Jikal, Rezvan, Haikal, Dunia dan Semesta

! play lagu – takut dari idgitaf !

Alunan lagu yang berjudul “Takut” mengisi halaman belakang Altarok dengan sopan.

Terdengar suara pintu terbuka, tidak jauh dari tempatnya.

Tempat dimana kedua kakak ini menunggu kehadiran adiknya? Mungkin bisa dibilang seperti itu.

Haikal menatap heran laki-laki yang baru saja meletakkan tubuhnya pada tanah, duduk di sebelahnya.

“Sop udang” ucap Rezvan tiba-tiba, menghancurkan keheningan diantara mereka.

Kedua insan lainnya menoleh dan menatap seseorang yang sedang menikmati pemandangan kota. “Ada sop udang di meja makan. Udah lo makan?”

Kini pandangannya dialihkan sepenuhnya kepada si bungsu. Menatapnya lembut dan tidak lupa dengan kedua sudut bibirnya yang selalu terangkat setiap berbicara kepadanya.

“Belom..” Jikal bahkan tidak mengetahui tentang hal itu? Karena kenyataannya yang dia lakukan hanya melangkahkan kakinya lurus menuju halaman belakang. Dan memang itu tujuan dia pulang.

“Mau gua ambilin?” tanya Rezvan lagi.

“Ga usah” jawabnya dengan penuh kebingungan. Ada apa dengan kakaknya? pikirnya.

Dari seberang sana, tangan Haikal memberikan isyarat kepada Rezvan agar tetap mengambilkan makanannya untuk Jikal.

Kini tempat indah untuk para pejuang hanya terisi dengan Haikal dan Jikaltara.

“Kak-”

“Apa alasan lo gabung sama Altarok?” potong Haikal.

Jikal kembali menatap lampu kota dan sesekali menatap kedua tangannya. Bingung

“Karena rasa percaya?” jawab Jikal dengan nada bertanya, terlihat bahwa dia sendiri pun tidak tahu jawabannya?

“Apa yang bikin lo percaya?” tanya Haikal.

Sebelum Jikal menjawab pertanyaan kedua dari Haikal, Haikal membuka suaranya lagi, “Selama gua hidup. Selama kaki gua nginjek bumi ini-”

Haikal menatapnya.

”-ga ada orang yang umurnya empat belas tahun langsung mau gabung sama orang asing cuma karena di janjiin garis finish, yang bahkan orang yang ngajak aja ga tau definisi dari garis finish itu apa”

“Lo dulu percaya? sepercaya itu?” tanya Haikal.

Perkataan Haikal sangat masuk diakal. Memang secara logika pun, seorang anak berumur empat belas tahun dengan mudah menerima ajakkan orang lain, itu sangat tidak masuk akal.

Terlebih lagi, mereka tidak kenal satu sama lain. Bahkan Haikal saat mengajaknya juga sangat mendadak dan spontan.

Haikal tidak tahu, tidak tahu bahwa ada manusia yang bersifat seperti itu.

Yang Haikal tahu, manusia itu egois dan keras kepala. Apapun kesalahannya sifat setiap manusia pasti diantara dua itu.

Egois atau keras kepala.

Sama dengan Haikal. Sudah terlihat jelas bahwa dirinya mengambil pilihan yang kedua. Keras kepala.

Tapi bagaimana dengan Jikaltara? Seseorang dengan sifat mudah percaya pada orang lain, termasuk egois atau keras kepala?

“Mungkin, iya” jawab Jikal yakin. “Iya bener”

Tatapan mereka bertemu setelah Jikal mengalihkan pandangannya, “Gua beneran sepercaya itu dulu”

“Kenapa?”

Tidak ada jawaban dari Jikal.

“Karena apa?”

Masih tidak ada jawaban dari Jikal.

“Karena lo butuh sandaran?” pertanyaan yang berbeda keluar dari mulut Haikal. “Yang gua tangkep dari lo ya itu”

Bergantian, kini Haikal mengalihkan pandangannya pada lampu kota dan sesekali menatap langit untuk mengabsen bintang pada malam ini.

“Mau sebejat sebangsat apapun mereka, yang penting gua punya sandaran saat ini. Itu yang terpenting dan itu yang gua butuhin sekarang” ucapnya lagi.

Haikal memang pintar. Pintar memposisikan dirinya sebagai orang yang bercerita.

Haikal akan selalu memposisikan dirinya lebih rendah dari orang yang bercerita. Kalau ditanya karena apa, jawabannya simpel.

'karena gua harus ngasih tau kalo lo jatoh lebih bawah lagi, rasa sakitnya bakal ditambah'

'kalo mau jatoh lebih bawah lagi, jangan cerita ke gua. gua ga sanggup berdiri di bawah lo cuma buat nahan lo biar ga jatoh'

Itu jawaban Haikal.

“Apa yang harus gua kejar? Gua ga tau lagi apa yang bakal gua kejar” ujar Jikal.

“Diri lo” suara familier terdengar di kuping kedua pejuang itu. Rezvan.

“Kenapa harus bingung? Kenapa harus takut? Ini hidup lo, jalanin pake aturan dari diri sendiri”

“Kalo gagal? coba lagi. Kalo jatoh? bangun lagi”

“Kalo itu hidup lo, lakuin semua. Lakuin semua yang ga bisa lo lakuin di hidup orang lain”

“Hidup lo harus terus berjalan Le. Jangan buat hidup lo jadi ga berwarna”

“Dimana pun lo berdiri, saat itu juga lo bisa tandain garis finish sendiri. Karena apa?”

Rezvan duduk di kursinya setelah berjalan kesana kemari menyiapkan makan malam untuk mereka di meja teras.

“Karena yang bakal ngerasain berhasil itu diri lo” Rezvan menunjuk Jikal tepat di depan dadanya.

Haikal seketika mengangguk tanpa ada yang menyadarinya. “Di saat lo merasa lo adalah orang paling bahagia sedunia, di saat itu juga garis finish lo udah terbuat” Haikal ikut berbicara.

“Garis finish ga cuma satu”

“Kalo lo pengen ngerasain garis finish setiap hari, bikin sendiri”

“Setelah dibikin...

nikmati sepuas-puasnya. Jadi orang yang paling bahagia di bumi ini”

Air mata mulai membasahi kedua pipi Jikaltara.

“Lah nangis” kata Rezvan penuh candaan.

Laki-laki berumur 14 tahun itu menangis. Menangis sempurna di pelukan orang yang tepat.

Orang yang sangat dia percayai dari pertemuan pertama.

Laki-laki yang berani untuk menerima ajakkan tidak masuk akal itu.

Laki-laki itu bernama Kafkama Jikaltara. Entah apa yang membuat anak kecil itu begitu kuat menahan segala serangan dari semesta.

Betapa hebatnya dia, Betapa kuatnya dia, Semua bisa melihat sosok itu di dirinya.

Tapi untuk seberapa besar lukanya, Seberapa dahsyat tamparan yang dia dapatkan, Dan seberapa lama sakit yang dia tahan, Hanya dirinya yang tahu.