Pemakaman, 17:02

Kini, sinar matahari pun mulai redup dan tergantikan oleh cahaya jingga yang indah dan menghangatkan setiap insan yang menatapnya.

Langit masih belum menunjukkan kegelapannya, tapi entah mengapa sebuah insan berbahu seluas samudra itu sudah merasa kehilangan arah sejak pagi hari.

Cuaca sore ini nampaknya enggan untuk bersinar cerah, sejuta awan yang terlukis cantik di angkasa mulai menghalangi sinar mentari dengan warna abu-abu miliknya.

Mungkin sang awan sengaja menutupi keindahan langit itu, karena salah satu pejuangnya baru saja kehilangan sang pahlawan hidupnya.

Rasa duka yang mendalam singgah menyapa Haikal. Kehilangan sosok ayah yang selalu terlihat sempurna dan bahkan sangat sempurna di matanya.

Haikal menangis histeris gila-gilaan saat kedua netra miliknya harus menyaksikan tubuh ayahnya yang akan tertutup oleh tanah merah selamanya.

“AYAH!!!” teriakkan Haikal sangat menggambarkan rasa lelah dan hancur. Intonasi suara di setiap tarikkan napas yang ia ambil terasa sangat berat hingga membuat orang di sampingnya bisa mendengarnya.

“AYAHHHH!!!” “AYAH-H... AYAH!!! AYAH” “AYAH BANGUN AYAH!!” “AYAH HAIKAL GABISA SENDIRI!!!” “AYAHHHHH!!!”

Tubuh Haikal sudah sama gilanya seperti pikirannya. Haikal terus bergerak secara kasar agar pelukan dari ketiga sahabatnya itu terlepas.

Hati Haikal mengajak sang mata untuk menolak situasi ini. Dengan berani sang hati mengatakan 'ayah Pratama ga boleh dikubur dulu, ayah bisa bangun Haikal. Haikal percaya 'kan sama ayah?'

Kalimat yang terus terdengar di telinga Haikal dengan suara khas milik sang ayah yang selalu menjadi lagu pengantar tidur untuknya dari rekaman suara di ponselnya.

“KAL!” Rezvan mengambil alih posisi untuk bisa berhadapan dengan Haikal dan meletakkan kedua tangannya di belakang leher serta jari jempolnya yang tersimpan erat di tulang rahang Haikal.

“KAL SADAR!” teriaknya.

Sorot mata Haikal beralih menatap kedua netra milik Rezvan. Tatapannya berubah memohon dan seperti meminta tolong kepada Rezvan. “Van, ayah gua belom mati Van..” ucap Haikal sambil memegang lengan Rezvan yang masih berada di posisi awal.

“VAN!” bentak Haikal. “Ayah gua masih hidup! Tadi dia bilang ke gua barusan! VAN! LO HARUS PERCAYA SAMA GUA...!!”

“GUA GA BOONG! GUA BENERAN DENGER SUARA AYAH PRATAMA” “MAL...” “REN...” “LO SEMUA HARUS PERCAYA SAMA GUA!!!” “KENAPA GA ADA YANG PERCAYA SAMA GUA??!!” Haikal terus berteriak dan tidak berhenti menggelengkan kepala, berharap usaha kecil ini bisa membantunya bangun dari mimpi buruk itu.

“AYAH GUA MASIH HIDUP!! AYAH UDAH JANJI GA BAKAL NINGGALIN GUA SENDIRIAN...” dan terjatuh. Dengkul yang sedari tadi terus berusaha untuk tetap kokoh menahan tubuh lemah itu pun menyerah dengan perjuangannya.

“Gua... gua ga bisa hidup sendirian....” lirihnya.

Tepat saat ketika peti putih bercorak emas itu sudah tertutup dengan sempurna dengan tanah merah, Haikal langsung merangkak dari tempatnya yang tidak berjarak jauh dengan sang ayah.

“Ayah... ayah ayo bangun... ayah denger Haikal kan” ucap Haikal dengan mulut yang sudah bergetar hebat.

Tubuhnya bergetar lebih kencang dari biasanya dan begitu pun dengan tangannya yang sudah tidak bisa terkontrol dengan sendirinya lagi.

“A-ayah,..” Haikal menarik napasnya begitu dalam sebelum akhirnya menghembuskannya dengan sangat perlahan. “Ayah... ayah bangun, ya?”

“Nanti bunda marah kalo ayah ga jagain Haikal sampe dewasa... ayah..” ujar Haikal di sela-sela tangisannya yang sudah pecah dengan hebat.

“Kita bakal ketemu lagi 'kan, Yah?” Haikal mengelus papan nama berwarna coklat yang sudah tertulis nama sang ayah disana.

Haikal berusaha menenangkan tempo napasnya yang terasa sangat menyesakkan dirinya. Laki-laki itu tersenyum, “selamat jalan dunianya Haikal. semoga di atas sana ayah ketemu sama bunda terus ceritain sehebat apa anaknya yang terus bertahan di bumi demi masa depannya”

“Kita ketemu lagi tanggal enam juni ya ayah... Kita rayain ulangtahun dari dua orang yang paling bunda sayang”

Ya, sang ayah memang tidak salah ketika dirinya mengatakan bahwa Haikal merupakan anugerah terindah dari Tuhan untuknya. Karena kelahiran putranya bertepatan dengan hari saat dirinya melihat dunia.

Satu per satu pelayat pun meninggalkan lokasi pusara, termasuk keenam sahabat Haikal. Mereka ingin memberi Haikal waktu untuk melepaskan kesedihannya hanya dengan seorang diri.

Sebelum keenam pejuang itu melangkah pergi dan berniat untuk mengajak Haikal pulang, Haikal langsung meminta ijin untuk tinggal sedikit lebih lama di pemakaman.

Kini hanya tersisa Haikal dan pahlawan hebat dalam hidupnya yang sudah tertidur. Haikal masih terdiam, netranya menatap lekat pusara di hadapannya.

“Haikal janji Haikal bakal kabulin semua permintaan ayah” ucapnya sambil mengusap tempat peristirahatan terakhir sang ayah tersayang. “Haikal buktiin kalo cowo harus bisa di pegang omongannya”

Dan terakhir, Haikal mendekap kayu nisan yang berdiri tegak di atas tanah itu dengan erat seolah-olah sedang berpelukan hangat dengan sang ayah.

Hujan turun. Membasahi kota Jakarta tanpa rasa bersalah karena telah menangis secara tiba-tiba. Haikal menyadari bahwa langit mulai menangis. Seketika hujan turun dengan perlahan dari matanya yang selalu terlihat seperti 'orang yang tak peduli sekitar'

Rasa sesak itu, tak mampu lagi ia tahan ketika kenangan terus terputar dalam benaknya. Kenangan selama tiga hari berada di sampingnya.

“Yah, ayah liat ga..?” Haikal tersenyum tulus sekali. “langit aja nangis yah, ngeliat ayah pergi..”

“Tolong jagain Haikal dari surga ya...” “Haikal seneng banget bisa ketemu sama ayah” “I love you, ayah”

Haikal mengecup papan nama tepat pada tulisan 'Pratama'. Karena sesungguhnya, rasa perih perpisahan tidak seberapa dibandung dengan bahagianya pertemuan.

'Perpisahan itu ada, agar kita bisa menghargai sebuah pertemuan' dan saat ini, Haikal baru benar-benar memahami semua kalimat yang sering ia dengar.

Benar, pertemuan memang tidak terasa berharga pada awalnya. Tetapi, di setiap pertemuan tidak ada yang tahu perpisahan seperti apa yang akan dan harus kita terima.

Karena segala sesuatu bermulai dari titik 0. Mustahil untuk melihat seberapa indah garis finish jika hanya berdiri di garis start tanpa melangkah maju. Dan muthasil untuk melihat perpisahan apa yang harus kita terima nantinya jika tidak mau menghargai sebuah pertemuan.

“Assalamualaikum ayah, sering-sering mampir ya ke mimpi Haikal” pintanya. Langkah kaki Haikal terus beranjak jauh dari tempat peristirahatan sang ayah.

Hingga sampai di langkah kelima, Haikal berhenti. Netranya masih terus menatap pusara itu, berharap suatu keajaiban datang untuk menolognya.

Anak laki-laki ini memang terlihat butuh waktu untuk bisa mencerna segalanya.

Haikal, ayah tau ini berat.... Tapi bertahanlah, ayah tau kamu pasti bisa -Pratama