Tali Terakhir
Malam tak selalu membawa tangisan setelah berjuang kuat melawan siang yang memaksa kita untuk tetap hidup setiap harinya.
Dan malam ini bukan malam yang akan dihabiskan dengan tangisan oleh seorang laki-laki, tetapi dengan ketakutan. Haikal tidak bisa tidur. Kedua matanya masih bisa terbuka untuk menatap langit di luar jendela kamarnya.
Entah apa yang Haikal ingin sampaikan pada bintang yang bersinar, Haikal hanya ingin hari esok menghilang dari hidupnya.
Tidak peduli akan kebahagiaan orang lain, yang jelas, Haikal tahu bahwa dirinya tidak akan merasa bahagia esok. Gak adil, ucap Haikal dalam hati.
Pagi ini Haikal disambut oleh cahaya mentari yang memaksa masuk dari sela gorden jendela kamarnya. “pagi kenapa cepet banget datengnya...” keluh Haikal.
Padahal semua sudah Haikal persiapkan dari dua hari yang laluㅡ agar topengnya bisa terlihat dengan sempurna hari ini. Saat ini, Haikal masih bisa menghitung mundur 240 menit sebelum perpisahan.
“Kal, sepuluh menit lagi kita berangkat. Mandi terus sarapan roti dulu di meja” seru Malan yang baru saja menampakkan dirinya dari balik pintu bernuansa putih itu.
Khusus untuk hari ini, pertemuan terakhir sekaligus salam perpisahan antara dirinya dengan sang ayah akan dilakukan di pagi hari. Karena akan memakan banyak waktu untuk membawa jenazah menggunakan ambulans agar bisa dimakamkan hari ini juga.
Kota Cilacap hari ini cerah tak berawan. Semoga tidak akan ada air mata yang turun dari langit sepanjang hari.
“Kal, nanti kalo mau nangis, langsung nangis aja. Jangan ditahan, ini pertemuan terakhir” bisik Malan.
Sejujurnya Haikal sudah sangat bosan mendengar ucapan 'jangan ditahan kalo mau nangis', tapi ya memang itu support yang Haikal butuhkan.
Manusia tidak boleh menahan egonya hanya demi terlihat kuat bahkan di depan orang yang tidak akan berbicara buruk saat mengetahui kelemahan kita sekali pun.
Sudah Haikal pastikan bahwa hari ini. Di bulan November tanggal 12 ini, Haikal akan merayakan hari ayah sekaligus melepas sang ayah pergi ke surga.
Di saat semua orang berbangga-bangga memeluk sosok ayah kebanggaannya, mengucapkan 'selamat hari ayah' berjuta-juta kali, Haikal hanya bisa memeluk dan mengucapkan tiga kata itu di hadapan sang ayah hari ini.
Akhirnya, Haikal tiba juga di sini. Pulau Nusakambangan di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Sanggup enggak ya Haikal ngeliat Ayah berdiri nungguin Haikal dateng di tali terakhir pertemuan kita, keluh Haikal.
Langkah Haikal masih terlihat sangat kecil untuk ukuran seorang remaja, sebelum akhirnya ada Malan yang datang menghampirinya dan berkata, “ayo Kal, hadepin. Gua yakin abis ini lo pasti lega” ucapnya.
“Jangan diem di sini aja. Dengan lo diem kayak gini gak akan ngebuat ayah lo balik ke pelukan lo. Lo cuma buang-buang kesempatan yang seharusnya lo pake buat peluk ayah lo lebih lama”
Tidak langsung masuk ke dalam, lelaki dengan bola mata yang terlihat lelah itu tiba-tiba meminta Malan untuk mengulurkan tangannya.
“Kal?” Malan terlihat bingung sekaligus cemas setelah melihat apa yang baru saja Haikal berikan padanya. Satu bungkus rokok, serta pemantik api yang selalu Haikal bawa kemana pun ia pergi.
“Mal, lo bisa gua percaya kan?” Haikal menggenggam tangan Malan yang berisi bungkus rokok dan pemantik api itu. “Mal”
Malan mengerutkan keningnya dengan sempurna. Lalu, apa yang Haikal rencanakan dengan memberi dua barang ini kepadanya? pikir Malan.
“Lo mau ga temenin gua nangis?” Haikal melanjutkan perkataannya. Belum sempat Malan jawab, Haikal kembali mengucapkan kalimat yang berisi perintah, “gua rasa gua bakal nangis setelah keluar dari sini. Jadi gua minta, lo harus nemenin gua nangis nanti. Jangan ngerokok sebelum ada gua yang nangis di samping lo”
“Mal, gua udah pernah bilang, ilangin kebiasaan buruk lo. Gua tau paru-paru lo kuat, tapi ngerokok juga ada batasannya” nada suara Haikal semakin terdengar serius.
Dalam hati, Malan merasa jangan-jangan...ㅡ”jangan ngerokok sampe gila cuma karena gabisa liat gua nangis” tepat sasaran.
Haikal melihatnya tadi malam, ketika dirinya sedang menggila dan melampiaskannya pada zat nikotin itu. Haikal juga pasti melihat empat bungkus rokok yang habis dengan cepat malam itu.
“Kalo lo gabisa liat gua nangis, temenin gua. Jangan malah memperpendek hidup lo di dunia bangsat” kalimat terakhir dari Haikal sebelum benar-benar melangkah masuk, bertemu sang ayah.
Pantas saja. Kini pertanyaan yang terus mengisi pikiran Malan pun terjawab. 'Kenapa Haikal membeli rokok yang bahkan belum pernah ia hirup?'
Rupanya ini jawabannya, Karena Haikal memang sengaja membeli rokok yang selalu Malan hirup setiap kali mulutnya terasa asam.
Dan di sini, tempat dimana Haikal harus melepas pergi dunia miliknya tanpa diketahui oleh seisi dunia.
Tempat yang akan menjadi saksi perjuangan terakhir seorang ayah dan anak yang masih terus memegang kuat ekspetasi konyolnya.
Dan tempat dimana seorang anak laki-laki yang sudah berusaha mati-matian untuk berdamai dengan semestanya. Memang, Haikal memang tidak berhasil menang melawan semesta.
Tapi sang Pratama dewasa mengatakan, 'Haikal berjuang setengah mati bukan untuk menang, tetapi untuk tahu apa yang boleh kamu lepas dan tidak selama perjuangan itu'
Hari ini terasa spesial sekaligus asing bagi Haikal. Terasa spesial karena dirinya tidak harus melihat kedua pergelangan tangan sang ayah terikat oleh besi kejam,
Haikal tidak perlu lagi menunggu ayahnya datang di hadapannya setelah dipanggil oleh petugas.
Terasa asing karena, Haikal tidak pernah bermimpi sedang berada di situasi seperti ini. Situasi dimana dirinya yang harus merasakan kehilangan terbesar dalam hidupnya.
Ya mungkin itu terjadi sekarang, batin Haikal.
Terlihat seperti seseorang yang akan mendengar berita terburuk di telinganya, dan ya memang benar. Kini air mata Haikal sudah tak bisa tertahan lagi.
Mungkin ini yang seharusnya terjadi selama tiga hari ini, kehadiran air mata yang selalu menjadi sambutan awal di setiap awal pertemuan keduanya.
Tapi dengan rasa gigihnya untuk menang melawan semesta, kedua Pratama itu bisa menggantikan air mata dengan tawa di saat pertama netra mereka bertemu.
Laki-laki berkepala empat itu tersenyum teduh. “Sini nak...” terlihat tangan sang ayah mengayun dengan pelan di udara.
“Haikal mau peluk atau dipeluk ayah...?” tanyanya saat anak semata wayangnya itu sudah berhasil ia genggam dan sudah berdiri di depan matanya.
“Ayah peluk ya?” tersenyum hangat lagi. “tapi ayah gamau liat air matanya lagi. Air matanya udah ganggu kebahagiaan ayah, Haikal apus ya?”
Sempat hening beberapa detik, sebelumnya akhir Haikal berkata, “ayah bisa tetep di sini aja ga? Haikal bisa gila kalo ngeliat ayah ga napas lagi...”
Haikal dipeluk. Ayah Pratama tidak menjawabnya dan hanya memberi satu dekapan tulus dari hati. “Haikal sudah melakukan yang terbaik... setelah ini, istirahat yang panjang ya nak” bisiknya.
Tak lain tak bukan, tangisan Haikal semakin deras setelah mendengar perkataan 'setelah ini'. Yang artinya setelah merasakan kehilangan ini, setelah mengalami perpisahan pahit ini, dan setelah melepas kepergian sang ayah.
Laki-laki dewasa itu memejamkan matanya perlahan, menutup akses air mata yang selalu ingin merusak benteng kuatnya. “Bunda istirahat.. ayah istirahat.. Haikal juga istirahat...-
-tapi Haikal harus tetap bangun... lihat seberapa indahnya bumi ini, Haikal. Inget seberapa sakit yang bunda rasain cuma demi memperbolehkan kamu untuk melihat dunia”
Baru saja terpikirkan satu hal buruk dalam benak Haikal tetapi langsung terhapus setelah mendengar perkataan sang ayah selanjutnya.
“Kalau kamu pergi menyusul ayah sama bunda itu bukan hal yang baik Haikal... ayah bisa marah, apalagi Tuhan...” seperti tahu apa yang selalu Haikal pikirkan di saat rapuh seperti ini. “Ayah tau Haikal anak yang nurut sama orangtua. Jangan ya, Bulan...”
Satu tetesan air mata yang terasa sangat panas ketika mengenai pipi kanan Haikal berhasil turun setelah mendengar panggilan 'Bulan' dari ayah.
“Bulan sehat terus ya. Ayah bakal ngajak bunda buat mampir ke mimpi kamu, maka dari itu Bulan harus tetap hidup” ucapnya. “Ada nyawa yang bunda pertaruhkan dan ayah lindungi dari enam belas tahun yang lalu. Ayah minta Haikal jaga baik-baik napasnya”
“Yah...” Haikal melepas pelukannya. Menatap mata sang ayah yang tak pernah terlihat lelah di setiap detik ia menatapnya. “Haikal mau ngomong, tapi setelah itu ayah harus puji Haikal”
Sang ayah mengangguk. “Ayah akan puji Haikal sebanyak yang Haikal mau”
“Haikal tau perpisahan ini ada bukan karena Tuhan yang ngambil ayah dari Haikal...ㅡHaikal menutup mulutnya rapat untuk mencegah air matanya yang ingin terjatuh kembali.ㅡ tapi karena bunda udah kangen banget sama ayah, iya kan?”
Dan kali ini bukan air mata dari Haikal yang terjatuh, namun dari sang Pratama dewasa. Kenapa anaknya ini sungguh hebat dalam membuatnya menangis? Kenapa anak ini harus merasakan kesedihan dalam hidupnya berkali-kali? Ini sungguh Haikal putra pertamanya? Haikal tumbuh menjadi sangat dewasa..., batinnya.
“Haikal tau...” Haikal mulai membiarkan air matanya turun dengan bebas. Karena tujuan utamanya kemari bukan lagi untuk terlihat kuat depan sang ayah, tetapi untuk menyampaikan hal-hal yang selalu Haikal simpan dalam hatinya.
“Haikal tau bunda pasti kangen banget sama ayah. Bunda juga mau tau cerita tentang anaknya di bumi dari surga sana. Haikal tau... Haikal ngerti apa yang bunda rasain.. Bunda cuma punya waktu enam hari setelah Haikal lahir ke bumi, pasti bunda kangen banget sama Haikal ya, ayah?”
Yang ditanya hanya menundukkan kepalanya, terus menangis selama anak putra satu-satunya itu masih berbicara. “Ayah” panggil Haikal.
Haikal tidak melanjutkan kalimatnya sebelum sang ayah menatap matanya dengan sempurna. “Kalo emang ini semua karena bunda, Haikal gapapa”
Ucapan Haikal tidak bisa dibilang jelas karena tangisannya yang sudah memenuhi raut wajahnya, tetapi masih bisa terdengar oleh sang ayah. 'Kalo bunda alasannya, Haikal ikhlas. Haikal pasti ikhlas....”
“Dan Haikal pasti nangis dan ngerasa Tuhan itu ga adil pertamanya. Tapi mau gimana pun juga itu kan bunda Haikal. Haikal harus kembaliin cinta sejatinya yaitu ayah”
“Udah. Sekarang ayah udah boleh puji Haikal” perkataan Haikal sudah selesai, namun tidak dengar air mata laki-laki paruh baya itu.
Rasa sakit akan tertusuk kembali menyapanya. Sakitnya melihat sang anak yang harus terpaksa kuat demi menjalankan hidupnya yang sunyi.
Sang Pratama kembali menangis saat benaknya secara tiba-tiba menggambarkan Haikal yang selama bertahun-tahun ini bertahan hidup.
Sangat sakit bagi seorang ayah yang harus membayangkan anak kesayangannya yang terpaksa dewasa karena keadaan dan terpaksa kuat demi kemauan semesta.
Dan ya, sialnya gambaran pahit itu tidak hanya menjadi bayangan bagi ayah Pratama. Bayangan itu menjadi nyata di kehidupannya, terutama dalam kehidupan sang anak.
“Apa rasanya jadi anak ayah...? Haikal bahagia?” bukannya memberi pujian seperti kesepakatan di awal, ayah Pratama malah menanyakan hal lain.
“Haikal...!” sang ayah kembali memeluk Haikal dengan tenaga terakhir yang tersisa dalam tangannya. Terus memanggil dan menyebut nama Haikal berkali-kali. “Jangan jadi anak ayah lagi di kehidupan selanjutnya, ayah mohon”
“jadi anak bunda aja... kamu jaga bunda dengan nyawa yang kamu punya. Kamu jaga juga perempuan yang akan menjadi dunia kamu nantinya dengan baik. Kalau bisa taruhkan nyawamu demi dia....”
“Maafin ayah karena sudah gagal menjaga cinta pertama Haikal... maaf. Ayah selalu sayang sama Haikal...” dan di akhiri dengan kecupan lama dipuncak kepala Haikal.
Haikal terdiam sesaat dan mencoba untuk tersenyum tanpa harus dilihat oleh sang ayah. “Makasih ya ayah. Karena udah mau rela mempertaruhkan nyawa ayah demi bunda. Haikal yakin, kalo bisa ditukar, ayah pasti bakal ambil posisi bunda tanpa berpikir dua kali”
Sang ayah mengangguk berkali-kali tanpa henti, merasa senang karena anaknya mengerti apa yang dirasakan oleh dirinya. “Gapapa, ayah hebat. Makasih ya ayah, makasih udah jagain bunda sampe napas terakhirnya”
Haikal mengerti. Haikal sudah mengalami situasi yang seperti ini beribu-ribu kali. Ketika seseorang merasa bersalah dan mengakuinya dengan sangat menyesal, yang bisa kita lakukan agar orang itu tidak terus menyalahkan dirinya adalah memujinya.
Bukan memujinya karena sudah berani mengaku akan kesalahannya. Tetapi menurut Haikal, kita harus tetap memujinya dari segala sisi dalam hidupnya.
Apa pun. Segala perkataan yang bisa membuat hatinya terasa tenang seperti sedang mengapung di atas air dan membuat pikirannya sunyi seperti sedang memandang bintang di atas bukit.
'Kamu sudah sempurna tanpa harus berusaha untuk menjadi cantik' 'Terima kasih sudah mau menjadi teman sejati untuk orang yang tidak pernah mau percaya dengan manusia sepertiku' 'Makasih sudah berjuang sampai detik ini' 'Terima kasih karena sudah mengizinkan dirimu untuk tetap melihat langit menangis hari ini'
Pujian seperti itu yang setiap orang butuhkan. Dan dalam kondisi sehancur apa pun, ucapan 'makasih sudah tetap bernapas hingga hari ini' akan bisa menenangkan hati setiap orang.
Karena apa yang membuat manusia merasa istimewa adalah pengakuan atas dirinya yang selama ini masih bertahan.
“Hari ini Haikal rencananya mau ngapain aja?” tanya bapak anak satu itu dengan nada penasaran. Jawaban paling jujur yang Haikal punya untuk pertanyaan singkat itu adalah melaksanakan acara pemakaman untuk ayahnya.
Tetapi bukan jawaban itu yang Haikal katakan, “Haikal rencananya mau pulang ke Jakarta. Mau ketemu sama temen-temen Haikal disana”
Jawaban yang jauh lebih baik dan tidak akan menyebabkan air mata turun. “Ayah gimana..? Ada rencana apa aja hari ini?”
“Hmm” sang ayah merubah arah tubuhnya menghadap ke arah lain. “Ayah mau.... peluk Haikal berjam-jam” ujarnya sambil menatap kembali sang anak, dan tentu saja dengan senyuman khas miliknya.
Haikal mendapatkan rasa sakit dari kalimat tersebut. Tapi tidak dengan topengnya, Haikal tetap senyuman dan berkata, “yah ntar Haikal sesek deh, gabisa napas”
“Emang ayah segendut itu apa sampe bikin orang sesek napas...” jawab sang ayah, sedikit menggerutu.
Haikal terkekeh melihat tingkah ayahnya yang terkadang terlihat lebih bersifat anak kecil darinya. “gendut sih engga Yah, tapi kalo buncit sih banget”
Jujur, rasanya sangat bahagia setiap kali berhasil membuat sang ayah cemberut dengan bercandaan yang Haikal keluarkan.
“Wah kamu parah banget. Bunda aja suka sama perut ayah” ucap ayahnya dengan sombong di akhir kalimat. Lagi dan lagi, Haikal tidak kuat melihat ekspresi wajah sang ayah yang terus menunjukkan kelucuan disana.
“Ayah” panggil Haikal setelah selesai dengan tawanya.
Sang ayah menengok, “Hm? Kenapa?” jawabnya.
“Kalo Haikal lebih milih kerja dibandingkan kuliah, ayah masalah ga?” tanya Haikal. Atmosfer dalam ruangan ini kembali berubah, menggantikan suasana canda tawa dengan keseriusan.
“Emangnya Haikal gamau kuliah? Mau langsung kerja aja?” tanya balik sang ayah.
“Haikal mah mau banget kalo bisa kuliah-”
“Ya pasti bisa, kenapa gabisa?” potong sang ayah.
“tapi kan Haikal harus bisa cari duit kalo mau kuliah. Kalo misalkan Haikal gabisa bagi waktu, yang ada dua-duanya berantakan”
“Terus Haikal mau ngelepas kuliah gitu aja?” nada bicara sang ayah berubah khawatir. Melihat anaknya yang tak menjawab perkataannya karena merasa ragu dalam mengambil keputusan, sang ayah Pratama kembali membuka suara,
“Haikal, coba denger ayah” “Pertama, ayah ga masalah sama status pendidikan kamu. Kalo Haikal mau kuliah, ayah pasti dukung. Tapi kalo Haikal mau langsung kerja juga ayah pasti setuju. Karena kamu laki-laki nak, tanggung jawab kamu akan besar nantinya”
“Kedua, yang harus Haikal lakuin itu bukan tanya pendapat ayah. Pendapat seroang ayah sudah pasti setuju sama apa yang jadi keputusan anaknya, nak. Haikal harusnya tanya ke diri sendiri..”
“Apa yang sebetulnya Haikal inginkan, apa yang benar-benar Haikal ingin gapai untuk masa depan Haikal. Masa depan tidak ada yang tahu nak, hanya Tuhan”
“Apa yang Haikal takuti? Gagal?” tanyanya. “Kalo kata ayah, mau kamu kuliah atau langsung kerja, kamu akan gagal suatu saat nanti”
Haikal menatap ayahnya kebingungan, apa maksudnya?
“Sehebat apa pun orang berusaha, pasti ada gagalnya. Seberapa besar orang itu berusaha, pasti ada nyerahnya. Haikal jangan memilih salah satu kalau alasannya takut gagal, setiap kaki Haikal melangkah pasti sudah ada kegagalan yang akan Haikal lewati”
“Yang Haikal bisa lakukan adalah mencegahnya. Dengan cara?” ayah Pratama menggantungkan kalimatnya dengan nada bertanya.
“Melakukan segala sesuatu dengan ikhlas” Haikal menjawabnya tanpa rasa ragu.
Laki-laki berparas tegas itu tersenyum mengagungkan saat menatap dan memperhatikan laki-laki di hadapannya yang mempunyai paras yang tidak jauh beda darinya.
Senyuman bangga dan tatapan hangat dari seorang ayah untuk anaknya merupakan momen langka yang bisa di dapatkan oleh seorang anak.
Dan beruntungnya, Haikal menjadi salah satu anak yang dapat merasakan momen langka itu di hidup ini. Meskipun harus terhenti pada akhirnya, Haikal tetap harus bersyukur mempunyai ayah sehebat ayah Pratama. “Pinter anak ayah....” satu kecupan singkat mendarat dipuncak kepala Haikal.
“Ayah mau kasih tau permintaan ayah yang terakhir, boleh?” topik lain mulai dibahas, yang artinya waktu untuk kedua orang ini saling tatap semakin menipis.
Haikal hanya menatapnya, menunggu lanjutan kalimat ang akan tersampaikan oleh sang ayah. “Haikal... Ayah juga sering gagal. Bahkan di saat-saat terakhir ayah hidup, yang ayah tinggalkan di dunia hanya kegagalan”
“Ayah minta satu hal aja, satu hal yang mudah. Ayah minta Haikal harus bisa membahagiakan diri sendiri dulu sebelum membahagiakan orang lain”
“Perlakukan orang lain sebagaimana Haikal ingin diperlakukan. Dan ingat Haikal, orang yang menyakiti adalah orang yang terluka”
“Jangan pernah mementingkan orang lain di atas dirimu dan jangan juga menjadi orang yang menginginkan segala hal menoleh padamu. Itu yang ayah minta dari Haikal, Haikal paham?”
Haikal mengangguk perlahan. Memang benar, Haikal memahami semua nasihat yang ayahnya berikan padanya. Tetapi rasanya tetap aneh dan asing ketika mengingat ini akan menjadi nasihat terakhir yang ia dengar dari ayah.
Suara siapa yang harus Haikal dengar lagi ketika merasa dunia jahat padanya?
“Jangan jadi laki-laki egois, jagoan ayah” dan berakhir sempurna. Haikal mendarat didekapan sang ayah dengan nyaman, tidak ada air mata yang keluar, sudut bibir di kedua wajah Pratama terangkat ringan. Ini yang Haikal sebut sempurna.
Dan sampai pada waktunya, berpamitan dengan cara seindah apa pun tetap akan menyakitkan bila harus bertemu dengan perpisahan. Perpisahan akan tetap selamanya menjadi perpisahan.
“Segala cara udah Haikal lakuin... tapi fakta bahwa ayah akan pergi ninggalin Haikal ga akan bisa berubah, sekali pun Haikal berhasil peluk matahari”
Satu tetesan air mata yang terjun bebas dari pelupuk sang ayah, merupakan akhir yang sempurna untuk menutup bab terakhir dalam perjalanan hidup keluarga Pratama.
Kisahnya sudah berakhir. Kenangannya sudah terukir. Perjuangan lamanya sudah berhasil diselesaikan. Setelah ini, tolong kejar kebahagiaan yang masih belum terasa sempurna.
Genggaman terakhir, pelukan terakhir, senyuman indah yang dapat dipandang untuk yang terakhir kalinya, dan langkah baru yang terus berjalan semakin jauh dari dunia sudah Haikal alami beberapa saat yang lalu.
Kini, hanya tersisa dirinya. Seperti diawal perjuangannya, sendiri dan tidak memiliki siapa-siapa untuk menggenggam tangannya.
“Nangis Kal, gua mau ngerokok” suara yang terdengar sangat familiar ditelinga Haikal. Haikal mulai mengangkat kepalanya, memastikan orang yang mempunyai suara itu sama dengan yang ada dipikirannya.
“Nangis” ucap Malan setelah netra mereka bertemu. “gua temenin”
“M-mal...” hanya selang beberapa detik, suara Haikal langsung terdengar sangat serak.
“Shh shh...” Malan langsung membuat Haikal tenggelam dalam pelukannya. “yang sabar ya Kal... lo udah kuat banget. Ayo rapuh, gua jagain”