Pertemuan Pertama
Perahu yang mengantar Haikal, Malan, dan juga Ibu telah sampai di pulau Nusa Kambangan.
Pulau ini merupakan mimpi buruk bagi semua narapidana. Penjara yang terletak di sini merupakan salah satu penjara paling ketat di Indonesia, bahkan penjara ini mendapatkan julukan “Pulau Kematian”
Sekarang, Haikal hanya berjarak beberapa meter dengan ayah Pratama. Langkah Haikal semakin pelan setiap berjalan mengikis jarak di antaranya.
Malan yang berada di sebelahnya terus mendampingi Haikal dan memberi tahu untuk tidak perlu merasa takut.
Saat sudah sampai di depan lapas, mereka di minta untuk tunggu di ruang tunggu sekitar sana. Haikal menunggu dengan sangat tenang dan membeku.
Tapi tidak dengan keadaan hati dan tangannya. Hatinya terus merasa gelisah dan ketakutan, jika ditanya apa yang membuatnya ketakutan Haikal tidak bisa menjawabnya. Haikal hanya merasa sangat ketakutan, mungkin takut dengan perpisahan.
Begitu juga dengan tangan Haikal yang tidak bisa berhenti bergetar hebat. Sampai-sampai Ibu duduk di sampingnya dan menggenggamnya erat.
Tidak lama kemudian, sosok itu terlihat di kedua bola mata Haikal. Sosok pahlawan yang akan selalu menjadi pahlawan di hidupnya terlihat di depan matanya.
Ayah Pratama ada di hadapannya. Senyuman hangatnya bisa Haikal tatap sepuasnya. Laki-laki paruh baya yang tingginya hampir tersusul oleh sang anak duduk di hadapan Haikal.
Momen ini pernah Haikal rasakan sebelumnya. Momen dengan orang yang sama, suasana ruangan yang sama, perasaan sendu yang sama. Tapi tidak dengan situasinya.
Ingatan buruk bahwa dirinya harus dipisahkan oleh sang ayah membuatnya tidak sanggup menatap mata ayah Pratama.
Haikal merasakan sakit hati yang sesungguhnya, “Yah” panggil Haikal pelan dan dilanjutkan dengan senyum terhangatnya.
“Ayah apa kabar?” tanya Haikal lagi. Suaranya sudah mulai bergetar tapi Haikal akan berusaha kuat untuk tidak meneteskan air mata.
Haikal terus menarik napas yang dalam dan membuangnya secara perlahan. “Kok ayah ga kalo bilang bilang mau pergi jauh”
Sang ayah masih terdiam. Apa yang harus dirinya lakukan di saat seperti ini? Dirinya tidak boleh menangis di hadapan sang anak. Kalau bukan dirinya sendiri yang menguatkan Haikal, siapa lagi?
“Haikal” panggil ayah Pratama. “Kamu kenapa sedih? coba liat ayah” Haikal mengangkat kepalanya tegak.
“Kenapa sedih? suara Haikal sampe gemeter gitu” ucapnya lembut. “Kalo kangen sama ayah harusnya seneng dong kita ketemu lagi”
“Haikal sedih karena saking senengnya ketemu sama ayah” jawab Haikal kembali menunduk, mencoba bekerja sama dengan mata untuk tidak menangis kali ini.
“Coba cerita sama ayah kenapa Haikal bisa sedih karena saking senengnya?” tanya ayah Pratama. “ayah mau denger suara anak ayah kalo lagi bercerita”
Haikal tidak menjawab sepatah kata pun, dan ayah Pratama sabgat mengerti perasaan hati Haikal saat ini.
Dirinya juga tahu apa yang akan dia hadapi beberapa hari ke depan sampai akhirnya hari hukuman itu tiba.
Ayah Pratama merubah posisi duduknya, menatap arah lain dan membahas hal yang berbeda. “Kalo misalkan Haikal udah kerja kan ayah pasti udah bebas nih-
perkataan sang ayah membuat Haikal menatapnya secara tiba-tiba. Tidak mengerti apa yang dimaksud dengan perkataannya.
-kira kira Haikal bisa kasih rumah yang ada kolam berenangnya gak ya buat ayah?” ucapnya, lalu menatap Haikal dengan senyuman.
“Yah…” jawab Haikal tidak percaya. Kenapa di saat-saat seperti ini, di waktu yang seharusnya Haikal merasakan kehancurannya, sang ayah justru membuat imajinasi indah.
“Kalo bisa yang ada kolam berenangnya ya Kal. Ayah ngebayangin pagi pagi ayah langsung lari terus byurr loncat ke kolam berenang” sang ayah memotong perkataan Haikal dengan terus berbicara tentang imajinasinya sambil sesekali di peragakan.
“Ayah”
“Ayah ga mau liat anak ayah nangis hari ini. Ayah ga sanggup, Haikal” jawaban sang ayah membuat atmosfer ruangan ini berubah dengan cepat.
“Haikal mau kan bantu ayah? Bantu ayah biar anak ayah yang hebat itu ga nangis di depan ayah” lanjutnya.
“Ayah” Haikal tetap memanggilnya. Raut wajah sang ayah sudah bermohon agar Haikal tidak menyebutkan kalimat yang bisa membuat dirinya ikut hancur di hadapan sang anak.
“Haikal juga rencananya mau buat kolam berenang kalo nanti tinggal sama ayah” ucap Haikal datar, tanpa emosi apapun. Haikal baru saja ingin meminta sang ayah untuk tidak bersikap seperti ini. Bersikap seolah-olah tidak sedang berada di ambang kehancuran.
Tetapi, melihat tatapan sang ayah yang terlihat seperti putus asa dan lelah, Haikal mengurungkan niatnya untuk berbicara dan pada akhirnya yang Haikal katakan hanya ikut meladeni imajinasi konyol milik ayahnya.
Sang ayah langsung tersenyum, “kita tuh emang sehati banget ya?” ucapnya.
Dan kemudian keheningan menyapa mereka, kedua Pratama ini tidak ada yang mengeluarkan suaranya. Hanya fokus dengan pikiran masing-masing yang rasanya ingin meledak.
“Tapi semoga masa depan kamu ga sama kayak ayah ya Kal...” ucap sang ayah tiba-tiba. Haikal rasanya ingin menumpahkan semua air matanya sekarang juga.
Kenapa sang ayah terus menerus memutar balikkan suasana hatinya? Ayah Pratama terus membuat suasana sedih berubah menjadi bahagia, lalu kembali lagi menjadi sedih. Haikal bingung apa yang harus dia rasakan dengan konsisten saat ini.
Haikal menatapnya. Haikal menatap sosok laki-laki yang selalu mengisi penuh hidupnya.
Laki-laki yang telah menjadi dunianya. Laki-laki yang saat ini berperan sebagai ayahnya. Laki-laki yang selalu menjadi alasannya untuk tetap bertahan.
Nama ayah Pratama sudah mengisi semua kekosongan yang selama ini tidak terisi oleh siapa pun.
“Emang masa depan ayah kenapa? terlalu indah?” Haikal menolak untuk merubah suasana menjadi sedih kembali.
“Haikal” tubuh sang ayah duduk menghadap Haikal. “ayah boleh minta beberapa hal gak sama Haikal?”
“Apa…” jawab Haikal was-was.
“Tapi janji dulu harus dilaksanain apa yang ayah minta”
Haikal mulai di datangi rasa takut dengan perlahan. Haikal butuh waktu yang lebih untuk menjawab kalimat sesederhana itu.
“Diam kamu ayah anggap setuju” katanya tiba-tiba. Tepat saat Haikal ingin protes karena perkataannya, sang ayah kembali berbicara, “anak laki-laki yang di pegang adalah?”
“Omongannya” jawab Haikal spontan. “tapi kan Haikal belom ngomong apa apa” protes Haikal.
“Kamu laki-laki, nak. Ayah dari dulu selalu mengiyakan apa pun kemauan bunda kamu. Haikal harus jadi laki-laki seperti itu. Kalau Haikal tidak bisa buktikan dengan omongan, Haikal buktikan dengan sikap” sang ayah menjelaskan maksudnya.
“Haikal paham kan maksud ayah?”
“Paham. Emang ayah mau minta apa sama Haikal?”
“Ayah punya lima permintaan. Ayah bakal kasih tau dua dulu buat hari ini. Dua buat besok dan yang terakhir buat lusa”
Haikal hampir saja menangis mengingat apa yang akan terjadi dua hari lagi.
“Apa? apa permintaan ayah?” tanya Haikal, suaranya kembali bergetar. Hari yang sangat tidak ingin Haikal hadapi adalah lusa.
Hari dimana dia harus melepas dunianya pergi.
“Permintaan ayah buat hari ini ada dua. Yang pertama, ayah minta Haikal pulang dari sini dan seterusnya juga bakal makan tepat waktu, makan yang sehat. Kalo mau makan yang ga sehat juga gapapa asal jangan sering sering. Ayah minta Haikal jaga kesehatan ya, nak”
“Kalo buat permintaan ayah yang kedua, ini lebih gampang”
Haikal mengangkat alisnya, menunggu sang ayah melanjutkan kalimatnya.
“Ayah minta Haikal bisa lebih terbuka sama satu orang yang sangat Haikal percaya” ucapnya. “Ayah tau, Haikal bisa kuat dan tahan sama semua. Tapi Haikal ga boleh mendem semuanya sendiri”
“Nanti ini nya Haikal-
ayah Pratama meletakkan telapak tangannya dada Haikal
-bisa meledak kalo selama ini ditahan di situ terus. Ayah cuma minta coba dulu terbuka sama satu orang aja. Gausah banyak banyak, di dunia ini emang jangan sampe percaya sama banyak orang”
“Segitu aja permintaan ayah, bisa kan?”
“Haikal yakin bisa tepatin janji ayah yang pertama, tapi kalo kedua Haikal ga janji ya, Yah. Tapi tetep Haikal usahain” Haikal menatap ayahnya.
“Kenapa? Kenapa ga yakin sama yang kedua?” tanya sang ayah.
“Ga yakin aja, Yah. Takut ga ke pegang janjinya sama Haikal” jawab Haikal.
Sebelum sang ayah kembali berbicara, Haikal bicara terlebih dahulu, “ayah tadi bilang kalo laki-laki itu yang di pegang omongannya. Haikal tadi bilangnya bakal Haikal usahain. Berarti yang harus ayah pegang dan percaya itu omongan Haikal yang tadi”
“Haikal bisa dipercaya, Yah” lanjutnya. “buktinya Haikal udah punya enam orang yang bersandar ke Haikal”
Sang ayah merasa tertampar dengan omongan Haikal yang barusan. Dirinya tak menyangka Haikal, anak kesayangan satu-satunya itu pintar melempar balik kata-katanya dan membuatnya lebih bermakna di hati.
Ayah Pratama mengetahui siapa keenam orang itu. Haikal pernah menceritakannya beberapa waktu lalu dan dirinya bersyukur ada insan yang mau percaya dengan anaknya yang sederhana ini.
“Haikal tetep bakal terima janji ayah dan nurutin dua permintaan ayah tadi” ucap Haikal, tersenyum kecil.
“ih ayah gatau aja, boro-boro satu orang. Haikal bakal terbuka sama enam orang yang ada di hidup Haikal juga bisa Haikal lakuin” kali ini Haikal yang mengajak ayah Pratama bercanda.
Sang ayah mengangguk berulang kali dan tidak lupa menunjukkan senyuman yang menjadi pemandangan terindah bagi Haikal.
“Haikal.. jangan lupain ayah, ya?” dengan tiba-tiba air mata turun dari kelopak mata sang ayah secepat kilat.
Ayah benar-benar menangis hingga sesenggukan. Tangannya bertumpu di atas pahanya dan sudah memegangi wajahnya, menutupi kesedihan yang terkumpul sedari tadi dan berujung pecah.
Haikal langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain. Di punggunginya sang ayah dan menangis hebat di baliknya. Haikal menunduk, menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
Haikal seperti melepaskan beban yang selama ini dia bawa kemana pun dia pergi. Haikal menangis sepuas-puasnya, melepaskan semua hal yang sudah membuatnya tersiksa selama ini.
Tiba-tiba sebuah tangan memegang lengan atas Haikal dan menariknya agar tubuh Haikal berbalik. Tetapi Haikal menolak, Haikal tidak ingin membalikkan tubuhnya karena dirinya masih mau menangis lebih keras.
“Haikal…” panggil Ayah dengan suara seraknya.
“j-jangan Yah…. be-bentar” jawab Haikal. “tunggu… Haikal masih belom k-kuat..”
Karena waktu untuk mereka bertemu memang terbatas, sang ayah menghampiri Haikal dan memutar tubuh Haikal kemudian langsung memeluk erat sang anak.
“Haikal harus janji sama ayah akan tetap jadi Haikal yang sekarang. Ayah ga butuh anak yang sukses banget, yang sangat hebat. Ayah cukup punya anak yang kayak Haikal sekarang. Yang ayah butuh cuma Haikal, ga lebih”
“Haikal dengerin suara ayah terus ya buat tiga hari ke depan. Biar Haikal bisa inget sampe tua, terus nanti suatu hari bilang ‘oh iya suara ayah dulu kayak gini’”
Tangisan Haikal semakin menjadi. Dirinya tidak bisa melakukan saran yang diberi Rezvan sebelumnya, karena air matanya sudah terlanjut jatuh hingga titik paling bawah.
“Nanti, kalo ayah udah pergi…”
Haikal menyenggol tubuh sang ayah kesal. Mendengar kata-kata itu saja sudah membuat Haikal ketakutan, apalagi sang ayah yang bicara langsung.
“Maksud ayah, kalo ayah udah balik ke sel terus Haikal udah pulang dari sini. Ayah mau Haikal senyum ya, pokoknya senyum terus. Jangan sampe turun senyumnya”
Sang ayah hanya terus mengucapkan hal yang bisa menenangkan tangisan Haikal. Bercerita tentang kisah cintanya dulu bersama sang bunda, momen saat pertama kali sang ayah memandikan Haikal waktu bayi, segala hal yang indah terus ayah ucapkan di dekat telinga Haikal.