Kesempatan Kedua
Seperti sudah terbiasa, kini Haikal melangkahkan kakinya menuju tempat dimana dia akan bertemu sang dunia, seorang diri. Haikal sudah berani untuk menemui orang yang dia sayang hanya dengan sendirinya.
Walaupun Ibu dan Malan tetap berada di satu lokasi yang sama, namun mereka sudah tidak perlu menemani Haikal dari jarak dekat.
Jam dinding menunjukkan pukul 13:08 siang dan laki-laki bernama Haikal itu sudah merasakan kebahagiaan terindah dalam hidupnya. Sang ayah Pratama kebanggaannya sudah hadir di hadapannya, tersenyum hangat sekali.
Haikal tidak ingin bersedih hari ini, air matanya tidak boleh terlihat dengan sang ayah untuk yang ketiga kalinya. Terlihat rapuh dan hancur seperti kemarin sudah cukup bagi ayah yang akan pergi jauh darinya.
“Gimana tidurnya? Nyenyak?” pertanyaan penuh perhatian dari sang ayah menjadi kalimat pertama yang Haikal dengar dari sang ayah hari ini.
Haikal mengangguk. “Ayah? Nyaman gak tidurnya?” tanya Haikal balik.
“Nyaman tapi ada yang kurang” ujar sang ayah tersenyum, senang membuat Haikal penasaran.
Haikal tidak menjawabnya, namun semua orang bisa bilang raut wajahnya saat ini benar-benar terlihat sangat penasaran akan perkataan sang ayah selanjutnya. “Kurang anak ayah yang harusnya tidur di samping ayah”
Perkataan sang ayah berhasil membuat Haikal tertawa geli. “Yah sumpah, kalo Haikal muntah dengernya dosa gak?” Haikal mengajaknya bercanda.
Sang ayah langsung memasang wajah datarnya, bertujuan agar terlihat marah dan merajuk di depan sang anak. Tapi justru Haikal makin tertawa puas saat melihatnya.
“Harusnya tuh kamu peluk ayah, bilang 'ayah kok romantis banget sih? pantes bunda dulu jatoh cinta ya sama ayah?' bukan malah ngomong 'ini kalo muntah dosa ga?'. Dosa kalo kata ayah, kamu udah buat ayah sakit hati soalnya” jawab sang ayah panjang lebar, masih dengan raut wajahnya yang ditekuk.
Haikal tidak bisa menahan tawanya lagi, tawanya pecah setelah mendengar ocehan panjang dari sang ayah. Matanya mulai berkaca-kaca saking tidak mengira ayahnya bisa lucu seperti ini.
Tidak lama ayahnya mulai ikut tertawa bersama setelah merasa selesai dengan akting cemberut miliknya. Haikal terus menatap sang ayah yang kini sibuk mencicipi makanan yang Haikal buat tadi pagi.
Tidak lupa untuk video call dengan Narendra, agar lebih pasti dengan hasilnya.
“Coba aja Haikal ketemu sama ayah lebih cepet” sebuah kalimat dari mulut Haikal berhasil mengubah seluruh atmosfer dalam ruangan itu. “Pasti Haikal udah sering senyum dari dulu”
“Eh pas udah dibikin senyum terus, ayahnya harus pergi...” ucap Haikal, nada suaranya semakin pelan dan kepalanya mulai menunduk. Padahal dia sendiri yang tidak ingin mengeluarkan air mata hari ini, tapi mulut dan hatinya tidak bisa di ajak bekerja sama.
Hatinya terus meminta Haikal untuk meluapkan semuanya, keluarkan air matanya sampai benar-benar habis. “Haikal tidak mau menangis?” tanya sang ayah tiba-tiba.
Tak disangka sang ayah akan menanyakan pertanyaan seperti itu. Di bawah sana, Haikal sedang berusaha kuat menahan air matanya yang sudah maksa meminta untuk terjun bebas.
“Nangis aja nak. Selagi ayah masih bisa hadir di depan kamu, Haikal boleh nangis sepuasnya. Jangan ada yang ditahan...” sang ayah meletakkan telapak tangannya penuh kasih sayang pada punggung atas Haikal dan sesekali mengelus pelan puncak kepalanya.
“Apa yang bikin Haikal nangis?” tanyanya lagi. Bahu seluas samudra itu perlahan terguncang dan suara napas yang tersendat-sendat mulai terdengar.
“Haikal nangis karena ayah mau pergi? Pergi dari kehidupan Haikal, pergi dari pandangan mata Haikal... iya? Itu yang bikin anak ayah nangis sekarang?”
Seperti ingin mengunci mulutnya rapat-rapat, Haikal langsung melompat ke dalam dekapan hangat sang ayah. Sekedar mendengar sang ayah mengucapkan 'anak ayah' saja Haikal sudah tidak sanggup.
Rasanya ingin mati detik ini juga. Apa yang semesta beri pada Haikal adalah hal yang sangat sulit untuk di hadapi dengan senyuman. Haikal pun tidak bisa menahan senyum di wajahnya untuk beberapa menit. Karena sebuah senyuman yang dia tatap dapat melunturkan senyuman palsunya.
“Haikal mau apa dari ayah? Permintaan maaf?” tanya sang ayah lembut dan Haikal langsung menggeleng keras sebagai jawaban. “terus Haikal mau apa dong”
“M-mau ayah jangan-n.. pergi... dari h-hidup Haikal....” Haikal menjawabnya di sela-sela tangisnya yang masih deras.
Sang ayah yang mendengar jawaban dari Haikal hanya tersenyum tanpa suara dan mengeratkan pelukannya. “Ayah minta maaf ya?”
Diletakkan dagu miliknya di atas puncak kepala sang anak, lalu memejamkan matanya berusaha mencari ketenangan.
“Ayah belom bisa jadi ayah yang baik buat Haikal... Belom bisa jadi suami yang sempurna buat bundanya Haikal... Ayah udah gagal ngurus anak ayah sendiri, udah pergi seenaknya dari hidupnya. Ayah udah ngecewain kamu sama bunda. Ayah banyak ya salahnya?” sang ayah tertawa tips, menertawai dirinya sendiri.
“Huhh....” lelaki pemilik marga Pratama itu membuang napasnya berat. Beban dan rasa bersalah yang tertanam dalam dirinya masih belum terlepas dengan bebas.
“Ayah sayang sama Haikal.. Ayah bangga sama Haikal.. Ayah bersyukur punya Haikal.. Ayah bahagia Tuhan kasih Haikal untuk Ayah”
Tubuh Haikal terus diayunkan perlahan olehnya mulai dari kiri dan kanan dan seterusnya. “Haikal sayang ga sama ayah?”
Tepat sebelum Haikal akan menjawab pertanyaan sederhana itu, sang ayah Pratama kembali bicara, “rasa sayangnya berkurang karena udah kecewa ya sama ayah?”
Haikal baru saja ingin memotong perkataan sang ayah sekaligus melepaskan pelukannya, tetapi tidak ada tanda-tanda pelukan ini akan berakhir dari tubuh sang ayah.
Merasa sang ayah sedang berusaha mengeluarkan kebisingan dan keresahan yang ada di dalam hatinya, Haikal membiarkannya untuk terus berbicara.
“Ayah udah ngecewain Haikal.. Udah bikin Haikal nangis.. Pantes aja rasa sayangnya Haikal berkurang buat ayah.. Ayah ga pantes dapet rasa sayang sebesar itu dari orang sehebat Haikal”
“Ayah jahat ya, Kal? Ayah jahat banget sama dunia kecil kamu. Ayah sudah berjanji akan mengurus kamu sampai tumbuh menjadi anak yang dewasa dan kuat kepada bunda kamu”
“Tapi ayah justru jadi tamparan paling keras dan meninggalkan kenangan paling pahit untuk Haikal. Ayah-” napas memburu serta suara menyeka air mata terdengar tepat di atas kepala Haikal.
“Ayah... lakuin hal sekejam itu... ke anak... ayah sendiri...” ucapan sang ayah terbata-bata. Diakibatkan memori yang terus berputar di kepalanya hanya memori dirinya dengan sang anak sampai Haikal berumur 5 tahun, lalu hidupnya dipenuhi oleh kegelapan.
“Ke anak ayah satu-satunya...!” dan tangisan pun pecah detik itu juga.
Tangisan yang terus ditahan dengan susah payah, tangisan yang terdengar sangat pilu dan menyakitkan. “Ya Tuhan nak...”
“Ayah jahat sekali sama Haikal, ya nak?” pelukan lama itu akhirnya terlepas dan ayah dari anak berambut coklat itu masih memandang kedua bola mata Haikal tanpa melihat ke arah lain.
“Ayah yang mempertemukan kita, tapi ayah sendiri juga yang udah ciptain perpisahan berat itu” tatapan ayah Pratama itu bisa dibilang seperti tatapan meminta maaf dan memohon agar permintaan maafnya dapat diterima oleh seseorang.
“Sakit, nak? Terlalu sakit, ya? Maafkan perbuatan ayah ya..” kalimat terakhir yang diucapkan sang ayah sebelum Haikal yang kini membuka suaranya.
“Ayah” panggil Haikal dengan nada suara yang sama sekali tidak terdengar seperti seseorang yang baru saja menangis.
“Iya bener, Haikal kecewa sama ayah. Tapi kan rasa sayang Haikal gak akan pernah berubah. Haikal masih sayang sama ayah, tambah sayang malah” ucapnya.
“Haikal tau ayah harus menebus kesalahan ayah selama menjalankan hidup yang gelap kayak gitu. Haikal juga tau kalo Haikal gak akan bisa ketemu lagi sama ayah, kalo bukan di mimpi”
“Tapi Haikal tetep mau kasih kesempatan kedua buat ayah” sang ayah menoleh, menatap anaknya penuh kebingungan.
“Kesempatan kedua biar ayah bisa jadi suami yang sempurna buat bunda dan-
Haikal menggenggam tangan sang ayah lembut.
-jadi ayah yang sangat amat hebat untuk Haikal” jawabnya dengan sangat tulus.
Ayah Pratama menangis bahagia. Setelah menjalankan hidupnya yang sangat gelap dan hancur, dia tidak menyangka akan diberi hadiah pertemuan seindah ini di detik-detik terakhir.
Itu. Itu alasannya mengapa sang ayah terus mengatakan jangan bersedih. Karena ini harus menjadi kenangan indah.
Dirinya terlalu merasa bersalah karena tidak bisa melukis beribu-ribu kenangan dihidup Haikal.
Anugerah apa yang lebih indah bagi seorang ayah yang bejat selama masa hidupnya tetapi tetap diberikan kesempatan untuk bertemu dengan anak sehebat Haikal?
Haikal.. Apa yang sebenarnya kamu lihat dari Ayah? Ayah sudah banyak mengecewakan kamu dan meninggalkan banyak luka dihati kamu
Dengan kamu menjadi sempurna dimata ayah seperti ini, sangat membuat ayah merasa gagal menjadi seorang bapak untuk kamu
Nak, ternyata kamu sudah dewasa...
Ayah tidak dapat kesempatan untuk menyaksikan perubahan itu secara langsung, tapi Haikal harus tahu bahwa ayah sayang sekali dengan Haikal melebihi apa pun.
Ayah mohon, Haikal jangan pernah menyerah dengan hidup Haikal karena hidup kamu sangat berharga bagi ayah
Kamu putra pertama ayah Kamu anak satu-satunya ayah Ayah sudah sangat menyayangi dan menjaga napasmu agar tetap berjalan sampai akhir hidup ayah
Jadi tolong jangan menyerah dengan seenaknya, nanti ayah bisa terluka
Kalimat yang pada akhirnya hanya tersimpan oleh sang ayah Pratama sendiri.
Segala ucapan yang sang ayah sebutkan dalam hati hanya akan menjadi kenangan dan memori pahit di dalam hidupnya.
“Ayah boleh kasih tau dua permintaan ayah sekarang?” tanya ayah, setelah merasa cukup untuk mengeluarkan air matanya.
Haikal menarik napasnya panjang dan menghembuskannya perlahan. Berusaha membuat dirinya yang hidup seperti sebatang kara di bumi ini untuk siap menerima hal yang tidak bisa diterima sepenuhnya oleh hati.
“Haikal mau ya ketemu sama bunda? Haikal samper rumah bunda atas nama ayah...” pas sekali, sangat. Perkataan sang ayah sangat menyakitkan.
Dalam hidupnya, Haikal tidak pernah sekali pun membayangkan dirinya harus merasakan hal yang terasa sangat pahit di mulutnya seperti ini.
“Ayah minta tolong sama anak ayah untuk dateng temui bunda dan minta maaf atas nama ayah. Tolong sampaikan maaf ayah untuk bunda...”
“Haikal di depan bunda bilang seperti ini aja, persis seperti ayah” ucapnya sebelum mengucapkan hal yang menjadi alasan utama Haikal menutup wajahnya dengan tangan, menahan air matanya yang terjatuh.
“Bunda, tolong maafkan ayah karena sudah meninggalkan mahkota dunia kesayangan mu sendirian. Meninggalkannya sendirian di dunia seluas dan sekejam ini. Ayah salah Bun, tapi ayah udah menebus kesalahannya. Bunda juga pasti akan bertemu sama Ayah sebentar lagi...”
“Sayang-” sang ayah tidak bisa berbohong. Dirinya sangat amat merindukan kehadiran orang yang dulu selalu mengisi dunianya penuh dengan warna. Dirinya masih belum bisa percaya dengan kepergiaannya pada yang maha kuasa meski sudah bertahun-tahun terlewati.
Lelaki paruh baya itu berbohong dengan perasaannya sendiri. Kepergian sang istri merupakan tamparan terkeras yang dia alami selama hidup.
Bunda Maya Kusuma Pratama berhasil meninggalkan luka yang terus terasa sangat sakit setiap harinya pada dua laki-laki bernama Pratama itu.
“Sayang, maafin aku. Haikal.. tumbuh kuat dan dewasa tanpa ada kehadiran aku di hidupnya...” dan pecah lagi tangisnya. Sang ayah mengucapkan kalimat seolah-olah dirinya sedang berhadapan dengan sang istri yang menatap dirinya dengan tatapan kecewa.
“Permintaan kedua ayah apa?” tanya Haikal. “Kalo mau buat Haikal nangis sekalian aja Yah, jangan setengah-setengah...” lirihnya.
“Haikal maafin Ayah” Haikal kembali ke dalam pelukan sang ayah dalam waktu sekejap setelah sang ayah menarik pelan tubuhnya dalam sekali gerak.
“Maafin ayah nak...”
“Maafin ayah Haikal.. tolong maafin ayah”
“Maafin ayah, maafin...” seorang ayah mengatakan beribu-ribu maaf pada anaknya dalam mata terpejam dan tangannya yang mengusap kepala Haikal berirama dengan detik jarum jam.
“Yang kedua ayah cuma minta Haikal untuk tidak lupa beribadah dan bilang makasih sama Tuhan...”
Belum selesai berbicara, pelukan penuh pilu itu terlepas secara kasar. “Apa?! Apa yang harus Haikal terima kasihin?! Coba ayah jawab Haikal!”
“Haikal ga pernah berterima kasih udah dipertemukan sama ayah. Karena apa? Ayah tau kenapa?!” Haikal menangis lebih hebat dari sebelumnya.
“Karena Haikal ga akan pernah mau ngejalanin pertemuan ini kalo akhirnya Haikal juga yang bakal ditinggal sama ayah...”
“Yah.. ini Haikal.. ini anak ayah” suara Haikal kini memelan, terdengar menyimpan banyak luka di dalamnya. “Haikal Yah” Haikal menunjuk dirinya dengan tegas berkali-kali di hadapan sang ayah.
“Ayah tau ga rasanya jadi Haikal? Hukuman mati Yah... Haikal harus ngerelain ayah Haikal sendiri pergi dengan cara terencana kayak begini?? seumur hidup Haikal juga Haikal ga akan pernah terima ini Yah....”
“Siapa Yah...” suara dengan penuh luka itu seperti mulai menunjukkan luka-lukanya. “Siapa di dunia ini yang rela ayahnya di panggil Tuhan di saat dia belom siap. Seorang anak harus nyaksiin dan harus tahu kapan ayahnya meninggal, dan harus bertemu di hari-hari terakhirnya di dunia karena hanya itu kenangan yang bisa anak itu kenang dengan sang ayah. Siapa Yah? Anak mana yang mau ngalamin cerita hidup kayak gitu? Pahit Yah... Haikal juga gamau..”
“Haikal mikir pas pembagian takdir buat setiap manusia itu Haikal pergi jauh atau emang ga hadir? Kenapa Haikal? Kenapa harus Haikal yang dapet jalan ini, ayah...”
“Haikal gamau...” runtuh sudah benteng kuat yang selama ini dia pertahankan di atas segala hal. “Haikal ikut aja ya sama ayah?”
Haikal kembali menatap netra sang ayah, “Haikal mau ikut sama ayah. Kita temuin bunda di surga terus kita jalanin hidup yang bahagia sebagai keluarga yang utuh”
“Haikal” panggil sang ayah, suaranya terdengar dingin. “Ayah ga suka perkataan kamu barusan. Ayah sakit dengernya, Haikal tau?”
“Anggap kehidupan bunda yang harus berakhir terlalu cepat dan kehidupan ayah yang harus berakhir dengan perintah adalah kesempatan untuk Haikal agar bisa lebih mensyukuri hidup yang Haikal jalani sekarang”
“Apa yang mau Haikal syukuri kalo kalian berdua pergi dari Haikal?” ngeluh Haikal. “Setelah bunda, sekarang ayah... siapa yang harus Haikal jadiin dunia Haikal lagi?”
“Shh udah udah... ayah masih di sini. Ayah ga akan ninggalin Haikal sebelum Haikal beliin rumah untuk ayah. Janji” ayah Pratama memberikan pelukan hangat penuh sayang kepada Haikal, mengusap punggung Haikal tanpa henti.
“Ayah ga akan ninggalin Haikal. Pegang janji ayah” ujarnya.
“Ayah harus ngurus Haikal yang bener dulu kalo gamau dimarahin bunda” jawab Haikal, suaranya tenggelam di dalam pelukan yang bisa memeluk satu samudra itu.
Dan kini, pada akhirnya Keduanya tetap merasakan sakit yang luar biasa tetapi ingin berbahagia di atas ekspetasi yang sama. Pada akhir cerita, manusia memang selalu dikecewakan oleh ekspetasi dan dipatahkan oleh kenyataan.
Sang Pratama dan putranya sedang berekspektasi sesuatu hal yang sangat indah. Tetapi dengan kata lain, mereka berdua sedang berekspektasi untuk menutupi kenyataan yang sudah tertulis dengan tinta permanen di takdir hidup mereka.
Ini pahit sekali. Sang ayah ingin menghibur sang anak dengan janjinya yang tidak mungkin bisa dia tepati. Dan sang anak membalas kebohongan janji itu dengan kalimat yang tidak akan meninggalkan luka. Dan yang lebih menyakitkan adalah, Haikal mempercayai janji bohong sang ayah karena sudah tidak tahu apa yang harus dia percayai lagi. Haikal jelas tahu bahwa ekspetasi sama sekali tidak bisa dipercaya.
Dan sekarang, jika dunia Haikal akan benar-benar pergi. Haikal sudah tidak mempunyai dunia yang bisa hadir menunjukkan wujudnya di depan Haikal.
Dunianya pun pergi tanpa meminta persetujuan darinya, untuk kedua kalinya.