sunflowers00p

Sudah 30 menit, Rezvan belum datang juga. Juan sudah menunggunya di tempat yang Rezvan kasih tau.

Lama banget, batin Juan.

“Bocah berantem mulu njir” kata orang yang tidak sengaja melewati Juan. “eh Wan! Tumben”

“Eh Do” Juan membalas tos gaya batu dari temannya itu. “Nunggu temen gua”

“Haikal?” tanya Ido.

“Bukan” jawab Juan langsung. Memang bukan kan?

“Lah Haikal lagi di Gang Perak noh, di hajar tongkrongan sebelah” ucap Ido bingung.

Juan jadi ikut bingung. “Hah”

“Katanya dia mau balik ke Witana tapi tau dah malah berantem” Ido meminum seteguk kopi susu pesanannya.

“Ohh” Juan hanya mengangguk. Hubungannya dengan Haikal sedang tidak baik, untuk apa juga khawatir? Lagian Haikal panglima sekolah terbaik, sudah pasti menang.

“Bu! Jasjus mangga satu!” datang satu orang lagi. “Eh Wan! Temen lo sekarat anjing di Gang Perak”

“Tumben bocah sendiri, ga ngajak lo?” Lanjutnya.

Aneh. Sangat aneh bagi Juan. Apasih? Sekarat? Ga mungkin. Lagian kalo di ajak berantem masa Haikal ladenin?

Mungkin kalo seperti kejadian waktu dia di seret tanpa alasan, Haikal akan meladeninya, tapi kalo hanya sekedar di ajak berantem tiba-tiba di tengah jalan

Tidak mungkin Haikal maju.

Juan langsung lari menuju Gang Perak. Dia tidak khawatir. Hanya kepo.

Ingat! Juan tidak khawatir dengan Haikal.

Ternyata benar, jelas aja Haikal sekarat. Berantem macam apa yang 6 lawan 1?

“WOII” teriak Juan, membuat keributan itu terhenti sebentar. “Kok cowo doyannya keroyok si? cowo bukan” Pelan-pelan Juan menghampirinya.

Haikal yang kondisinya sudah sekarat merasa lega dan kesal melihat kedatangan Juan.

“Dateng juga anaknya” ucap Bang Janu pelan.

Keributan berlangsung kembali selama 15 menit. Masih dengan orang yang sama, namun tim Haikal bertambah 1 orang.

6 lawan 2.

Semakin di lawan, Haikal dan Juan semakin sekarat. “Kal” panggil Juan.

Haikal menengok. “Gua itung sampe tiga ya” lanjutnya.

Haikal mengangguk mengerti.

“Satu”

“Dua”

“Itung apaan lo pada!!”

“TIGAA”

“KABUR LAH GILA, GUA GA MAU MATI MUDA” Haikal ikutan teriak, menjawab perkataan Janu.

Mereka akhirnya lari sekencang kilat. Iya, beneran sengebet itu.

“Kok kabur sih lo! WOI!!”

“Udah udah, segitu doang tugasnya” Janu menahan temannya yang berniat maju. “Itu bocah berdua abis berantem”

Ketiga kalinya Haikal menjadi tempat cerita di tempat yang sama dan ketiga kalinya juga ia berada di samping sahabatnya saat di bawah.

Itu yang Haikal janjikan selama ini. Dan dia melaksanakannya.

“Kalo lo disakitin sama orang yang selama ini lo banggain rasanya apa Kal” Juan memulai topik pembicaraan.

Nada yang dilontarkannya terdengar seperti orang yang putus asa dan butuh pegangan agar jauh dari rasa nyerah.

“Hmm” Haikal berpikir sebentar. “Sakit” jawabnya singkat.

Jawaban singkat Haikal membuat Juan menatapnya, hanya itu aja jawabannya?

“Tapi lebih sakit ngeliat orang yang kita sayang di sakitin sama orang yang kita banggain. Ya kan?”

Tepat sasaran. Perkataan Haikal persis dengan apa yang Juan alami. Bahkan bukan persis lagi, tapi memang itu yang di alaminya.

Haikal mengukir senyum kecil di wajahnya, sahabatnya sudah berada di titik terbawahnya. Haikal tahu itu.

Juan terus menunduk sedari tadi, sepertinya mengangkat kepala, berdiri tegak dan tersenyum sangat susah dilakukan olehnya sekarang.

Terbukti kan? Orang sekasar Juan, orang sekeras Juan, dan orang sekuat Juan akan rapuh jika sudah membahas kelemahannya.

“Gapapa Wan” Haikal merangkulnya, menepuk pelan pundak Juan seirama dengan detik jam berjalan.

“Itu wajar” kata Haikal. “Yang ga wajar itu kalo lo jadi kayak dia”

“Dunia keras Wan. Bangsat malah. Lo harus jadi orang sebaik baiknya kalo mau bertahan disini”

“Susah nerima kenyataan bukan berarti mustahil kan?”

Juan tidak menjawab apapun. Bukan karena dia tidak mau menjawabnya tapi karena yang di butuhkan sekarang hanya kata-kata menenangkan dari Haikal.

Haikal sangat mengenal Juan. Haikal melihat dirinya yang dulu di Juan. Sangat mirip dengannya.

Haikal akan terus berbicara sekalipun Juan tidak menjawabnya, karena dulu dirinya seperti itu. Yang dia butuhkan hanya perlakuan bukan pertanyaan.

Haikal selalu berpikir, kadang manusia hanya membutuhkan pegangan bukan belaan. Butuh seseorang yang jadi tempat cerita bukan kalo sempat cerita. Manusia bisa sekuat baja namun sekalinya rapuh bisa serapuh batu yang diselimuti lumut. Akan hancur Akan hancur sehancur-hancurnya.

“Lo bisa ga kalo maafin bokap lo sekali ini? Sanggup ga” Haikal mengakhiri omongan panjangnya dengan pertanyaan.

“Engga”

“Tapi harus lo maafin” jawab Haikal.

“Mana bisa anjing, gua tau dia. Bangsat, yang ada juga dia sama aja kayak dulu”

“Lo ga bakal tau Wan kalo ga kasih kesempatan” ucap haikal. “Lo bisa sampe di titik ini menurut lo karena apa?”

“Uluran tangan lo”

PLAK!

Haikal memukul belakang kepala Juan. “Dangkal banget otak lo pantes remed mulu” Haikal tertawa kecil, mencairkan suasana.

“Lo disini karena lo Juan. Lo kasih kesempatan buat diri lo sendiri biar berubah. Lo takut ga bisa keluar dari diri lo yang dulu. Lo takut tapi ga ada yang berani narik lo dari jebakan itu. Sampe akhirnya ketemu gua”

“Sama kan kayak ayah? Kalo bukan lo siapa lagi yang mau narik ayah lo dari jebakan itu? Ayah lo kejebak di situ karena emang ga ada yang bantu dia keluar, bukan karena dia ga mau keluar”

Semua perkataan Haikal benar. Cerita yang ayahnya hadapi sama persis dengan yang Juan alami. Tetapi hati Juan masih berat menerimanya kembali.

Pikiran Juan masih belom jernih. Dirinya sibuk memikirkan apa keputusan yang harus diambil agar tidak menyesal dan semua berjalan dengan baik.

Juan mulai mengangkat kepalanya, menatap sahabatnya itu. “Kalo orang sekuat gua boleh nyerah ga?” tanyanya.

Pertanyaan Juan sempat membuat Haikal mengerutkan dahinya dan bingung untuk sementara waktu, “Boleh. Ga ada yang larang”

“Boleh nangis?”

“Boleh”

“Ngeluh tentang semua tanpa harus ada yang di pendem, boleh?”

“Boleh.. Kenapa?” Haikal semakin tidak mengerti arah tujuan pembicaraan Juan.

Juan mengangguk. “Yaudah,

lakuin Kal kalo emang boleh. Ga ada yang larang”

Haikal mengerti sekarang. Pembicaraan ini sama seperti yang di katakan Malan dan Rezvan hari lalu.

“Semesta cuman lagi ga berpihak sama Haikal. Bukan ga mau berpihak ke Haikal”

“Lo kuat karena lo Haikal. Lo Haikal karena lo kuat. Semesta taro semua beban di pundak lo biar bisa lebih kuat ngadepin besok”

Haikal tinggal sendiri di tempat ini,

tempat nyaman penuh dengan kenangan dan cerita dari 7 pejuang Altarok.

Semoga Haikal bisa bahagia dan merasa beruntung ada di dunia ini.

Kamu kuat karena kamu Haikal Kamu bersinar karena kamu Bulan Kamu beruntung karena kamu Pratama

Jika semesta tidak memberi kebahagiaan di garis takdir Haikal, setidaknya semesta harus membantu Haikal menjadi semakin kuat jika kebahagiaan belom ada di depan matanya.

“Kenapa jon” Haikal mengambil asbak di meja sebelum duduk di sebelah Rezvan, lesehan.

“Gua mau donor-

“DEMI APA ANJING?! BAGUS DONG” Haikal langsung memotong perkataan Rezvan penuh semangat.

“Apaan sih anjing” Rezvan menarik Haikal yang tadi sempat menjauh karena berteriak. “Dengerin dulu”

“Gua mau tapi gua takut” ucap Rezvan dan suasana berubah serius.

“Yaelah Van cemen lo” Haikal menghirup batang rokok di sela-sela jemarinya itu. “Udah gede begini takut suntikan, malu ama umur”

plak!

Rezvan memukul belakang kepala Haikal. “Gua lagi serius anjing” Rezvan tertawa.

Melihat itu Haikal tersenyum tipis, ujung kedua mata bulatnya ikut melengkung tersenyum.

“Takut kalo situasi balik kaya dulu?” tanya Haikal.

“Iya” jawabnya langsung. “Gua pamrih. Gua pengen mereka nganggep gua setelah gua donorin darah gua”

“Kalo itu pamrih. Rubah aja”

Perkataan Haikal membuat Rezvan menengok, menatapnya bingung.

“Buat pamrih lo jadi perjanjian” jawab Haikal.

“Susah Mal. Istri ayah udah nolak gua mentah mentah dari awal” jawab Rezvan putus asa.

“Coba dulu kali”

“Kalo gagal?”

“Kalo berhasil?” tanya balik Haikal.

“Kalo gagal?” tanya Rezvan ulang.

“Mikirin gagalnya ntaran aja. Kalo berhasil gimana?”

“Ya bagus”

“Goblok” muka Rezvan berubah tidak terima. Raut wajahnya seakan-akan menggambarkan 'apaan sih?' akibat perkataan asal dari Haikal.

“kalo berhasil-

Rezvan fokus menatap Haikal. Sangat fokus menunggu jawabannya.

-lo udah di garis finish Van” lanjut Haikal.

“Ga kerasa kan?” Haikal tersenyum.

Mata Rezvan berkaca-kaca setelah mendengar perkataan Haikal. Dia tidak percaya itu adalah akhir dari perjuangannya selama ini.

Rasanya sangat cepat menuju akhir. Berbeda dengan dulu, saat dia masih hanya mempunyai kedua tangannya sendiri. Tidak di bangkitkan siapapun di saat ingin menyerah.

“Hebat Van” Haikal mengangkat tangannya, mengacungkan jempol untuk rezvan.

“Ngelewatin rintangan mustahil emang ga gampang. Tapi ga mustahil kan?”

Semua kenangan dari awal mereka bertemu terus berputar di kepala Rezvan. Jika Haikal tidak datang saat dia dikepung preman-preman, jika Haikal tidak datang saat dia di cegat kak Reno di kantin bimbel, jika Haikal dan Malan tidak terus meminta rezvan berjuang,

Rezvan tidak akan berada disini. Bahkan tidak jadi Rezvan yang sekarang. Rezvan yang hebat, kuat, dan berani.

Ayah, Rezvan sudah kuat sekarang. Ayah bisa bilang terima kasih ke Haikal. Rezvan baik baik aja bukan karena hebat tapi karena Haikal, batin rezvan dalam hati.

Tatapannya tidak lepas dari Haikal yang masih tersenyum kepadanya.

“Kal” panggil Rezvan setelah terdiam lama. Suaranya bergetar akibat suasana hatinya yang menangis.

Haikal tersenyum lebar, merespon panggilan Rezvan

“Orang kuat boleh rapuh Kal. Nangis ga bikin dosa”

Lagi dan lagi. Haikal mendengar kata kata itu kembali malam ini. Hatinya ingin teriak sekarang, matanya ingin menangis sekarang tapi selalu ditolak oleh pikirannya.

Situasi meminta padanya untuk kuat saat ini. Orang yang berada di hadapannya membutuhkannya, jangan memutar balikkan suasananya.

Rezvan yang membutuhkan ulurannya bukan Haikal yang membutuhkan uluran.

Semesta meminta Haikal untuk tetap kuat berulang kali, bertahan sedikit lagi. Semesta berjanji akan memberinya kebahagiaan saat waktunya tiba.

“Kalo yang selama ini lo lakuin cuman buat bantu kita kuat, lo kapan kuatnya? Kapan sampe garis finishnya?”

“Harus banget kita tungguin di garis finish?” Rezvan mendengus kecil, tertawa sedikit.

Setidaknya berhasil membuat Haikal sedikit tersenyum. “Iya gampang Van. Masalah gua mah sekali kedip juga kelar”

Rezvan tahu Haikal berbohong, tetapi topik pembicaraan ini tidak akan Rezvan lanjutkan karena Rezvan tahu itu cara Haikal menunjukkan sisi kuatnya.

! play resah jadi luka – daun jatuh !

Haikal fokus menghirup zat nikotin di tangannya itu dan menghembuskannya tenang

Malan sendiri sudah berada di samping Haikal sedari tadi, duduk menghadap langit dan pemandangan kota malam.

“Sekarang gimana caranya gua hadepin dunia?”

Iya, tak terasa sudah seminggu berlalu sejak kepergian Sheren, sang adik.

Bagi orang lain akan terasa baru sebentar, tapi bagi Kavindra Malan Syahputra itu sudah pantas disebut waktu yang lama. Bahkan sangat lama.

“Kenapa?” Haikal menengok, memandang sahabat seperjuangnya yang sedang di ujung tanduk menyerah.

“Gua harus apa?”

“Tanya diri sendiri” jawab Haikal. “Ya lu udah ngerasa baik belom ke diri sendiri?”

“Percuma tau tujuan hidup, alesan berjuang kalo ngenalin diri sendiri aja ga. kalo bukan lu siapa lagi?” lanjut Haikal.

“Lo diem doang selama ini berarti hidup lo ga ada masalah?” malan membahas topik lain.

“Malah bahas gua” Haikal memalingkan wajahnya.

Malan tidak menjawabnya lagi, begitu juga Haikal yang tidak mengatakan apapun.

“Lagian..

-Malan menengok

masalah hidup gua lebih berat dari lo. Segini aja lo nyerah gimana mau bantu gua” ucap Haikal.

“Tai, bisa banget ngomongnya” Malan tertawa mendengar perkataan Haikal, disusul Haikal yang mengukir senyum tipis di wajahnya melihat sang sahabat.

Nada dan lirik lagu 'Pamit' terus mengisi suasana tenang dan sepi ini. Setiap lirik Malan dengarkan dengan hatinya.

Lagu ini menceritakan kisah hidupnya. Bedanya lagu ini tentang seseorang yang akan pergi di kehidupan orang lain.

Sedangkan kisah malan tentang seseorang yang pergi dari hidup tanpa pamit sekalipun.

“Kenapa nyetel lagu ini si?” Haikal berkomentar.

“Galau”

“Lagunya kan ke cewe dongo, pasangan. Lah lo kan ade lo”

“Kan sama-sama kehilangan” jawab Malan seadanya.

“Stress lo gua liat liat”

“Kal” panggil Malan.

“Hah?”

“Haikal” yang di panggil tidak kunjung menengok.

“Apaan anjing”

“Orang kuat ga harus selalu kuat, rapuh sebentar gapapa”

“Rapuh ga buat lo cemen” perkataan Malan berhasil merubah atmosfer di sana terutama suasana hati Haikal.

Perkataan Malan seakan-akan menusuk tepat dihatinya. Jujur, itu kalimat yang sangat Haikal butuhkan sekarang.

Dirinya menanggap jika seorang Haikal menyerah, bersandar, istirahat walaupun hanya sebentar itu akan membuatnya lemah. Saat ini ada 6 orang bersandar padanya, menerima uluran tangannya karena kepercayaan yang mereka taruh sepenuhnya pada Haikal.

Haikal tidak boleh terlihat lemah hanya karena hidupnya. Haikal harus ada di samping keenam orang itu apapun yang terjadi.

Haikal harus jadi orang pertama yang berada di belakang mereka untuk melarangnya jika ingin mundur, menangkapnya jika terjatuh, dan menjaganya agar tidak menyerah.

“Nyerah bukan berarti payah Kal. Kadang orang emang harus nyerah biar tau berapa banyak orang yang ngedukung dia tetep kuat, bertahan sama bangkit”

Malan menatap Haikal yakin dan mengangguk. Malan ingin dia tahu bahwa apapun caranya Haikal menghadapi dunia, bertahan dengan segala permainan semesta,

Malan dan semua orang di sekitarnya akan selalu percaya padanya. Sekalipun Haikal ingin menyerah, Altarok akan siap menutupi kerapuhannya dari segala sudut dunia.

Dunia dan semesta hanya akan tahu bahwa seorang Haikal Bulan Pratama adalah pejuang yang berhasil mengulurkan kedua tangan untuk menggenggam dan mengangkat keenam orang untuk bangkit.

Semesta,

Jaga dia baik baik seperti dia menjaga topeng kuatnya dengan sangat baik.

Makasih telah membantunya kuat selama ini hanya dengan keadaan. Makasih sudah membantu nya bertemu dengan keenam pejuang lainnya.

Bantu Haikal melewati semua musim di bumi. Jaga Haikal sampai dia bisa tersenyum dengan tulus.

Aroma hujan yang baru saja reda membuat siapapun merasakan ketenangan dan kehangatan.

Pepohonan terlihat begitu segar setelah di basahi air langit. Masih tersisa bercak air hujan di batangnya maupun daunnya.

Pandangan seseorang terlihat kosong. Sangat kosong, seperti tidak ada kehidupan yang harus di jalani.

Pemakaman berlangsung dengan lancar. Selama perjalanan di bawah langit redup, Malan tidak melepaskan tangannya dari keranda sang adik sejak masuk ambulans.

Mereka kembali ke Altarok setelah Malan melepaskan semua emosinya di hadapan sang adik. Rasa sakit melihatnya ditinggal sendiri, rasa sedih yang sudah tidak bisa di utarakan lagi.

Dan rasa rindu yang selalu hadir. Rindu melihat sang adik berjalan, berlari, memanggilnya kencang. Semua kenangan terus berputar di kepalanya.

Hidup ini dia habiskan 90% dengan Sheren, setiap hari yang ia pandang hanya sang adik. Panggilan yang selalu ia tunggu hanya panggilan dari perempuan yang berbaring di ranjang rumah sakit itu.

Malan duduk di tepi bukit, teras belakang milik Altarok. Penampilannya sudah tidak terlihat seperti manusia sewajarnya. Sangat amat hancur.

Seperti hidupnya sekarang. Hancur.

Keenam sahabatnya selalu berada di belakangnya, menjaganya agar tidak jatuh. Menangkapnya jika menyerah. Seperti sekarang, mereka hanya bisa memandangi punggung sang kakak tertua yang benar-benar terlihat murung.

Dunia memang terasa hancur jika seseorang yang sangat kita sayang pergi. Tapi dengan kepergiannya, tidak berarti kita harus berhenti berjuang.

Kepergiannya harus membuat kita melangkah lebih maju.

“Mal, ke dalem dulu” ucap Haikal. “Angetin badan, dari pagi lu di luar” lanjutnya.

Lagi dan lagi Malan menolaknya, ini bukan tawaran pertama untuknya. Sampai jikal pun sudah menawarkan minuman favoritnya, tapi tidak berefek apa-apa.

Bukan karena malan tidak menginginkannya, tapi karena rasa kehilangan pada dirinya tak kunjung pergi.

Satu persatu keenam pejuang itu mulai duduk di sebelah Malan. Tidak untuk mengganggunya, tapi untuk menatap apa yang malan tatap. Merasakan apa yang malan rasakan.

“Kita mau nyerah?” tanya si bungsu.

“Biar dunia dan semestanya yang jawab. Tugas kita cuman ngejalanin” jawab Haikal, pandangannya menatap lurus.

“Semoga ada bahagia di garis takdir kita” ucap Juan.

“Semoga”

“Semoga” ucap Malan pelan, nyaris tak terdengar.

Dunia, biarkan yang bahagia merasakan kebahagiaannya, biarkan yang sedih merasakan perasaannya, dan biarkan rasa nyerah terus hadir di hidupnya. Permainan semesta sungguh tidak ada yang tahu, semesta itu seperti menonton film di bioskop.

Kita tidak akan tahu jika tidak menontonnya. Prosesnya harus kita lewati dengan membeli tiket. Setiap orang boleh mempunyai tiket tapi soal bisa mempunyainya, itu tergantung keputusan semesta.

Semesta seakan-akan mempunyai beribu-ribu cerita dan rencana untuk setiap orang. Semesta dengan mudah memberi kebahagiaan dan tanpa rasa ragu semesta memberi kesedihan juga.

Dunia dan semestanya, Izinkan ketujuh pejuang ini merasakan hasilnya. Terus membuat dan membantunya untuk semakin kuat. Bilang pada mereka, yang mereka hadapi sekarang adalah jauh dari kata 'tidak sanggup' bagi mereka.

Dunia dan semestanya, izinkan mereka melepas topeng kuatnya dari dunia. Ketujuh pejuang ini sedang merasakan rasa nyerah dalam hidupnya.

Semesta, semua mimpi, permohonan, dan doa yang selalu di sampaikan oleh manusia kepadamu adalah untuk memberi mereka harapan dan semangat.

Untuk dunia dan semesta,

Tolong biarkan mereka bahagia meski hanya untuk sementara. Tolong biarkan mereka bahagia saat sudah waktunya. dan izinkan mereka untuk berhasil sampai di titik itu dengan kaki tangannya sendiri.

Meja bundar di sudut taman rumah sakit jadi tempat kedua laki-laki itu menghabiskan malamnya.

Jikal masih duduk di kursi rodanya, menatap bintang. Ditemani Haikal yang juga sedang menatap langit malam, duduk di sebelah sang adik, menjaganya.

“Pernah mau nyerah ga bang?” tanyanya. Pertanyaan itu berhasil membuat Haikal menengok dan menatap heran.

“Kenapa nanya gitu? Mau nyerah?”

“Bukan Jikal” tolak Jikal langsung. “Tapi bang Naren...”

Haikal mengerutkan dahinya, “Naren kenapa?”

“Semua sih. Bang Malan, Rezvan, Juan, Naren, Cekra, semua punya sesuatu yang harus di perjuangin”

“Lah gua cuman gini doang. Masalah balapan. Kalo gua berenti balapan, perjuangan gua selesai ya kan?” Jikal terkekeh menatap Haikal.

“Kok ga nyebut nama gua?” tanya Haikal. “Kan gua juga berjuang”

“Ngapain?” laki-laki itu tersenyum tipis. “Semua percaya lo bisa, masalah apapun yang lo hadapin pasti akan selesai. Lo kan alesan kenapa altarok ada”

“Bukan lo yang punya kita, tapi kita yang punya lo” “Bukan lo yang nemu kita, tapi kita yang ditemuin lo” “Mungkin sama aja, tapi kalo di denger lagi maknanya bakal beda” lanjutnya.

Haikal menatapnya tidak percaya. Laki-laki yang selalu ngambekan, berdiri paling belakang kalo berantem, selalu bawa permen kemana-mana adalah laki-laki yang berada di depannya, bicara penuh makna kepadanya.

Haikal hanya mengangguk tersenyum, “Kejedot ya di mimpi?”

“Dih?”

“Tumben kalo ngomong ngena, ga nyakitin” jawab Haikal, lalu tertawa.

! play lagu bertaut – nadin amizah !

Malan dan Haikal menghembuskan nafasnya berat, seakan-akan beban dalam diri mereka akhirnya terangkat.

Biaya pengobatan Jikal sudah terbayar dan Jikal juga sudah berada di tempat yang nyaman.

Angin malam terasa dingin, di dukung dengan langit malam. Semua terasa dingin namun hangat secara bersamaan di atas sana.

Sudah berbulan-bulan mereka tidak mengalami suasana ini lagi,

“Apa kabar bro” canda Malan.

Yang dulunya berjuang berdua, menghadapi dunia hanya berdua, hanya punya satu sama lain di saat jatuh atau pun bangkit.

Sekarang, sudah ada orang lain yang hadir di kehidupan mereka.

“Mal” panggil Haikal. Mukanya berubah pucat, ada sesuatu yang menganggu pikiran cowo itu.

“Kalo sampe sini aja udah berat, gimana ntar pas garis finish” lanjutnya. “Nyampe garis finish aja ga berarti pasti menang”

“Kalo ga menang bukan berarti ga berhasil kan?” jawab Malan. Laki-laki di sebelahnya sedang membutuhkan uluran tangan yang selalu ia beri ke orang lain,

ternyata Haikal juga membutuhkannya.

“Pernah cape ga Mal?” tanyanya lagi.

“Pernah. Sering mungkin”

“Kenapa belom nyerah?”

“Karena ada lo yang selalu ngasih tangan buat bangkit” jawabnya.

Haikal tersenyum kecil. Ia baru sadar atas perilakunya selama ini. Ternyata hanya dengan sebuah uluran tangan bisa menjadi sangat berarti bagi orang lain.

Tapi kenapa Haikal terus terjebak di fase ini?

Ibarat perang, Malan sudah ada di paling depan. Bertahan hidup dan berjuang setengah mati.

Sedangkan Haikal, masih berada di paling belakang. Tidak tahu harus maju kapan. Tidak tahu harus berbuat apa. Karena itu perang pertamanya.