Pertemuan Kedua
Terlihat sebuah jeruji besi yang perlahan terbuka dan menampakkan seseorang yang baru ia pandang sekali seumur hidupnya dari tempat Haikal bersandar, menunggu.
Dalam hitungan detik Haikal pun langsung berdiri tegak, menyimpan kedua tangannya di kiri dan kanan tubuhnya, dan berpikir keras apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
Perlahan-lahan jarak antaranya dan sang ayah mulai terkikis dikarenakan sang ayah yang terus melangkah maju tanpa rasa ragu. “Kamu ke sini sendirian, Bulan?”
Sang ayah mengajak si putra bulan itu untuk duduk di sampingnya. “Sudah makan? Sarapan?”
Satu hal yang Haikal syukuri saat ini. Sang ayah Pratama membuatnya merasa nyaman bahkan hanya dengan waktu sesingkat itu. Perkataan yang disampaikannya juga sangat alami,
tidak terdengar seperti seorang bapak yang baru saja bertemu dengan anaknya setelah 16 tahun terpisah atau seorang anak yang baru saja menemukan dimana sang ayah berada setelah 16 tahun ia menjalani hidup.
“Gimana sekolah? Aman?” tanya sang ayah.
“Kenapa Yah...?” sebuah kalimat akhirnya berhasil Haikal ungkapkan dari mulutnya. Ibarat kata, setelah terdiam seribu bahasa, kini Haikal sudah berada di hitungan ke seribu satu.
Berbicara sekaligus berharap akan mendapatkan jawaban yang memberi kepastian dan kesimpulan.
“Kenapa bisa sampe kayak gini? Ayah ngapain? Apa yang ayah lakuin?” Kalau boleh jujur, terdapat banyak bahkan beribu-ribu pertanyaan yang memenuhi pikiran Haikal saat ini.
Tapi tidak mungkin Haikal menanyakannya semua itu satu persatu dalam waktu singkat yang diberi oleh petugas keamanan.
Haikal tidak mau membuang waktu berharganya dengan sang ayah hanya untuk menanyakan pertanyaan yang bahkan jawabannya saja belum tentu Haikal bisa menerimanya dengan baik.
Setelah suara detik jarum jam menguasai seisi ruangan hening tersebut, tidak lama kemudian sang ayah kembali membuka suara.
“Ayah melakukan satu kesalahan di hidup ayah. Ayah tau itu dan ayah sudah sesali itu” tutur sang pemilik marga Pratama itu.
Dan masih dengan senyuman hangatnya. “Kalo ayah ceritain dari awal sampai akhir, bisa-bisa kamu pulang dari sini tiga hari lagi” lanjutnya, diiringi oleh tawa kecil berusaha membuat anak semata wayangnya itu menunjukkan senyumnya.
“Nak...”
“Haikal Bulan Pratama anak ayah, kan?”
“Bisa dengerin ayah sebentar?”
Nadanya berubah serius. “Kalo ayah ceritakan setiap detail kehidupan yang ayah jalani, mungkin ayah akan semakin merasa berdosa di depan Haikal”
Tatapan hangat penuh air mata tidak terlepas dari anak semata wayangnya. “Yang penting sekarang ayah akan tebus segala kesalahan ayah dibalik jeruji besi itu. Ayah sangat bertanggung jawab atas kesalahan ayah. Terutama kesalahan ayah yang belum bisa jadi orangtua yang sempurna untuk Haikal”
“Ayah belum bisa beliin Haikal mobil-mobilan.. beliin makan malem... ngasih uang jajan ke Haikal... Ayah juga pergi dari kehidupan Haikal seenaknya, ya?”
“Maaf ya nak, maafin ayah” tangan yang sudah mulai dipenuhi dengan kerutan itu menarik pelan tubuh kecil di hadapannya. Tangan yang selama ini selalu memegang dinginnya besi dengan rasa penuh tanggung jawab, kini memeluk seseorang yang terpenuhi oleh kerapuhan.
“Nangis nak. Ini ayah, Haikal boleh nangis di sini”
Pelukan hangat diantara kedua Pratama tersebut berjalan dengan sangat singkat.
Haikal tertegun sejenak. Melihat sosok sang ayah yang benar-benar hadir di depan matanya saat ini. Bukan khayalan yang setiap malam selalu ia mimpikan. Ini benar-benar ayahnya, Ayah Pratama milik Haikal Bulan Pratama seorang.
Pandangannya terkunci pada bola mata yang kini benar-benar terasa nyata. Ditatapnya kedua bola mata itu dan lengan yang terbuka lebar secara bergantian.
Tanpa Haikal sadari matanya mulai berkaca-kaca, ia berusaha membendung tangisnya agar tidak keluar di hadapan sang ayah.
Namun, semakin Haikal menahan tangisnya, air mata itu semakin kuat ingin keluar dari matanya. Dalam beberapa detik, lelaki paruh baya itu tiba-tiba tersenyum. Mengukir senyuman yang kini menjadi pemandangan terindah yang pernah Haikal lihat.
“Kenapa tidak menangis?” bisik sang ayah.
Tangisan Haikal pecah saat itu juga. Kepala yang selama ini selalu ia angkat karena rasa kuatnya yang tidak bisa dikalahkan oleh siapun mulai jatuh perlahan.
Haikal menunduk sambil masih berusaha untuk tetap menahan tangisannya yang sudah menetes. Berharap air matanya terjatuh tanpa meninggalkan jejak sungai kecil yang tergambar di pipinya.
“Kuat boleh.... tapi jangan terlalu keras sama diri sendiri Nak.. diri kamu punya hati, punya perasaan. Jangan selalu menjaga perasaaan orang lain tapi seenaknya sama perasaan sendiri”
Haikal memeluknya. Haikal memeluk semestanya. Haikal yang memulai pelukan hangat ini. Ingat, Haikal yang memulainya.
Ayah Pratama mendapatnya pelukan hangat dari sang bulan. Sang bulan yang selama ini hanya bisa ia pandang dari bumi. Sang bulan memeluknya. Memeluknya erat. Dan rasanya sangat amat membahagiakan. Kebahagiaan yang selama ini juga selalu ia tunggu kedatangannya.
“Yah... pulang” lirih Haikal di sela-sela tangisannya.
“Iya Nak, sebentar lagi ayah pasti pulang. Percaya kan?” tanya sang ayah.
“Haikal mau nunggu ayah sampe keluar?” tanyanya lagi setelah sedikit merenggangkan pelukannya.
“Haikal percaya sama ayah? Memangnya Haikal sudah berani untuk naruh kepercayaan sama ayah?”
“N-nanti Haikal usahain dateng kesini setiap hari....” ucapnya masih dengan suaranya yang bergetar hebat.
Terlukis senyuman indah seindah semesta di wajah sang ayah. Anaknya sudah dewasa.
Dewasa dengan keadaan. Dewasa karena penderitaan.
kamu anak yang hebat nak, hebat sekali. orang-orang mungkin pada heran ya sama sosok kamu? kok bisa ada orang sekuat kamu... sekuat ini menahan semua luka. kamu lebih hebat dari ayah. dan kamu harus jauh lebih hebat dari ayah. sekolah setinggi mungkin, senyum sebanyak-banyaknya, makan yang teratur. ayah sayang sama kamu haikal. maafin ayah. ayah orang pengecut yang pergi seenaknya dari hidup kamu. tolong jangan jadi seperti ayah untuk anak kamu nanti.
Segala doa, ucapan, dan pesan manis itu hanya tersampaikan lewat keheningan ini.
Dengan tatapan yang masih terfokus pada anak laki satu-satunya itu, sang ayah terus-menerus mendoakannya.
Dan pada akhirnya segala ucapan ayah Pratama hanya terdengar oleh dirinya sendiri, semesta, dan Tuhan.
Hanya mereka bertiga yang tahu.
Dan hanya mereka berlima yang mengetahui tentang kerapuhan dari benteng tinggi ini.
Ayah, Ibu, Altarok, Semesta, dan Tuhan.
Haikal, kamu berhak untuk bahagia. Tolong bahagia. Tolong kejar bahagia kamu itu. Jangan merasa puas di tengah jalan hanya karena sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan. Tetap jalan maju untuk mendapatkan kebahagiaan yang lebih besar.