Ibun

Suara gemericik air hujan kini mulai terdengar semakin deras. Awan tak kuasa menampung air di dalam tubuhnya, melepaskan satu persatu tetesan air bumi yang membuatnya lega.

Langit terus menghadirkan suana gelap di atas sana, udara dingin yang menusuk hingga ke tulang sumsum, serta suara guntur yang terkadang menggelegar melengkapi datangnya air hujan.

Sakit tetapi nyata. Ya, sudah 5 hari berlalu sejak kehancuran dunia dua insan itu. Ibun dan sang Jikaltara, anugerah terindahnya. Setelah badai akan selalu ada pelangi, tetapi setiap kehancuran tidak menjamin ada proses perbaikan setelahnya.

Hari ini, tempat dimana seisi dunia menyambut kedatang putra kecil dari keluarga Kafkama terasa sangat sendu.

Empat orang remaja laki-laki kini tengah berada di ruang tamu, hening sekali. Hanya terdengar suara jam dinding yang saat ini menunjukkan pukul 15.00.

“Bang” panggilan dari anak bungsu membuat ketiga kakaknya menoleh ke arahnya. “nanti pas susternya keluar Kale mau masuk sebentar ya”

“Mau ditemenin ga?” tanya Malan. “Ditemenin bang Naren, ya?” lanjutnya.

Jikal menggeleng pelan, “Ga usah gapapa, Kale sendiri aja”

Berhari-hari telah terlewati, tetapi anak hebat bernama Jikaltara ini masih belum menatap dunianya kembali. Dunianya masih dalam pemulihan di tempat yang sama namun terasa sangat jauh.

Pintu dengan tekstur kayu sungkai menjadi benteng tinggi untuk Jikaltara yang ingin bertemu dengan sang dunia.

Satu-satunya cara agar bisa menatap dunianya kembali adalah saat dunianya sedang tertidur nyenyak di alam mimpi.

Jikaltara berdiri dengan cepat tepat setelah mendengar suara pintu yang terbuka. “Ibunnya udah tidur, Sus?”

“Belom den” jawabnya sopan.

Jikal kembali merebahkan tubuh lelahnya di atas sofa ruang tengah. Semenjak pagi hari, Jikal tetap setia menunggu di tempat ia berada sekarang hanya untuk menanyakan pertanyaan yang sama berulang kali setiap suster keluar dari kamar itu.

Malan, Narendra, dan Rezvan menatap laki-laki itu penuh khawatir. Pemandangan di hadapan ketiganya benar-benar pertama kalinya untuk mereka melihat seorang Jikaltara seperti ingin melepas genggaman tangan dari Altarok.

Tidak pernah mereka melihat sosok Jikaltara yang seperti ini. Dimana Jikaltara yang mereka kenal? Dimana sosok Jikaltara yang selalu marah ketika melihat orang tersayangnya rapuh dan menangis? Ini bukan Jikaltara yang mereka kenal. Ini bukan Jikaltaranya Altarok. Tolong bawa pulang Jikaltara milik mereka.

Tetapi semesta selalu mempunyai jawaban atas pertanyaan dari para pejuangnya. Saat ini, laki-laki yang sedang memperjuangkan tatapan dan pelukan hangat dari dunianya memang bukan Jikaltara. Bukan Jikaltara dari Altarok. Tetapi dia adalah Jikaltara dari keluarga Kafkama. Jikaltaranya Altarok sedang melaksanakan tugasnya sebagai Jikaltaranya Abun dan Ibun.

Sang anak bungsu yang sedang menjalankan perannya sebagai anak tunggal. Sang anak yang penuh dengan keceriaan sedang menjalankan perannya sebagai anak hebat di keluarga kecilnya. Dan, sebuah hadiah terindah untuk Altarok yang kini sedang menjalankan perannya sebagai anugerah terindah milik Bapak dan Ibu Kafkama.

“Kale..” panggil Narendra lembut, lalu dibelainya rambut sang adik dengan penuh kasih sayang. “Ibun udah tidur, mau Kale samper ga?”

Jikal masih berada di dalam ilusi cantiknya selama ia tertidur. Kebiasaan Narendra memang tidak pernah berubah, dirinya tidak pernah membangunkan orang lain dengan cara menepuk bahkan dengan irama yang pelan sekali pun.

Kebiasaan itu berawal dari sikap sang ayah Gaduhtra yang selalu membangunkan dirinya dengan ucapan yang lembut.

Ruangan bernuansa putih dengan ukuran 4x4 itu kedatangan anugerah terindah milik wanita paruh baya yang sedang memejamkan matanya damai.

Jikaltara duduk di samping sang Ibun tercintanya, tidak lupa menggenggam tangannya yang mulai terlihat berkeriput.

“Ibun” panggilnya pelan. Sebelum masuk ke dalam kamar Jikal sudah bertekad untuk tidak mengeluarkan setetes air pun dari matanya.

“Ibun kenapa bisa kayak gini? pasti sakit banget ya”

“Ibun pasti bisa ngelaluin ini semua” dengan perlahan Jikal mulai mengelus lembut punggung tangan Ibun. “Ibun inget gak, dulu Ibun selalu ngajarin Jikal buat manggil abun sama ibun. Jikal emang gak inget tapi-

Jikal menatap Ibun yang sedang tertidur, lalu tersenyum.

-karena Jikal punya Ibu yang hebat dan Ibu yang selalu memprioritaskan anaknya di atas segalanya. Semua kenangan dari awal Jikal lahir bisa Jikal liat dari handycam punya abun”

“Abun bilang semesta lagi jahat sama ibun. Semesta udah buat ibun kayak gini. Kalo kata orang semesta memang suka kayak gini. Orang-orang yang Jikal sayang juga selalu diperlakukan seperti ini. Dan sekarang Jikal tau rasanya kayak apa”

“Rasanya kayak mau marah bun. Jikal mau marah banget sama semesta. Kenapa harus ibun yang jadi pelampiasannya?” kedua bola mata Jikal mulai berkaca-kaca sembari mengusap puncak kepala Ibun.

“Jikal minta maaf kalo Jikal punya salah. Jikal bakal nurut sama semua perkataan Ibun, tapi Ibun harus mau natap Jikal”

“Bun, ini Jikal. Ini Jikaltara yang dulu Ibun banggain karena udah bisa jalan sendiri. Jikal masih hidup bun”

“Sekarang Jikal udah bisa lari secepat mungkin, udah gak harus dipegangin lagi”

“Ibun, pas bangun nanti atau suatu hari nanti.. tolong panggil nama Jikal, ya? Kafkama Jikaltara juga gapapa. Jikal bakal nengok sejauh apapun jaraknya”

Jikaltara mendekatkan dirinya pada Ibun, “Ini Jikaltara, anugerah dari Tuhan untuk Ibun”

“Jikalatara selalu sayang sama Ibun” kalimat terakhir yang diucapkannya sebelum memberi kecupan tulus tepat di dahinya.

Hari sudah mulai gelap, jam dinding yang sedari tadi mengisi suara di dalam ruangan bercat putih itu sudah menunjukkan pukul 19.00.

Sedangkan di luar kamar suasananya bisa dibilang lebih hidup, karena terdengar canda tawa di sela-sela obrolannya. “Kale tidur, Ren?”

“Terakhir kali gua cek jam setengah tujuh masih tidur” jawab Narendra.

“Kalo gua temenin di dalem boleh gak sih?” tanya Rezvan, rasa bosan sudah mulai menguasai dirinya.

“Ke dalem aja, tapi jangan berisik” jawab Malan.

“Yaudah gua tidur aja dah di dalem” Rezvan bangun dari duduknya. “lumayan tidur sekalian ngadem”

Tiba-tiba Narendra melayangkan bantal yang diambil dengan asal ke arah Rezvan yang sibuk berjalan sambil memandangi ponselnya.

“Kalo jalan jangan sambil main hp”

“Justru ini kesempatan, gua jadi gausah disiplin” Rezvan menggantungkan kalimatnya. “wilayah lo bawel cuma di Altarok doang ya anjeng” lalu melempar balik bantalnya tepat mengenai tubuh Narendra yang sedang bersantai di atas sofa.

“Adek lo tuh bang” ejek Narendra pada Malan.

“Abang lo” jawabnya tanpa menatap Narendra sedikit pun.

“Kita seumuran bang”

“Temen lo” koreksi Malan, membuat Narendra membuang napasnya pasrah.

Rezvan berusaha untuk tidak menghasilkan suara sedikit pun, tetapi tidak sesuai dengan yang dibayangkan, pemilik marga Kafkama itu memang sudah terbangun dari tadi.

“Cara nentuin garis finish gimana?” tanya Jikal kepada Rezvan yang bahkan belum menutup pintunya dengan sempurna. “Kak?” ucap Jikal lagi agar terdengar jelas kepada siapa ia tanyakan pertanyaan itu.

Rezvan melangkah ke arah sofa yang terletak tidak jauh di belakang Jikal, “tentuin sendiri” jawabnya,

“Kale ga bisa makanya nanya...”

“Apa keinginan lo yang kalo dapet kesempatan mau lo wujudin itu” tanya Rezvan.

Jikal terlihat seperti berpikir untuk beberapa saat. Pikirannya masih tidak menangkap keinginan apa yang ingin ia wujudkan dalam waktu dekat.

Sampai akhirnya, netra indah miliknya terfokus pada seseorang yang sedang terbaring di atas kasur. “Ibun nyebut nama gua” jawab Jikal langsung menoleh bersemangat ke sang kakak.

”...kalo saat ini ya itu doang yang gua pengenin”

“Le, gua cerita sedikit gapapa ya?” ucap Rezvan lembut, karena akan melenceng sedikit dari topik pembicaraan.

“Penyakit trauma itu ga gampang. Ga gampang ngelewatinnya, apalagi nyembuhinnya. Gua percaya lo pasti bakal tetep ada di sisi Ibun tanpa anak Altarok minta juga. Tapi-

Rezvan secara tiba-tiba menumpukan satu lutunya pada tanah di hadapan Jikal

-orang yang bakal nemenin penyembuhan orang penyakit trauma itu harus bener-bener kuat. Kuat mental, kuat hati. Dan yang mau abang lo tanya sekarang itu, Kale yakin bakal baik-baik aja jadi orang yang nemenin itu?”

“pasti sakit banget rasanya” lanjut Rezvan, tatapan matanya benar-benar terlihat khawatir.

Jikal masih menundukkan kepalanya, menatap kedua tangannya yang tergenggam erat oleh sang kakak. “Berat tapi gua punya kalian” jawab Jikal tersenyum hangat sekali.

Rezvan yang mendengar itu tidak bisa menahan air matanya lebih lama lagi. Satu tetesan krystal berhasil terjun bebas dari kelopak matanya, “lo kuat banget si Le”

“Sejak kapan ade gua udah sebesar ini” kalimat terakhir yang Rezvan ucapkan sebelum menarik Jikal ke dalam pelukannya.

Rezvan memeluknya erat seperti tidak ada hari esok, dan tidak lupa untuk mengelus puncak kepala Jikal perlahan, “yang kuat ya hatinya, dunia lo pasti balik”

Malam hari terus berjalan hingga saat ini jarum jam sudah menunjukkan pukul 23.15 malam. Rezvan menepati kata-katanya yang bilang akan tidur sekalian “ngadem” di ruangan kecil ini.

Jikal masih fokus menggenggam tangan hangat yang sejak tadi sore berada di genggamannya.

“Ibun bangun dong... kata abun mata ibun itu mata terindah yang pernah abun liat seumur hidupnya. Jikal juga mau liat kali bun”

“Bun bangun... gapapa deh ibun mau panggil Jikal pake nama lain boleh, mau pukul Jikal lebih keras dari kemaren juga boleh”

Jikal menundukkan kepalanya, sudah kesekian kalinya sebuah air mata meminta akses keluar dari kelopak matanya yang sudah tidak kuat menahan genangan di dalamnya.

“Ibun-”

“Jikaltara....”

Rasanya seperti mengunci mulut detik itu juga. Jikal langsung menatap seseorang yang baru saja mengeluarkan suara miliknya, “apa bun?”

1 detik... 2 detik... 3 detik...

“Jikaltara”

Pemiliki nama itu menatap Ibun tak percaya, Jikal mengetahuinya, walaupun apa yang Ibun alami hanya sekedar di alam mimpi tetapi dirinya mengalaminya dengan nyata.

“Bang! Bang bangun bentar” Jikal sedikit mengguncang tubuh Rezvan yang tertidur lelap di tangan sofa.

Kedua membuka di tempat atas perintah Jikal, padahal Rezvan hanya ingin mengucek matanya bahkan tidak sampai 5 detik.

“Kafkama....jikaltara”

Jikal menatap Rezvan cepat setelah mendengar apa yang ingin dia tunjukkan. “Bang?” tanya Jikal.

Jikal masih tidak percaya dengan semua ini. Ternyata ini rasanya dibahagiakan oleh semesta setelah dijatuhkan ke dasar paling bawah.

“Jikaltara”

Mendengar panggilan itu terus berlanjut, Jikal buru-buru mendatangi sang ibu dan langsung menggenggam kembali tangan mungilnya. “Iya bun ini Jikal. Jikal ada di sini” ucapnya seperti ingin menangis.

Ternyata benar apa yang Malan bilang, memang nagih. Rasa bahagia ternyata memang seadiktif itu.

Dan kini Jikaltara berkata, apapun semesta berkata, Kafkama Jikaltara secara resmi akan mendaratkan langkah terakhirnya di sini. Dimana pun letaknya, Jikaltara percaya bahwa di sini adalah garis finish yang selama ini ia kejar.

Tidak. Bukan yang selama ini ia kejar, tapi yang selama ini terlewat olehnya di tengah perjalanan hidupnya.

Dengan itu, Jikaltara rela melangkah mundur sejauh apapun hanya untuk kembali pada tujuan yang seharusnya ia raih.

Mau ini garis finish atau bukan, Jikal akan menganggap ini sebagai garis finish miliknya. Selama di titik ini dirinya masih bisa melihat kedua orangtuanya termasuk keenam kakaknya, Jikal tidak masalah jika harus menyelesaikannya di sini.

Ini garis finish yang Jikal buat sendiri. Garis finish yang sebenarnya sudah disiapkan oleh semesta untuknya. Jikal percaya. mungkin walaupun dirinya tidak berada di garis finish yang sama dengan yang lain, Jikal percaya keenam pejuang lainnya itu akan selalu menjalankan perannya sebagai kakak yang sangat sempurna untuknya.

Perannya yang selau berhasil menangkap setiap kalinya dirinya tersandung atau jatuh.

Mereka pejuang hebat dan sosok kakak yang terhebat. Sekali lagi, ini Kafkama Jikaltara secara resmi telah mendarat di garis finish milik sendiri.

Kalimat yang mengatakan “mungkin tidak pernah bisa” kini dibuktikan oleh sang bungsu dan telah menjadi satu keberhasilan.

Siapa bilang setiap insan di dunia pasti ada yang tidak mempunyai garis finish? tidak ada.

Setiap insan pasti mempunyainya. Semesta tidak akan menjatuhkan mereka pada titik terbawah jika tidak menyiapkan kebahagiaan yang besar di akhir.

Sekarang Altarok percaya, mau bagaimana pun rintangan yang mereka lewati untuk menuju garis finish, pasti masih sanggup bagi mereka untuk dihadapinya.

Semesta sangat mengenal setiap insan yang ia beri tanggung jawab untuk menjadi pejuang.

dan pada akhirnya, kita harus mencari garis finish kita sendiri tanpa bantuan dari semesta.

Makasih semesta. Makasih untuk selalu berusaha memberikan yang terbaik.

dan untuk Altarok. tolong tetap menjadi tempat untuk setiap pejuang yang ingin melepas topeng kuatnya dari dunia. tolong tetap menjadi tempat untuk mereka yang tidak sempurna dalam hidupnya. dan tolong tetap hadir di perjalanan mereka sampai di kehidupan selanjutnya.

“Ibun bangun, nanti pasti Jikal temenin terapi, ya?” “Mulai sekarang Jikal ga akan kemana-mana” “Jikal akan terus di samping ibun” “I love you Bun, selalu”

ucapan hangat tak terhenti keluar dari mulut Jikaltara serta genggaman yang tidak pernah lepas dari keduanya.