Luka Yang Selalu Berhasil Ditutupi
“Gua bilang juga apa-
Malan kembali mencari posisi nyamannya setelah berhasil meraih asbak di meja terdekat.
-orang kuat ga selamanya harus kuat. Batu sih lo”
Entah sudah yang ke berapa kalinya Malan melontarkan omelan-omelan nya kepada Haikal.
“Gua bukannya maksa diri gue buat kuat Mal-”
“Itu lo maksa namanya” Malan memotong perkataan Haikal cepat.
“Kalo lo engga merasa maksa ke diri sendiri, itu artinya lo udah maksa. Lo ga bakal kerasa, karena mindset di otak lo tuh selalu 'udah gapapa, ntar juga bakal lewat'”
“Dan itu yang selalu ngebuat lo ga akan ngerasain yang namanya berjuang Kal”
“Setiap ada luka baru aja langsung lo tutup rapat-rapat”
Skakmat.
Tepat sasaran. Malan menembak dengan sangat tepat.
Luka. Luka yang selama ini selalu menjadi penghalang Haikal untuk bercerita. Luka yang selalu datang tanpa permisi dan menatap lama di hidup Haikal. Luka yang selalu berhasil Haikal tutupi rapat-rapat sekaligus menahan rasa sakitnya yang dalam.
Luka yang selama ini Haikal sembunyikan dengan susah payah, tetapi tetap terlihat oleh mereka. Altarok.
Siapa yang mengenal Haikal melebihi Altarok? Kita ubah pertanyaan dengan jauh lebih sempit. Siapa yang mengenal Haikal melebihi Malan?
Jawabannya tidak ada. Bahkan dirinya sendiri? Jawabannya tetap tidak.
Bagaimana ia bisa mengenal diri sendiri dengan sangat baik jika berdamai dengan semestanya saja masih belum sanggup?
Kerjanya hanya menutup luka, melupakan apa yang dialaminya dan fokus mengulurkan tangan.
“Tapi gua gapapa Mal. Gua ga ngerasa kenapa-kenapa” Boong. Haikal jelas berbohong.
Kedua netra coklat miliknya tidak bisa berbohong. Dirinya sedang rapuh. Sedang berhadapan dengan pilihan menyerah atau terus berjuang.
Sampai di sini kesimpulannya adalah, ada Juan yang menjadi sandaran untuk air mata Haikal. Dan kini ada Malan yang telah menjadi tempat Haikal menceritakan jahatnya dunia kepadanya.
“Mau nangis dulu?” tanya Malan pelan, melihat sang sahabat sudah mulai menunduk memegangi kepalanya.
Karena tidak kunjung mendapat jawaban, Malan kembali buka suara. “Pintunya gua kunci, abisin dulu air matanya. Gua jagain”
“Makasih” jawab Haikal lirih yang hanya terdengar olehnya.
Pintu halaman belakang terkunci bersamaan dengan air mata yang lolos terjatuh.
Haikal berhasil. Berhasil menahan genangan krystal yang sedari tadi meminta kebebasan di hadapan sahabatnya.
Haikal tidak ingin menangis di depan siapapun, walaupun semua sudah tahu bahwa seorang Haikal tidak bisa menahan benteng kokohnya lagi.
Haikal, semesta tidak meminta kamu untuk berjuang sekali lagi, tapi untuk tidak menutupi lukamu lagi.
Buka penutup lukamu, Haikal.
Jangan terlalu keras dengan diri sendiri. Kamu bisa meraih garis finish bahkan dengan tubuh penuh luka sekalipun.
Karena pada akhirnya luka kamu akan sembuh saat kamu udah menginjak garis finish.
Luka kamu perlahan-lahan akan sembuh di setiap langkah yang membawa kamu menuju garis finish.