yang berada di dekapannya.
Rambut hitam yang memilik sedikit corak berwarna coklat itu menjadi alas air mata itu terjatuh.
“Kamu sudah berusaha sekuat mungkin” “Kamu masih Haikal Pratama yang Ibu kenal” “Tidak apa-apa Nak...” “Biar semesta yang membayar setiap tetesan air mata kamu di masa depan”
Sang Ibu kembali mengelus punggung Haikal berkali-kali. Dan, kata “tidak apa-apa” tidak pernah lupa diucapkan oleh sang Ibu di setiap sentuhan lembut darinya.
“Tidak apa-apa Haikal. Kamu hebat”