Runtuh Rasanya

Makan malam berjalan dengan sempurna, tawa canda dari masing-masing insan mengisi penuh malam Altarok hari itu.

Sesuai permintaan dari Narendra mereka mengadakan acara “review malam” nya di halaman belakang. Karena tugas membersihkan setelah makan malam masih tetap berjalan, malam ini Malan dan Juan yang bertugas melakukannya.

Malan sibuk mencuci piring, sedangkan Juan yang bertugas untuk membersihkan sisa-sisa makanan yang ada di piring untuk dibuang.

Tepat saat jam dinding menunjukkan pukul 8 malam, Malan tiba-tiba menghentikan aktifitasnya sebelum benar-benar mengambil napas berat.

Malan menunduk hampir setengah dari badannya, seperti tidak sanggup bahkan hanya untuk sekedar berdiri tegap.

“Bang?” Juan memanggil Malan dari posisi dia berdiri.

Yang dipanggil tidak menjawab satu kata pun, tubuh kokohnya masih dengan posisi menunduknya. Terlihat seperti dunianya sedang runtuh.

“Gua...” Malan mencoba untuk berbicara di sela-sela kehancuran yang sedang ia rasakan.

Malan masih menggantungkan kalimatnya sampai akhirnya Juan menghampirinya, mencoba untuk menenangkannya.

“Gua gatau. Gua ga bisa Wan...” lirih Malan.

Juan langsung mengerti apa yang dimaksud oleh Malan. Malan memang memberi tahu yang lain terlebih dahulu agar bisa menguatkan Haikal nantinya.

Juan merangkul sang kakak pertama, memberi tepukan pelan untuk memberi Malan sedikit kekuatan.

“Gua ga bisa liat Haikal tambah ancur...”

“Selama gua hidup anaknya emang selalu nolak ada kata nyerah di perjalanannya. Tapi kalo ini-”

Kedua netra milik Malan menatap Juan penuh genangan air mata. “gua ga yakin dia lebih milih bertahan daripada nyerah”

“Lo tau Wan, lo kenal Haikal” lanjut Malan.

Malan benar-benar tidak ingin melihat Haikal hancur. Meskipun selama hidupnya Haikal selalu dihancurkan oleh rintangan tetapi sebagai sahabat, Malan tahu ini akan menjadi tamparan terkeras untuk Haikal.

Di saat seorang anak mengetahui kapan hari terakhir orang tuanya, siapa yang tidak akan hancur saat mendengarnya?

Malan khawatir karena itu Haikal, Haikal yang selama ini selalu merasakan beban kesedihan dalam hidupnya. Kapan Haikal akan merasakan bahagianya? Bahkan Malan sendiri sudah tidak sanggup menjalaninya, bagaimana dengan Haikal yang memang harus menjalani hidup seperti itu?

Sore ini berita yang akan menghancurkan dunia milik salah satu pejuang Altarok terpampang jelas di televisi.

Seorang narapidana dengan inisial (EP) tervonis hukuman mati usai setelah lebih dari 6 kali menjalankan hukuman di balik jeruji sel. Di berita tertulis jelas bahwa terpidana menyangkut kasus narkoba yang mengakibatkan penyebarluasan hingga internasional dan kasusnya yang tidak terhenti meski berada di dalam sel.

“Gua ga bisa sumpah” ucap Malan lagi, seperti sudah memberi keputusan bulat.

“Haikal harus tau bang...” jawab Juan. Karena memang Malan yang ditugaskan oleh Ibu Haikal untuk memberitahuinya.

“Gua ga mau liat Haikal nangis lagi Wan!!!!” bentak Malan. Jangan tanya sudah berapa banyak air mata yang berhasil terjun membasahi pipinya. Banyak sekali adalah jawabannya.

Juan jelas mengetahui perasaan Malan saat ini. Situasi dimana kalian harus memberi tahu hal yang kemungkinannya besar bisa menghancurkan kebahagiaan sahabat kalian sendiri.

Juan memeluknya, meletakkan telapak tangannya di belakang puncak kepala Malan. Berharap bisa memberinya sedikit tenaga untuk tetap kuat di hadapan Haikal nanti.

Sakit. Pasti sakit rasanya.

“Apa gua gausah kasih tau Haikal aja ya Wan” ucap Malan tiba-tiba. “sumpah demi Tuhan gua ga sanggup kalo harus liat Haikal teriak nangis sampe gila lagi”

Juan mengangguk. Dirinya sangat mengerti, karena reaksi Haikal tidak akan jauh beda dari apa yang terjadi di depan lapas polisi beberapa waktu yang lalu.

atau mungkin malam ini akan lebih parah dan lebih sakit untuk dilihat.

“Kasih tau bang” “Lo tau Haikal orang kuat, pasti kewarasan dia ga mungkin ilang. Dia tau mana hal gila yang ga boleh di lakuin” jawab Juan penuh yakin dan percaya dengan Haikal.

Dirinya tahu, Haikal tidak mungkin kuat mendengar berita ini. Tapi Malan juga tidak mungkin tidak memberitahu Haikal secara langsung.

Jangan menyiksa Haikal dengan cara yang lebih kejam lagi. Juan tidak ingin membiarkan Haikal mengetahuinya dengan sendirinya.

Karena tidak ada yang tahu dimana Haikal akan mendengar berita itu dan sudah pasti tidak akan ada yang menenangkannya.

Seperti yang sudah dibilang, Juan dan Haikal tidak jauh beda. Haikal tidak akan bisa mengontrol emosinya sendiri jika dirinya di penuhi oleh kebisingan. Harus ada yang meredakan kebisingan tersebut.

Setelah menghabiskan waktu yang cukup lama di dapur, Malan dan Juan akhirnya melangkah menuju teras belakang.

Entah apa yang akan terjadi nantinya, sudah dapat dipastikan Altarok akan sangat kacau. Juan sudah siap dan mengambil posisi kursi di samping Haikal.

“Dengerin. Bang Malan mau ngomong” ucap Juan menarik perhatian kelima orang lainnya.

“Tadi lo juga bilang mau ngomong sama gua” celetuk Haikal dari ujung meja. “Penting katanya”

“Iya penting bagi lo” jawab Malan. Ucapan Malan membuat semua wajah terlihat bingung terutama Haikal.

“Lo sayang ga sama ayah pratama?” tanya Malan.

Haikal malah terkekeh, heran dengan pertanyaan Malan yang sudah jelas jawabannya. “Ini lo seriusan nanya itu?”

“Sayang ga?”

“Sayang” jawab Haikal pasrah.

“Lo sayang ga sama diri sendiri?”

“Lumayan”

“Terakhir, lo sayang ga sama Altarok?”

Pertanyaan terakhir berhasil membuat Haikal membungkam mulutnya. Semua sorot mata menatap Haikal, menunggu jawabannya.

“Kalo ga sayang ga mungkin gua ajak ke sini”

“Sayang apa engga?” tanya Malan tidak menanggapi jawaban dari Haikal.

“Buat apaan si Mal?” Haikal mulai merasa risih dan benci ketika dirinya dibuat bingung.

“Tinggal jawab, sayang atau engga” jawab Malan.

“Sayang”

“Kalo disuruh pilih antara ayah pratama, diri lo sendiri, sama Altarok. Siapa yang bakal lo pilih?”

Pertanyaan dari Malan makin terasa tidak masuk akal. Semuanya menatap ke arah Malan, “Mal” panggil Rezvan yang merasa pertanyaan dari Malan tidak diperlukan di saat seperti ini.

Haikal tertawa kecil. “Mau lo apa deh nanya kayak gitu?” Haikal bangun dari duduknya menendang kaki meja dengan sekali hentakan tanpa mengeluarkan tangannya dari saku jaketnya.

“Pilih dua kalo ga bisa pilih satu”

“Bang Malan” bisik Cekra yang posisinya berada tepat di sebelah Malan.

“Gua kecewa kalo lo pilih Altarok” jawaban Malan semakin membuat semua orang kebingungan.

“Gua pilih bokap” celetuk Haikal tiba-tiba. Dirinya hanya ingin mengikuti permainan yang Malan buat, entah apa manfaatnya Haikal hanya penasaran.

“Tapi kalo lo harus kehilangan itu, apa yang bakal lo lakuin” kalimat yang kali ini Malan ucapkan baru membuat semuanya mengerti.

Jikal teringat, Malan memang tidak pernah membahas sesuatu langsung pada intinya. Sang lawan bicara akan dia ajak berpikir 10 kali lipat sebelum menjawab inti dari pertanyaannya.

“Ya gua jagain biar gua ga kehilangan”

“Gua bilang kalo lo harus kehilangan” jawab Malan. “apa yang bakal lo lakuin”

Haikal tidak mengerti, dirinya mulai membaca setiap makna yang ada di balik tatapan mata Malan untuknya. Haikal mulai menatap yang lainnya.

“Mal” panggil Haikal tiba-tiba. “Bokap gua kenapa?” Haikal mengerti pesan yang ada dibalik sorot matanya.

“Apa? Kenapa?” tanyanya lagi. Haikal mulai mengerti sekaligus khawatir dengan apa yang akan tersampaikan dalam pembicaraan malam ini.

“Ayah pratama kenapa? Apa yang gua gatau?” beberapa pertanyaan terus terlontar dari mulut Haikal tanpa henti.

“Apa yang lo tau dan gua gatau Mal?!” Haikal menaikkan satu oktaf pada nada biacaranya.

“kayaknya gua salah pertanyaan ya...” lanjut Haikal dengan suara pelan setelah melihat yang lainnya mulai menundukkan kepalanya masing-masing.

“Apa yang kalian semua tau dan gua gatau? Jawab!!” “Jawab anjing gua tau lo semua punya mulut!”

“Kale” Haikal menghampiri Jikal yang jaraknya bisa dibilang cukup jauh dari posisinya berdiri. “abun ngajarin lo kalo ada orang yang lebih tua nanya, harus di jawab”

“Sekarang gua tanya, bokap gua kenapa? Dia kenapa? Apa yang gua gatau?”

Jikal masih menunduk dan kini suara tangisan yang tertahan mulai terdengar. Jikal tidak bisa menahan air matanya lebih lama lagi, membayangkan dirinya berada di posisi Haikal saat ini membuat dirinya benar-benar hancur detik itu juga.

Jikal langsung memeluk tubuh Haikal yang masih bertopang pada belakang kursinya. “Bang, lo kuat banget” ucap Jikal gemetar.

Melihat tindakan Jikal yang sama sekali tidak pernah terbayangkan olehnya membuat Haikal langsung menatap yang lainnya, meminta penjelasan.

Semakin membuat Haikal tambah bingung, Rezvan justru menghampirinya dan mengelus puncak kepala Haikal berulang kali.

Ditambah lagi dengan tindakan Cekra yang tiba-tiba mengulurkan jari kelingkingnya dan mengucapkan sebuah kalimat perjanjian, “seburuk apapun hidup yang kita jalanin, harus kita hadapin tanpa nyerah. ya kan?”

“Mal”

“Wan” Haikal memanggil keduanya, karena hanya tersisa Malan dan Juan yang masih berani menatap balik kedua bola mata Haikal.

“Lo udah baca berita hari ini belom?” ucap Narendra tiba-tiba tanpa menatap Haikal satu inci pun.

Pandangan Haikal pindah pada Narendra sepenuhnya, sisi samping Narendra lebih tepatnya. “Belom, kenapa? Ada berita apa?”

Narendra bangun dari tempatnya, melangkah maju menghampiri Haikal. Hingga akhirnya sampai di hadapannya setelah mengikis beberapa jarak antara keduanya.

“Mau gua peluk sekarang atau abis baca beritanya?” tanya Narendra.

Haikal mengerutkan keningnya, benar-benar tidak mengerti dengan semua sikap sahabatnya malam ini.

“Mau gua kasih petunjuk ga?” tanyanya lagi. Keheningan Haikal memberi jawaban untuk Narendra.

“Dunia lo bakal ancur. Lebih ancur dari sebelumnya, lo siap?” ucap Narendra sambil mengepalkan tangannya keras, berusaha untuk kuat dengan tenaga yang tersisa.

“Bang Malan udah ga kuat buat ngomongnya, Juan ga sanggup, Jikal nangis, Cekra nangis, Rezvan nyamperin lo. Masih kurang yakin seberapa hebatnya berita ini sampe bisa ancurin dunia anak altarok?”

“Dan gua berani bilang ini semua ke lo bukan berarti gua lebih kuat dari mereka. Yang mau gua kasih tau sekarang itu...”

Narendra menarik napas yang dalam dan menghembuskannya perlahan. “kita semua udah ga kuat, lo kuat ga kalo denger? tapi kalo lo ga kuat kita semua juga bakal tetep ada di samping lo. Altarok bakal tetep ngehibur lo”

“tapi kita ga bisa jamin dunia lo bakal baik-baik aja setelah malem ini berlalu”

Haikal yang mendengar semua perkataan Narendra mulai mengerti situasi apa yang akan dia hadapi. Yang ada di dalam benak Haikal hanya, “gua bakal denger berita buruk, jadi tinggal kuat aja”

Haikal memang tidak mengetahui seberapa besar dampak malam ini dalam hidupnya yang ternyata merubahnya 360 derajat.

“Apa? Kenapa? Gua siap dengernya” jawab Haikal.

Tidak menyangka jawaban Haikal akan seperti itu, Narendra menggelengkan kepalanya perlahan. Air mata pertamanya berhasil lolos membasahi pipinya.

Narendra merasa tidak sanggup saat waktu ini tiba di depan matanya. Waktu dimana dia harus mengatakan sesuatu yang akan menghancurkan dunia Haikal.

“Jangan Kal...” Narendra seperti meminta Haikal untuk menolak mendengar dan mengetahui berita ini. “lo ga bakal kuat”

“Apa? Ada apa Ren?” tanya Haikal dengan nada lembut. “gua udah siap dengernya”

“Kal...”

“Iya?”

“Kal, ini berat banget” Air mata Narendra sudah tidak karuan.

“Iya apus dulu air matanya baru ngomong” jawab Haikal. Tubuhnya masih dipeluk oleh kedua adik bungsunya, bahkan semakin erat.

“Kal, ayah pratama...”

Haikal menunggu kelanjutan kalimatnya.

“bakal di... hukum mati....” setelah berjam-jam terlewati, akhirnya kalimat mematikan itu berhasil masuk ke dalam pendengaran Haikal.

Juan langsung berjalan cepat menghampiri Haikal, menariknya menjauh dari yang lain. “Pukul Kal”

“Pukul gua” Juan memposisikan dirinya di hadapan Haikal, berdiri tegap sempurna menatapnya.

“Haikal liat gua!!” Haikal menatapnya dengan tatapan kosong. “pukul, tonjok, apapun. lakuin apapun buat ngelepas emosi lo” ucap Juan sambil mengangguk yakin.

Haikal menggeleng dan tersenyum kecil. Senyuman singkat yang sangat membuat Juan berapi-api dan membencinya. “Kal lo ga boleh diem aja”

“Lo harus emosi, jangan di pendem gini” mohon Juan sampai memegang lengan Haikal. “jangan jadi Haikal yang kuat, jadi Haikal yang rapuh. Malem ini aja”

“gua jagain biar lo ga nyerah. pukul kal, nangis aja” lanjut Juan.

dan BUGH!!!

Hantaman keras yang berulang kali mengenai Juan terus berlanjut. Di seberang sana Narendra masih menangis dengan posisinya yang berdiri.

Jikal ingin menahan Haikal agar tidak menyakiti Juan lebih parah tapi ditahan Rezvan. Di peluknya sang bungsu dan Rezvan berusaha menenangkannya. “Jangan Le, udah”

Malan yang melihat kehancuran semua adiknya tidak habis pikir dengan semesta. Kalau sudah seperti ini, apa yang harus dilakukannya? Menjadi kuat agar yang lainnya tidak rapuh? Tidak mungkin.

Dirinya sudah jelas terlihat sangat hancur. Kini dirinya menyadari, laki-laki yang selama ini menunjukkan punggung hebatnya pada Altarok adalah titik kelemahan Altarok di saat punggung itu terjatuh.

Haikal adalah titik kelemahan mereka.

Bukan. Bukan karena Haikal selama ini sudah menolong mereka dengan susah payah. Tetapi karena Haikal selama ini selalu berusaha terlihat baik-baik saja bahkan sangat baik di depan mereka semua.

Malan memeluk Narendra dari depan, meletakkan kepala sang adik di dalam dekapannya. “Shh jangan lemah. lo ga boleh nangis di depan Haikal”

Tidak mereda, tangisan Narendra semakin pecah setelah mendengar kalimat yang Malan ucapkan.

“Wan...” Haikal membuka suara setelah sekian lama terdiam.

Juan buru-buru bangun dari posisinya yang tersungkur ke tanah. “kenapa? lo mau apa?” tanyanya khawatir.

“Gua... harus apa?” kedua bola mata Haikal mulai terisi penuh dengan air mata. Di tatapnya sang sahabat dengan tatapan memohon.

Memohon agar Juan mengatakan bahwa ini semua hanya mimpi buruk Haikal.

“Kal. Haikal, lo denger gua” Juan menegakkan tubuh Haikal. “jangan dipikirin paitnya, kalo lo mikirin paitnya ga akan kelar”

“jangan pikirin apa-apa. pikirin hidup lo ke depannya, kalo bisa pikirin hidup gua sekalian. jangan sampe pikiran lo kosong, pikiran lo harus sibuk”

“Kebiasaan lo buruk kalo pikiran lo udah kosong” lanjut Juan.