Uluran Untuk Haikal
“Udah nangisnya?” ucap seseorang dengan suara yang sangat familiar di kuping Haikal.
Haikal hanya menengok dan tersenyum kecil menyambutnya yang telah datang. Sore menjelang malam ini bukan waktu yang biasanya Haikal habiskan untuk menangis.
Tapi entah kenapa, cahaya senja yang terpancarkan oleh indahnya langit dan matahari membuat Haikal merasakan segala kehangatan yang ada di dunia. Dirinya yang seakan membeku sedari tadi langsung terasa nyaman.
“Bokap gimana?” tanya Juan, mengambil posisi duduk di sebelah Haikal. “Udah ketemu sama ayah Pratama?”
“Udah” jawab Haikal singkat.
Waktu demi waktu Juan habiskan dengan menatap sahabatnya penuh khawatir. Lima menit berlalu dan Juan masih belum melepaskan pandangannya pada Haikal. Diamatinya setiap detil-detil muka Haikal dengan fokus, “Kalo mau nangis, nangis aja”
Haikal mengalihkan pandangannya ke Juan, menunjukkan raut wajah bingungnya.
“Ada tanda-tanda mau nangis di muka lo” Juan menjawab raut wajah penuh tanya dari Haikal.
“Engga”
Juan yang mendengar itu menghela nafasnya pasrah. Sudah tahu jelas watak sang sahabat yang akan selalu menolak untuk bercerita.
Lagu Runtuh milik Feby Putri, Fiersa Besari mulai terputar memenuhi halaman belakang Altarok sekaligus menyelimuti sang pejuang yang tengah merasakan kerapuhannya.
“Dengerin liriknya” ucap Juan.
“Tak perlu khawatir, ku hanya terluka Terbiasa tuk pura-pura tertawa. Namun bolehkah sekali aja ku menangis? Sebelum kembali membohongi diri
Ketika kau lelah, berhentilah dulu Beri ruang, beri waktu
Tanpa sadar, setetes air mata terjatuh dari kelopak mata yang sudah mengembung berusaha keras menahan cairan krystal yang meminta keluar.
Haikal menunduk. Tak disangka dirinya akan menangis dihadapan sang sahabatnya. Dirinya merasa gagal, merasa terlihat seperti orang yang sangat rapuh di depan orang lain.
Tapi rasa sakit yang sedang hadir dihidupnya tidak bisa lagi ia tutupi dengan sebuah senyuman dan ucapan “tidak apa-apa.”
Juan merangkul pelan tubuh Haikal yang hancur bersama kepingan-kepingan yang penuh dengan kenangan pahit. “Lo udah kuat Kal selama ini, sekali ini aja-
Juan menggenggam tangan sang sahabat dengan kedua tangannya. Dingin. Rasa sedih yang Juan rasakan melihat sang sahabat yang terlihat putus asa dengan tubuhnya yang terasa sangat dingin tapi tidak dengan hatinya.
Hatinya yang terbakar, sudah menolak untuk menjadi kuat sekali lagi.
-sekali ini aja gua minta lo buat rapuh” ucap Juan.
Ketika semua orang diminta untuk tetap kuat, tetap berjuang melawan rintangan. Disini, ada seorang laki-laki yang justru diminta untuk menyerah. Untuk merasakan kerapuhan yang selama ini ia tahan.
Semesta, Tolong sampaikan ini untuk seorang Haikal Bulan Pratama.
Sekeras apapun ia melawan rintangan, sekuat apapun ia bertahan, jangan lupa bahwa ialah hanya seorang manusia.
Jangan terus-menerus berusaha menunjukkan senyuman di wajahnya. Senyuman yang selalu berhasil menyimpan segala beban dari semesta untuknya.
Untuk Haikal, Jangan pernah merasa gagal menjadi seseorang yang kuat. Karena kamu sudah menjadi sosok yang kuat sejak dulu. Karena kamu mereka mempunyai tempat pulang di Altarok. Karena kamu mereka para pejuang mempunyai tempat untuk melepas kerapuhannya. Dan hanya karena kamu, mereka semua bisa merasakan bahagianya yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya.
“Tolong ambilin tisu Wan” pinta Haikal.
“Udah gitu aja kesananya, ayo”
“Sinting kali ya” Haikal protes, bukannya ditolong malah menyuruh yang engga-engga. “Lo mau mereka tau gua abis nangis?”
“Iya biar keliatan rapuhnya” jawab Juan seadanya.
Dan berakhir Haikal mengambilnya sendiri ke dalam rumah. Sedangkan Juan? Masih sibuk menikmati pemandangan di kala senja hari ini dan masih ditemenani dengan playlist milik Haikal.
“Tapi emang bener Kal omongan lo” ucap Juan tepat saat Haikal telah berdiri di sebelahnya.
“Apaan? omongan yang mana?” orang yang baru saja menginjakkan kakinya di situ jelas terlihat sangat bingung mendengar namanya yang tibaa-tiba disebut.
“Kayaknya gua butuh setahun kenal sama lo baru bisa liat lo nangis”
“Dih” Haikal tidak setuju dengan perkataan Juan. “Gua kalah main fifa aja bisa nangis anying kalo udah 5 – 0”
“Gua yang pertama?” Juan berdiri dari duduknya.
“Iya lah kan gua main ps sama lo doang” jawab Haikal. “Gua ga pernah main fifa sama kale-”
“Gua anak altarok yang pertama ngeliat lo rapuh gini?” Juan memotong perkataan Haikal yang masih saja bisa bercanda di situasi seperti ini.
Haikal terdiam, tidak menyiapkan jawaban apapun untuk pertanyaan Juan kali ini. “Kenapa baru sekarang rapuhnya? Sosok lo yang rapuh gini kemana aja dari kemaren?”
“Engga Wan” jawab Haikal.
“Capek ya? Sakit kan?” Haikal menatap Juan tidak percaya. Tidak percaya mendengar semua perkataan yang baru saja ia dengar bersumber dari sang sahabat.
“Kalo sakit jangan ditahan” lanjut Juan. “Lo tau kan orang pada bilang kalo ada luka jangan ditutup nanti bisa infeksi, nanti lama sembuhnya atau lama keringnya?”
“Sama Kal. Lo udah terlalu banyak punya luka dihidup lo”
“Gua ga maksa lo buat obatin lukanya. Tapi tolong... Tolong jangan ditutupin lagi lukanya”
“Lo nya kuat, kita yang ga kuat ngeliatnya”