Penerbangan Terakhir

Jam telah menunjukkan pukul 8 pagi di Belanda. Cekra terbangun dari kursi di ruang ganti khusus Cavlez untuk bersiap-siap pergi ke lapangan pertandingan.

“Cekraza! oefenen op het tweede veld, okay?” “Cekraza, latihan di lapangan kedua, oke?”

Sang pemilik nama hanya mengangguk dan mengangkat jempolnya kepada sang pelatih yang berasal dari negara ini.

Setiap langkah kaki yang hanya terdengar oleh sang pemain basket itu, di setiap langkah itulah ia merasakan detak jantungnya yang kian lama semakin cepat.

Bahkan sangat cepat.

“Kra, liat deh!” Langkah kaki yang sedari tadi berjalan mengikuti langkah di depannya tiba-tiba berhenti karena panggilan itu.

Cekra memutar tubuhnya ke arah yang berlawanan lalu menghampiri sang sahabat yang memanggilnya, Heranza.

“Yang menang dibabak ini bakal jadi lawan kita nanti” Sepasang netra milik Heranza masih terus-menerus memperhatikan pertandingan di hadapannya.

Tetapi, perkataan Cekra berhasil membuat pandangan Heranza tertuju pada sahabatnya.

“Terus?” katanya.

Heranza bingung. Orang di sebelahnya tidak merasa takut atau tegang sedikitpun? Bagaimana bisa?

“Gimana sih lo! piala Singapura lo bawa pulang tapi liat lawan jago dikit mundur” jawab Cekra seakan-akan tahu apa yang ada di dalam pikiran Heranza. . . .

Pertandingan kedua selesai. Club basket Raptors yang mewakili negara Kanada berhasil memenangkan dua pertandingan berturut-turut.

Untuk pertandingan ketiga, Cavlez akan bermain untuk pertama kalinya dan akan melawan Raptors yang telah bermain 2 pertandingan sebelumnya.

Telapak tangan Cekra sudah mulai terasa dingin. Entah kenapa tangannya juga ikut bergetar pelan namun cepat. Cekra tak dapat menyembunyikan rasa gugupnya.

Rasa gugup itu terpampang jelas di wajahnya. Rasa khawatir akan timnya yang memiliki dia sebagai center.

Heranza menggenggam tangan Cekra dengan kedua tangannya, “Piala Singapura bisa lo bawa pulang. Piala Belanda bisa lo bawa pulang juga kan?” ucapnya tepat di telinga Cekra yang terus berusaha menutup matanya, meredakan rasa gugupnya.

Perkataan Heranza berhasil menenangkan rasa gugup Cekra walaupun sedikit.

“Guys! laten we samenkomen!” “Ayo kita kumpul!”

Semua berkumpul termasuk Cekra. Membuat lingkaran kecil yang berisi ketujuh pemain dan kedua pelatihnya.

Menyerahkan tangan masing-masing dan menumpuknya secara bertingkat. “Prayer begins”

Semesta. Nama yang selalu Cekra sebut semenjak mengenal Altarok. Nama yang selalu ada disetiap keluh kesah yang Cekra utarakan.

Semesta, ini Cekra. Laki-laki yang selalu mengeluh padamu dalam diam dan hanya mendengarkan perkataan anak Altarok tanpa menjawabnya.

Saat ini Cekra sedang berada di tiga langkah terakhir sebelum benar-benar samapai di garis finish . Sendiri. Ia memperjuangkan segala hal itu sendiri.

Segala hal yang selalu ia sebut mimpi. Mimpi terindah yang tidak akan mau ia lepas apapun alasannya. Tidak akan ia lepas dengan cuma-cuma.

Tidak. Bukan mimpi itu yang sebenarnya Cekra perjuangkan.

Tapi sosok laki-laki yang selalu berada di belakangnya. Yang selalu menjadi alasannya untuk tidak latihan basket sepulang sekolah.

Sosok laki-laki yang harus ia perjuangkan dan kejar untuk membawanya kembali ke rumah. Ke pelukannya yang selama ini terasa kosong.

Papa. Hendro Alvantano.

Cekra berhasil membawa nama sang ayah menjadi alasannya untuk memenangkan piala pertandingan kali ini.

Sang ayah yang selalu menjadi alasan ia tidak bermain basket, kini menjadi satu-satunya alasan dan tujuan ia bermain basket di sini.

Di tempat ia berada sekarang. Semua berkat Papa.

Papa yang selalu menunggu kepulangan Cekra meskipun hal tersebut tidak pernah terbayangkan dipikirannya sekalipun.

Pah, setelah semua ini berakhir. Setelah perjuangan yang papa dan Cekra lewati sudah berakhir, tolong bangun. Apapun hasil pertandingan Cekra nanti, tolong sambut Cekra dengan tatapan hangat bukan mata yang tertutup dengan damai.

Pah, ini Cekra Alvantano, satu-satunya atlet basket kebanggan papa ingin izin untuk memulai perjuangan terakhirnya dan penerbangan terakhirnya untuk mencapai mimpinya sekali lagi.

Dimanapun Cekra mendarat nantinya, entah di tempat tujuan atau di tempat lain. Cekra harap papa ada di sana.

Cekra akan lari sekencang mungkin untuk memeluk papa.

Wish me luck Pah