sunflowers00p

! play lekas pulih – fiersa besari !

Suara langkah kaki yang terburu-buru membuat sepanjang lorong rumah sakit menjadi bising dan meninggalkan suasana tegang disana.

Haikal masih terus tergesa-gesa dalam jalannya. Tidak berhenti memerhatikan jam yang terletak di pergelangan tangannya.

Pukul 16:45 sore hari.

Haikal sampai di depan pintu kamar yang selama seminggu ini selalu dia sapa. “Gua pastiin temen gua ga bakal ada di situ lagi”

Haikal membuka pintunya, setelah mengatur nafasnya perlahan.

“Empat lewat empat lima. Catet Mal” ucap Haikal sekilas setelah menyapa Malan yang berada di paling depan menyambut Haikal.

Perjalanan dari tempat Haikal berangkat sampai rumah sakit hanya memakan 15 menit pas. Dengan kecepatan yang tidak manusiawi tadi, Haikal berhasil sampai hanya dengan kurun waktu 5 menit.

Malan menelponnya tepat pukul 16:47.

Haikal simpulkan bahwa Narendra membuka matanya untuk kembali ke dunia pukul 16:45.

Langkah kaki Haikal berjalan semakin pelan, mengikis jarak antara dirinya dengan Narendra yang masih sesekali memejamkan matanya.

Entah apa sebabnya, mata coklat indah milik Haikal perlahan terisi penuh dengan cairan bening mengkilat di kelopaknya.

Rasa bahagia melihat sahabatnya yang kembali ke sisinya? Atau rasa bersalah karena sudah memintanya untuk bertahan dalam sakitnya?

Haikal menatap lampu di atap kamar, berusaha menghilangkan genangan air mata di kelopak matanya.

Menghembuskan nafasnya lega, mengusap kasar mukanya. Lalu tersenyum.

“Narendra, ini Haikal” ucapnya.

Sang putra bintang hanya menjawabnya dengan kedipan mata yang mengisyaratkan 'Iya, aku mengenalmu'.

Kedua sudut bibir Haikal terangkat, air mata pertama lolos membasahi pipinya ketika menatap sahabatnya dalam waktu yang lama.

Haikal menyadari betapa kuat sahabatnya ini. Yang sudah melewati semua rintangan dan berhasil bertahan demi dirinya untuk balik ke dunia.

Narendra mengangkat lengannya lemah, menunjuk suatu benda yang terdapat di lengan kanannya Haikal.

“Kenapa Kal?” tanya Rezvan saat melihat Haikal yang sedang mencari-cari sesuatu.

“Gelangnya Kak Naren bang” sahut Cekra.

Haikal menatap gelang yang menghiasi tangan kanannya lalu menatap Narendra bergantian.

Narendra kembali mengedipkan matanya.

“Gelangnya udah ilang Kal. Makanya heran kok bisa ada di lo” Juan menjelaskan.

“Waktu itu gua temuin di depan Altarok. Ada di rumput” jawabnya. “Gua pakein ya”

Haikal melepas gelangnya. Memasangkannya di pergelangan tangan Narendra perlahan.

Haikal melangkah mundur, memberi kesempatan untuk sang adik. Kafkama Jikaltara.

“Kemaren Jikal nangis deres banget Ren di sebelah lo” ucap Juan tersenyum, mengusap puncak kepala Narendra lembut.

Senyuman kecil terukir di balik alat nebulizer yang Narendra pakai.

“Makanya cepet bangun bang, biar Jikal ga cengeng jadi cowo” sahut Cekra membuat satu ruangan penuh dengan tawa.

“Bangun Ren” Malan ikut bicara.

“Udah di garis finish. Tinggal bangun aja” Haikal.

“Belom” ucap Rezvan tiba-tiba. Semua pemandangan mengarah padanya.

“Cepet keluar dari sini biar kerasa garis finishnya” lanjut Rezvan.

“Iya deh yang udah ngerasain” balas Haikal, bercanda.

Narendra ikut tersenyum. Tertawa dalam hati.

Rasa rindu, nyaman dan bahagia menyambut hangat Narendra yang baru kembali ke dunia.

Semesta berpihak padanya. Terima kasih.

Akan kami pastikan, Narendra menjalani hidup yang sangat indah dan nyaman untuk kedua kalinya. Pasti. – Altarok, 6.

Jarum jam menunjukkan pukul 8 tepat pada malam hari, kedua remaja yang dipenuhi rasa khawatir menginjakkan kakinya di gedung besar bernuansa putih bersih itu.

Mereka tiba. Tiba di tempat dimana sang kakak tengah berjuang.

Jikal melangkahkan kakinya dengan cepat menuju kamar seseorang seolah-olah tidak akan melihatnya lagi di kemudian hari. Disusul oleh sang kakak terakhir, Cekraza yang berusaha menyamakan ritme langkah kaki si bungsu.

“Le!-

sapa Rezvan yang sedari tadi menunggu kedatangan kedua adiknya.

-eh buset” Jikal melewatinya begitu saja? Bahkan dengan tidak sengaja menyenggol bahu Rezvan agar bisa menggapai gagang pintu lebih cepat.

“Kale kenapa?” tanya Rezvan penuh tanda tanya kepada Cekra.

Cekra mengatur nafasnya, berpegangan pada dinding rumah sakit. “Sumpah ga tau”

“Turun dari motor aja langsung lari” lanjutnya.

“Lo gapapa?” Rezvan berubah khawatir melihat kondisi Cekra yang terlihat sangat lelah.

Dibalas anggukan oleh Cekra. . . Semua hadir di ruangan itu.

Ruangan yang dipenuhi dengan cat putih, di sekelilingi dengan harum khas rumah sakit, dan dihiasi dengan bunga-bunga cantik di setiap sudut ruangannya.

“Kale udah makan?” tanya Malan berbisik. Menghampiri Cekra yang berada di sudut ruangan, fokus mengerjakan tugas sekolahnya.

Ya, Cekra rela membawa semua tugas sekolahnya yang menumpuk ke rumah sakit demi sang adik yang ingin bertemu kakaknya.

“Udah” jawab Cekra ikut berbisik.

“Ga nangis kan dia?” tanya Malan lagi.

Cekra menggeleng. “Cuman jadi buru-buru aja dia. Di tengah jalan gua sampe kena marah gara-gara pelan bawa motor, padahal udah delapan puluh kilomater perjam bang sumpah”

Malan tersenyum kecil, pandangannya terlempar kesisi tengah ruangan. Pemandangan seseorang yang menggenggam erat orang di hadapannya dengan mata tertutup damai dan sesekali mengistirahatkan kepalanya di atas genggaman tersebut.

“Mal” panggil Haikal dengan nada berbisik. “Keluar dulu” ucapnya.

Malan hanya mengangguk dan mengajak Cekra ikut dengannya. Orang yang lengannya ditarik secara tiba-tiba itu memasang wajah bertanya namun hanya dibalas anggukan oleh Malan.

Haikal meminta semua untuk menunggu di luar kamar. Memberi waktu dan tempat untuk Jikal melepaskan emosi dan rindunya pada Narendra yang tertidur lelap. . . “Kak....

Hari ini Jikal ulangan fisika, terus dapet sembilan puluh dua. Katanya setiap dapet nilai angka sembilan, bakal di masakin sop udang lagi...

Jikal laper. Pengennya makan masakan kak Naren doang...”

Jikal menunduk, menghembuskan nafas beratnya. Di waktu yang bersamaan, air mata pertama pun jatuh membasahi pipinya.

Jikal masih belum menatap sang kakak kembali. Ia tahu sang kakak masih tertidur nyenyak menutup matanya tetapi tetap, ia tidak mau menunjukkan air matanya di hadapan raga sang kakak.

Jikal meletakkan tangan Narendra pelan di sisi tubuhnya, mengusap air matanya sekaligus membelakangi sang kakak.

Dan menangis.

Tangisan penuh rindu yang selalu menjadi musuh terberat bagi seorang Kafkama Jikaltara. Pernah rindu berat dengan seseorang? Jangan tanyakan pertanyaan itu pada Jikal.

Karena kenyataannya dirinya selalu diselimuti rasa rindu yang mendalam seumur hidupnya.

Untuk langit, Tolong kembalikan sang putra Bintang kesayanganmu pada mereka. Mereka membutuhkan Bintangnya. Mereka harus menyelesaikan rintangan semesta bersama. Tolong berpihak pada mereka untuk yang terakhir kalinya.

Tolong izinkan mereka merawat putra Bintang kesayanganmu untuk yang kedua kalinya.

Biarkan mereka memiliki satu cahaya bintang di dalam langit perjuangannya yang gelap. Hanya satu, tidak lebih.

Satu bintang, Bintang Gaduhtra Narendra.

Mereka akan menjaganya seperti dirimu yang selalu menjaganya dari jauh di setiap malam. Tolong beri satu dari seribu putra bintang kesayanganmu pada Altarok.

“Kak-

Jikal kembali menatap Narendra setelah menenangkan dirinya yang semakin rapuh seiring detik jam berjalan.

-betah banget ya tiduran disini?”

Jikal mulai melontarkan pembicaraan ringan untuk menenangkan suasana hatinya.

“Kasur Altarok juga nyaman kak” lanjutnya.

Dinding pertahanan pun runtuh, air mata terjatuh tanpa berhenti, semua kenangan kembali terputar di kepala.

Jikal tidak bisa, Jikal tidak terima dengan kenyataan yang dialaminya. Baru kemarin bukan? Narendra bermain ps dengannya, memasak makan malam untuk Altarok, dan mengomel karena kamarnya yang berantakan.

Rasanya seperti baru kemarin sang kakak tersenyum memberitahu bahwa minggu ini adalah minggu terakhirnya mengunjungi rumah sakit.

“Kak, cepet bangun ya” Jikal menggenggam erat tangan Narendra. “Kita ketawa bareng lagi, main ps bareng lagi”

“Kita berjuang bareng dari awal lagi, ya kak? Tolong bangun...”

“Kak Naren punya Jikal, punya Altarok, punya ayah” suara Jikal kembali bergetar akibat bendungan air mata yang mengisi kelopak matanya kesekian kalinya.

“Bangun demi kita. Bangun kak...

Jikaltara mohon”

Lagu lekas pulih milik Fiersa Besari terus berputar berulang kali sampai sang pejuang yang sudah di tunggu datang.

“Tidak apa-apa, menangislah Itu tak menjadikanmu lemah Semuanya memiliki hikmah Tuhan Mahabaik, percayalah!”

Cekra hadir di samping Haikal, duduk dan mencari posisi nyamannya untuk berkeluh kesah malam ini.

Cekra merasa lelah. Lelah dengan keadaan, lelah dengan permainan semesta, lelah dengan perjuangannya sendiri.

“Kayaknya-

Haikal menengok

-harapan lo yang altarok bisa berhasil sampai garis finish harus pupus deh”

“Gue ga yakin bisa. Gue juga ga mau jadi bikin yang lain nunggu”

“Ini lo marah ga kalo gue nonjok lo?” jawab Haikal. “Omongan lo bangsat banget soalnya”

Cekra terkekeh melihat sifat sang kakak yang masih saja menyemangatinya.

“Gue salah ya bang, tadi main kabur aja” nada bicara Cekra berubah serius.

Lagu yang sudah berhenti berputar membuat Haikal seratus persen fokus dengan perkataan Cekra.

“Salah” balas Haikal. “Itu bego. Gue ga pernah ngajarin lo begitu”

“Kra” panggil Haikal.

“Ada saatnya lo boleh pegang telor, ada saatnya lo ga boleh. Sekalinya pegang telor di saat lo ga tau apa-apa, yang bisa lo lakuin cuman apa? Bikin pecah doang”

“Pegang telor ga bisa terlalu erat, ga bisa juga terlalu lembut. Semua butuh proses, proses bakal bantu lo belajar tentang semua yang berkaitan dengan tujuan lo”

“Ga semua harus lo kejar. Jangan terlalu keras sama diri sendiri Kra. Gue tau lo kuat, tapi lo bisa rapuh”

“Dan satu-satunya orang yang bisa bikin lo bangkit itu cuman diri lo. Bukan gue”

“Gue cuman berharap lo jangan terlalu keras sama diri sendiri. Kalo emang kangen sama papa, samperin. Peluk dia”

“Papa lo juga pasti masih di proses mengenal dan mengerti lo, jangan maksa dia buat buru-buru”

Cekra mendengar semua perkataan Haikal. Haikal memang sangat pintar mengenal seseorang, padahal dirinya belum menceritakan apa yang dia rasakan sama sekali padanya.

“Nangis aja”

Dua kata dari Haikal dengan mudah membuat genangan air mata di sudut mata Cekra pecah.

Cekra menunduk, menutup erat mukanya. Suara tangisan terdengar. Suaranya memang tidak keras tapi siapapun yang mendengar pasti bisa merasakan betapa sakitnya tangisan ini.

Haikal mengangkat handphone nya, menaruhnya dekat telinga Cekra. “You've done your best for today. Nangis sepuasnya dan jangan terlalu keras sama sendiri”

“Semangat Kra, semesta masih mau lo bertahan”

“Jangan terlalu jahat sama diri sendiri”

“Nangis aja, yang liat cuman Haikal ini”

Voice note dengan suara-suara familiar terdengar jelas oleh Cekra. Tangisannya semakin pecah.

Haikal langsung merangkul dan memeluknya erat. “Lo keren, hebat”

Cekra bukan tipe orang yang suka berbicara banyak hal, Haikal tahu itu.

Dengan Haikal berbicara sepanjang lebar apapun, Cekra tidak akan menjawabnya jika dia merasa tidak perlu.

Tapi Cekra memahami semua yang dia dengar.

Langit malam dengan angin dingin terhembus menyaksikan pertemuan bapak dan anak itu untuk kedua kalinya.

Pertemuan kedua jikal dengan sang ayah setelah bertahun-tahun menghilang.

“Mau minum?” tawar yang sang ayah.

Setelah melangkahkan kakinya masuk, Jikal langsung menghampiri seorang pria dengan kemeja coklat dan kacamata tipis terletak di batang hidungnya.

Tidak lupa mencium tangan sang ayah, memberi salam.

Anak itu tersenyum, “Ga usah bun”

“Gimana sekolahnya?”

“Gitu gitu aja sih, lumayan bikin cape” jawab Jikal seadanya.

“Pulang sekolah biasanya jam berapa?” tanya sang ayah lagi.

“Kalo ga ada kegiatan paling jam setengah empat”

“Di tempat yang kemaren Abun datengin, gimana? nyaman? seru ya”

Jikal mengangguk cepat, sangat setuju. “Seru banget, nyaman”

Sang ayah tersenyum manis, tapi ada perasaan ganjal di balik senyumnya itu. “Susah ya ngebuat Jikal pulang ke pelukan abun ibun lagi”

Laki-laki dengan nama Jikaltara itu menengok, kemana arah pembicaraan ayahnya?

“Kalo Jikal udah bahagia disana gapapa, jangan pergi dari tempat itu”

“Bun” panggilnya. “Altarok emang tempat Jikal pulang, tapi kan Jikal masih bisa pulang ke abun buat bales pelukannya”

Sang ayah meneteskan air matanya. Ini memang bukan pertama kalinya ia meneteskan air mata di hadapan anaknya,

tapi ini pertama kalinya melihat sang anak yang selalu ia rindukan dan sayang sudah dewasa dan tumbuh dengan sangat baik.

“Kamu diajarin siapa bisa jadi hebat begini..? hm? kakak kakak di sana ya..?” pemiliki marga Kafkama itu mengusap tangan Jikal dan menggenggamnya erat.

Seakan tidak dapat memegangnya esok hari.

Jikal hanya tersenyum tulus, mengangguk. “Kalo mau bilang makasih jangan ke Jikal bun. Makasih sama yang udah bikin Jikal terus bertahan”

Abun memejamkan matanya dan mengangguk bersungguh-sungguh.

“Ayo-

Abun tersenyum menahan isakan tangisnya

-anterin Abun bilang makasih sama mereka”

“Abun minta maaf karena tidak bisa mengurus kamu dengan baik. Maafin ibun-”

Tangisan abun pecah di situ. Di detik saat ia mengucapkan nama sang ibu.

“Maafin ibun masih belom bisa jadi ibu yang baik. Ya jikal ya? kamu anak hebat” mohon sang Ayah.

Tidak berbeda dengan sang ayah, tangisan Jikal yang sedari tadi sudah ia tahan sekuat tenaga pecah juga di hadapan sang ayah.

Bagaimana tidak menangis? Sang ibu sakit sampai tidak bisa berjalan, memang itu kesalahannya? Jelas bukan.

Benar kata Haikal, semesta bukannya tidak berpihak kepadanya. Tapi itu karena semesta sudah menyiapkan kebahagiaan di hari esoknya.

“Itu bukan salah ibun..” ucap Jikal. “Udah Bun, Jikal gapapa. Masa Jikal bahagia, abun sama ibun ngerasa bersalah terus?”

“Jikal mau kan maafin abun sama ibun?” tanya Abun masih dengan tangisnya yang tidak kunjung berhenti.

“Pasti. Udah Jikal maafin dari dulu Bun”

Lagu Night Changes dari One Direction mengisi teras belakang Altarok.

Semua sibuk dengan tugas masing-masing. Malan dan Juan bagian menyiapkan arang dan minyak untuk keperluan masak nanti.

Rezvan dan Narendra menyiapkan bahan-bahan makanan. Haikal bantu membawa semua kebutuhan masak dari dapur ke teras belakang.

Dan terakhir, si bungsu membantu menyiapkan gelas dan menyediakan minuman satu persatu untuk kakaknya.

Biasanya Haikal tidak melakukan tugasnya sendiri, melainkan berdua dengan Cekra. Tetapi karena Cekra sedang mengejar mimpinya di negeri lain, Jikal yang akan membantu Haikal.

Setelah sibuk dengan semuanya dan telah menghabiskan kurang lebih 15 menit di malam ini, akhirnya selesai juga.

Semuanya duduk di kursi masing-masing, berhadap-hadapan.

“Kal, telfon Cekra!” teriak Malan dari ujung meja.

Yang di suruh langsung bergegas mengambil handphonenya dan menelfon nama teratas yang ada di riwayat panggilan.

“Bang, sosisnya kurang ga?” Jikal menghampiri sang kakak yang tengah sibuk memanggang.

“Lo mau lagi ga?”

“Mau” Jikal hanya menunjukkan senyum giginya, malu.

Narendra terkekeh. “Yaudah masukin”

Tanpa ba bi bu, Jikal memasukkan beberapa potongan sosis ke dalam penggorengan di depannya.

“Kraa!” teriak Juan, ia tersenyum lebar melihat sosok sang adik di layar kecil itu.

“Bang!” sapa Cekra balik.

“Ren, Le. Cekra tuh” ucap Malan. “Sapa dulu, kasih semangat. Ini gua jagain”

Ternyata ada untungnya juga punya banyak anggota geng,

“Wah parah nih anjing” omongan Haikal membuat semua orang menengok, termasuk Cekra yang ikut mendengarkan.

“Siapa yang suruh Malan masak?!! Ga bakal makan enak kita anyingg” semua tertawa.

Malan malah lanjut memasaknya dan berlagak seperti koki bintang 5. Berhasil membuat semua tertawa terbahak-bahak, lagi.

“Lagian si Malan traktirnya yang mentahan, kenapa ga beli jadi aja sih seafoodnya?” komplain Juan.

“Bang, ngelunjak bang!” teriak Cekra dari seberang telfon sambil menunjuk ke arah Juan.

Malan membalikkan badannya, tangan kanannya memegang capitan panas dan mengarahkannya ke Juan.

“Lo udah di kasih hati minta jantung” Lagi dan lagi, tawa bahagia kembali mengisi seuluruh penjuru Altarok.

Saat ini, hanya kebahagiaan yang ada di Altarok. Semoga kebahagiaan ini akan terus berlanjut dan awet di kehidupan mereka bertujuh.

Semesta benar-benar mempersatukan Altarok dengan kalimat “all or none”. Semua akan terasa bahagia jika mereka bersama.

Tidak penting seberapa jauh jarak diantara mereka, di mata semesta mereka tetap di satu tempat yang sama.

Semesta tidak pilih kasih kali ini.

Pesta makan malam berakhir pukul 23:00 malam. Cekra ikut merayakannya, mulai dari menyanyi ucapan selamat untuk Malan, berdoa bersama, pesan-pesan untuk Malan dan makan malam.

Setelah makan malam selesai, Cekra langsung izin pamit karena harus segera tidur untuk pelatihan esok hari.

Pesta memang sudah berakhir tapi belom bagi mereka berenam. Pesta malam ini dilanjutkan dengan review malam mereka.

“Semoga bang Malan bisa cepet ketemu bang Rezvan sama bang Juan di garis finish” ucap si bungsu.

“Yah nangis anak orang” Rezvan yang berada di samping Jikal malah tertawa melihat mata sang bungsu berkaca-kaca.

“Iyaa aamiin” jawab Malan.

“Gue juga mau tapi susah banget..” ucap Jikal lagi.

“Ya lo juga harus berjuang lah, samperin Juan. Masa ga di pubg ga di kenyataan lo kalah mulu” jawab Haikal memegang puncak kepala Jikal.

“Kalo udah bisa ngejar gue baru keren” Juan ikut menyemangati sang bungsu.

“Gue juga udah mau sampe” sahut Narendra.

“Lah iya ego!” jawab Juan seperti teringat akan sesuatu. “Sabtu ini jadwal terakhir dia terapi ke dokter”.

“Asikk, sembuh dong” goda Malan.

“Ga sia-sia kan hidup? Coba kalo lo dulu beneran loncat, ga bakal ngerasain yang namanya berhasil” jawab Haikal.

Narendra mengangguk setuju. Apa yang di bilang Haikal memang benar, jika malam itu Haikal tidak bergerak lari menahannya mungkin dia tidak akan merasa sebahagia ini dalam hidupnya.

“Makasih Kal”

Haikal membalasnya dengan senyuman. “Selalu”

“Siapa belom?” tanya Rezvan.

“Haikal” jawab Juan sambil menunjuk ke arah sisi kirinya

“Apaan?” Haikal kebingungan.

“Ampe nih dunia kiamat juga dia ga bakal mau ngasih tau apa masalah hidupnya” Malan membuka suara, sudah sangat mengenal sahabatnya itu.

“Cerita aja Kal” Rezvan menatap Haikal, diikuti yang lain.

“Lah gua gapapa” Haikal memberi tawa sedikit di akhir kalimatnya agar terlihat natural,

tapi percuma. Mereka berlima sudah sangat mengenal Haikal.

“Ga cape emang kuat terus?”

“Kalo cape nyerah sebentar gapapa Kal, serius deh. Masih ada enam orang yang bisa bantu lo bangkit”

“Bang” panggil Jikal tiba-tiba. “Jikal juga mau denger kata makasih dari bang Haikal. Masa Jikal mulu yang bilang”

“Semua udah pernah bilang makasih sama lo, itu pun ga sekali dua kali. Tapi berkali-kali. Lo ga adil kalo ga kasih kita kesempatan buat denger kata makasih dari lo”

Semua mulai membuka suaranya, mengatakan satu dua hal kepada Haikal.

“Tapi serius gua gapapa” jawaban Haikal membuat kelima orang di hadapannya membuang pandangan mereka.

Haikal tertawa, kelima sahabatnya pasti sudah muak mendengar kata “gapapa” keluar dari mulut Haikal.

“Iya, nanti gua cerita” ucap Haikal lagi. Tapi dari kelima orang itu belom ada yang mengembalikkan pandangannya,

Seakan-akan mereka tidak tertarik dengan pembicaraan Haikal. “Apapun deh. Gua ceritain semua”

Semua menatap haikal serentak. “Gitu kek daritadi”

“Akhirnya”

“Akhirnya Haikal ga bego lagi”

“Eh kok gitu bangsat” Haikal melempar gelas plastik ke arah Malan.

Malam ini di tutup dengan canda tawa lagi. Setelah mereka semua sudah selesai mengobrol, mereka tidak lupa untuk membereskan teras belakangnya menjadi rapih kembali.

“Kal, ucapin good night semangat buat Cekra” kalimat terakhir yang malan ucapkan sebelum memasuki kamarnya.

“Assalamualaikum!”

Salam hangat terdengar dari luar beriringan dengan ketukan pintu.

“Waalaikumsalam..” Haikal membukanya perlahan. Tidak pernah ada kejadian seperti ini sebelumnya.

Karena yang mengetahui Altarok hanya mereka bertujuh, termasuk dirinya.

“Iyaa? Ada yang bisa dibantu?” Haikal tidak mengenal kedua sosok di depannya itu. Sepasang suami istri kah? Sepertinya begitu.

“Boleh bertemu dengan Jikal?” tanya orang pemilik suara berat itu.

“Ini siapa ya...?” tanya Haikal dengan sangat sopan.

“Saya Mahdi ayah kandung dari Kafkama Jikaltara. Dan ini istri saya, ibu kandungnya” jelasnya.

Haikal diam seribu bahasa. Apa dia sedang bermimpi? Apa yang sebenarnya sedang semesta rencanakan?

“Hmm-

Haikal sangat bingung saat ini.

-masuk dulu Pak Bu, silahkan”

Haikal mempersilahkan mereka untuk masuk. Haikal mengambil kesempatan itu untuk mengirim pesan pada Jikal sebelum menutup pintunya.

Haikal tidak lupa mengambil dan menyediakan minum untuk kedua orangtua tersebut.

“Jikal ada disini om, tapi lagi ada acara di sekolahnya sebentar” Haikal menjelaskan.

“Tadi kamu terlihat terkejut, kamu kenal baik dengan anak saya ya?”

Haikal tersenyum tulus dan mengangguk. Laki-laki paruh baya itu langsung menundukkan kepalanya setelah menatap Haikal lama.

“Bun.. Jikal sehat.. Anak kita ada disini. Kita ketemu ya Bun sama Jikal?” laki-laki itu berlutut di samping kursi roda sang istri. Menggenggam tangannya erat.

Haikal membantunya bangun dari posisi berlututnya agar duduk kembali di sofa.

Tidak berjalan sesuai niat Haikal, pak Mahdi langsung berlutut di hadapannya. Tindakannya membuat Haikal langsung menurunkan badannya.

“Makasih nak.. Pasti kamu yang sudah merawat anak saya selama saya dan istri saya pergi dan jauh darinya”

“Terima kasih sudah menjaganya dengan baik dan sangat baik. Terima kasih sudah membuatnya terlihat sehat seperti saat saya terakhir bertemu dengannya....”

“Nak..” menatap Haikal dengan mata penuh segumpal air mata dan tergambar sungai kecil di kedua sisi pipinya.

“Kamu orang hebat-

Pak Mahdi memegang kedua telapak tangan Haikal bersungguh-sungguh.

-dunia butuh banyak orang seperti kamu Nak. Makasih sudah mau jadi sasaran beban dari semesta dan selalu jadi sandaran untuk banyak makhluk bumi”

“Jikaltara pasti banyak belajar ya dari kamu?”

Peristiwa ini pasti akan sangat menyakitkan jika Jikal menyaksikannya. Dan memang benar itu yang dirasakannya.

Jikal melihatnya, Jikal mendengarnya.

Momen yang selalu Jikal tunggu dari 8 tahun yang lalu, terjadi sekarang. Momen yang selalu Jikal harapkan terjadi, terjadi di hadapannya.

Doanya di dengar dan harapannya terkabulkan. Semoga dengan ini Jikal bisa berdamai dengan semestanya.

Dan sampai di garis finish.

Haikal berada disini. Di tempat ini lagi. Tempat yang sudah beribu-ribu kali ia datangi tapi tidak membuatnya bosan.

Altarok tidak pernah sehening ini sebelumnya. Biasanya selalu ada Rezvan yang teriak tiba-tiba, Juan dan Cekra yang ribut sendiri karena kalah main game, Narendra yang marah-marah karena Malan selalu berantakan.

Sekarang hanya tinggal ocehan panjang dari Jikal yang akan Haikal dengar untuk beberapa hari ke depan.

Seperti yang Haikal ketahui, hampir semua sahabatnya sudah mau menyampai garis finishnya. bahkan Rezvan dan Juan sudah selesai dengan perjuangannya.

Haikal memang tidak asing dengan suasana ini. Tapi terasa sedikit canggung mengingat masa lalunya yang ia lewati sendirian tanpa siapapun di sampingnya seperti sekarang.

Malan sedang sibuk mengejar mimpinya yang katanya 'terlambat' nyatanya bisa di wujudkan seperti kata Haikal.

Juan melawan egonya yang selalu berkata tidak ingin berdamai dengan masa lalu pahitnya tapi pada akhirnya berhasil karena haikal.

Narendra akan selalu menyempatkan waktunya, sesingkat apapun untuk bertemu ayahnya di rumah sakit. Dalam bulan ini Narendra sama sekali tidak menginjakkan kakinya di jembatan Napon karena larangan dari Haikal.

Cekra fokus mengejar mimpinya sekaligus bukti satu-satunya yang bisa ia tunjukkan kepada sang papa. Cekra berani mengambil keputusan itu karena dia tau Haikal akan selalu mendukung apapun pilihannya dan Cekra sangat mempercayainya.

Kenyataannya semua keberhasilan itu selalu menyimpan nama Haikal di baliknya. Perjuangan mereka selesai karena Haikal yang tidak pernah melepas genggamannya.

Haikal selalu memastikan kalau yang lain bisa percaya padanya, bisa bersandar padanya.

Untuk kisah pejuang termuda Altarok, Kafkama Jikaltara.

Akan ada banyak nama Haikal di kisah hidupnya. Si bungsu akan selalu ingat omelan sang kakak yang selalu melarangnya untuk menyerah. Haikal akan selalu menyuruhnya nangis pada malam hari dan memintanya melakukan yang terbaik esok hari.

Mungkin kalimat dari Haikal yang selalu menempel di benak Jikal adalah 'nangis sepuasnya malam ini biar besok pagi dunia ga tau serapuh apa diri lo'

“Kale!” teriak Haikal dari teras belakang. Hanya ada mereka berdua disini, tidak tahu apa yang harus dilakukan.

“Kenapa?” dengan cepat Jikal menghampirinya.

Haikal menggeser posisi duduknya, mempersilahkan Jikal untuk duduk di sampingnya. “Mau cari abun ibun harus dari mana dulu?”

Pandangan Jikal yang tadinya menatap Haikal terbuang ke arah lain, “Ga usah bahas itu lah”

“Besok-besok aja” lanjutnya.

“Lah” Haikal dibuat bingung dengan jawaban Jikal. “Gimana sih lo”

“Kita kan tinggal berdua disini, gua mau nikmatin dulu. Kapan lagi altarok sunyi kaya gini”

“Dasar!”

“Tapi bang-

Haikal menengok

-lo juga harus mulai perjuangan lo, gua sama yang lain udah mulai. Masa lo belom”

Haikal mendengus pelan, “Gua udah mulai.”

“Tapi ga keliatan” jawab Jikal.

“Karena ga gua perlihatkan”

“Kalo mau ngeluh boleh kak. Kalo mau nangis, nangis. Cerita aja sama bulan sama bintang, biarin mereka tau serapuh apa diri lo kalo dunia udah tidur”

flashback bentar yaa, aku lupa masukin narasi ini pas mereka semua ngumpul buat bantu haikal bangkit t_t

! play playlist haikal !

Semua sudah berkumpul di Altarok. Termasuk Haikal, alasan mereka semua datang kesini. Ketujuh pejuang itu menatap langit malam dan pemandangan di depan. Hal yang selalu mereka lakukan.

“Bang Haikal kenapa mau nyerah?” tanya si bungsu. Semua merubah tatapan mereka mengarah ke Haikal, menunggu jawabannya.

“Gua ga nyerah” jawabnya singkat.

“Dia ga nyerah, dia cuman cape aja. Ga mungkin seorang Haikal nyerah” sahut Malan.

“Gua adu tonjok kalo ampe iya” lanjutnya.

“Semua berhak cape Kal, ga usah sok kuat depan kita”

“Kita aja ga malu rapuh di hadapan lo” lanjut rezvan.

“Rezvan udah berhasil” ucap Haikal keluar dari topik pembahasan. “Sesama pejuang harus kasih selamat. Gua udah”

“Anjing nih orang malah ganti topik” kata Juan. Haikal malah tertawa kecil dengan tatapannya fokus ke depan. Tatapan kosong.

Suasana kembali hening, tidak ada yang berbicara. Suasana ini yang selalu membuat ketujuh pejuang itu mendapatkan semangatnya lagi untuk melewati dunia esok hari.

Mereka lelah dengan bisingnya dunia, mereka lelah dengan segala macam drama yang mereka hadapi, mereka lelah dengan rencana semesta yang tidak pernah memberi kebahagiaan di garis takdirnya. Mereka hanya ingin menjauh untuk sementara waktu agar bisa mengambil nafas.

Haikal menarik nafas dalam dan membuangnya perlahan. “Haikal cape..” Haikal membuka suara.

“Malan cape”

“Juan cape”

“Naren cape”

“Cekra cape”

“Jikal cape” dan diikuti dengan yang lain.

“Semoga semesta denger, biar temen gua bisa sembuh dari capenya”

Semesta, salah satu dari mereka sudah berhasil mencapai akhir dari perjuangannya. Satu pejuang yang selalu menerima apapun permainan yang kau berikan akhirnya berhasil mencapai garis finishnya.

Pejuang itu adalah Kini Rezvan Sanjaya. Dia berhasil tapi tidak merasa keberhasilannya. Tidak ada kebahagiaan yang di rasakannya. Lelaki yang berjuang dengan keringatnya sendiri, di pegang erat oleh keenam sahabat lainnya agar tidak jatuh.

Rezvan merasa bersalah dengan keberhasilannya ini. Rezvan ingin semua sahabatnya ikut berada di garis finish dengannya. Tapi semesta memang selalu tidak adil, apapun masalahnya semesta yang harus di salahkan karena dia merencanakan.

Rezvan menatap keenam sahabatnya, semua berada di sisi kanan Rezvan. Rasanya ia ingin menangis detik ini juga. Ia ingin semua berhasil melewati rintangannya tapi semesta selalu berkata lain.

“Gue pengen kalian berhasil..” Rezvan kembali membuka suara. Air mata yang sudah ia tahan sedari tadi lolos saat keenam orang itu menoleh padanya.

Semua tertawa melihat raut wajah Rezvan yang berubah pucat. Cekra yang berada tepat di samping Rezvan merangkulnya dan mengusapnya pelan. Malan, Juan, dan Narendra yang posisinya berada di paling ujung, jauh dari Rezvan datang menghampirinya.

“Semua pasti berhasil Van” ucap Malan.

“Semoga” sahut Haikal, nyaris tidak terdengar.

Jikal yang duduk di samping Haikal mendengarnya dan membuka telapak tangannya di hadapan Haikal.

Haikal menatapnya bingung.

Jikal mengangkat kembali tangannya, seperti menyuruh Haikal menggenggamnya balik.

Haikal menggenggamnya. “Kita berhasil selama ada bang Haikal” si bungsu tersenyum.

Senyuman terukir di wajah Haikal, anak laki-laki di hadapannya sudah tumbuh dewasa sekarang.

Haikal bersyukur atas itu. Haikal bersyukur sudah hadir di kehidupan Jikal menggantikan sosok orangtuanya.

“Gua bokap lu apa nyokap lu?” bisik Haikal bercanda.

“Lo banci bang? Kok mau jadi ibun?” balas Jikal berbisik.

“Anying!” Haikal mendorong Jikal keras. Membuat yang lain ikut menoleh kepadanya.

“Masa gua di bilang banci ama bocah?!” ucap Haikal menjawab tatapan bertanya dari yang lain.

Candaan penuh tawa yang akhirnya menemani malam Altarok hari ini.

Semoga rasa nyerah dan titik terbawah bisa hilang dari kamus kehidupan tujuh pejuang itu.

Juan membuka pintu cafe yang terletak di taman favoritnya. Taman yang menemani masa kecilnya.

Perasaan tegang memenuhi dirinya. Apa yang harus dia bicarakan nantinya? Apa yang harus di lakukan? Apa yang akan terjadi jika sang ayah mengamuk marah?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menerus berputar di kepala Juan. Dia tidak bisa berhenti memikirkannya.

“Juan! Nak!” Suara yang terdengar asing namun familiar di telinga Juan. Kenangan manis sekaligus pahit terputar kembali di ingatannya.

Pria gagah itu mendadak berdiri dan menghampiri Juan yang masih berjarak beberapa langkah dari meja.

“Sini sini, kamu sendirian aja?”

“Gimana sekolah? Hm?”

“Eh kamu mau minum? Makan? Ayah abis pesen latte-nya enak nih” Pria itu tidak berhenti mengajak anak semata wayangnya itu mengobrol.

Nada suaranya terdengar bahagia.

“Ga usah, intinya aja” jawab Juan. “Ngapain minta Juan kesini?”

Sang Ayah menghela nafasnya panjang. “Ayah minta maaf Juan..”

Juan membuang pandangannya, sudah keseribu kali Juan mendengar kalimat itu selama hidupnya. Setelah mengatakan kalimat itu, kedepannya pasti akan mengatakan itu lagi.

“Ajarin Ayah menghargai bunda kamu. Bantu Ayah menjaga Juan dan bundanya dengan baik. Bimbing Ayah supaya jadi Ayah yang layak Juan banggakan.”

Juan menolah. Ini pertama kalinya mendengar ucapan itu terlontar dari mulut sang ayah dan pertama kalinya melihat sang ayah... menangis?

“Kita mulai semua dari awal ya? Ayah ingin berubah. Ayah harus berubah. Ayah sadar, di dunia ini Ayah punya dua tanggung jawab lain selain diri Ayah sendiri.”

“Berubah aja. Juan pamit dulu, temen Juan lagi ada masalah. Juan harus ada di sampingnya” Jawab Juan.

“Kalo beneran mau berubah, Juan dukung. Engga-

-kalo emang perlu, Juan siap bantu. Dan Juan seneng” Ucapan terakhir Juan sebelum benar-benar pergi dari tempat itu.

Sang ayah tidak menahannya, ia paham perasaan Juan. Anaknya sudah pasti tidak akan mudah percaya dengan perkataannya yang sudah ia ucapkan beribu kali.

Sang ayah hanya berdoa dan berharap agar anaknya percaya dengannya kali ini saja. Memberi kesempatan terakhir kepadanya.

Sesuai janjinya dan sesuai perkataannya tadi pagi. Rezvan datang ke rumahnya, pulang ke tempat pulangnya dulu.

Tempat yang pernah menjadi tempatnya pulang dari kejamnya dunia luar.

Rezvan tiba di depan pagar bewarna krem itu. Menarik nafas panjang dan membuangnya perlahan. Berusaha meyakinkan dirinya untuk tetap masuk dan menghadapinya.

Pintu rumah terbuka lebar, Rezvan memandang sosok yang selalu ia peluk dulu, sosok yang selalu menggendongnya layaknya superhero.

Sang ayah berdiri tersenyum menatap anak semata wayangnya yang kini sudah menjadi anak sulung sekaligus seorang kakak.

Sang ayah sudah berbeda dengan terakhir kali Rezvan menemuinya. Rambut putih sudah mulai memenuhi kepalanya, begitu pun kulitnya yang sudah mulai keriput.

Tapi tetap tampan dan hebat, batin Rezvan.

“Kak Rezvan ya??!” Seorang anak kecil berumur 5 tahun datang berlari. “Ini kakaknya Reva?? Ganteng Yah” Anak kecil itu menunjukkan senyum lebarnya kepada sang ayah.

Melihat sang anak bingung, Ayah Sanjaya langsung menjelaskannya, “Ini anak pertama Ayah dari Mama, Reva namanya.”

Rezvan mengangguk, akhirnya mengerti.

“Yang waktu itu kamu jagain namanya Rezno, yang paling kecil” Lanjut sang Ayah menjelaskan.

Ketiganya duduk di ruang kelurga, Rezvan merasa asing dengan tempat ini. Padahal dulu tempat ini selalu menjadi tempat langganannya di hari libur, untuk bermalas-malasan menonton tv dan bermain ps.

“Kakak namanya siapa?” “Aku namanya Nareva tapi maunya di panggil Reva. Soalnya kata Ayah orang yang Ayah sayang namanya dari huruf R, jadi Reva juga mau kayak orang itu.”

Perempuan kecil itu berdiri, berlari kecil ke Rezvan yang duduk di kursi single.

Rezvan menatap ayahnya yang duduk di sofa panjang setelah mendengar perkataan Reva. Apa itu dirinya?

Secara tidak sadar sudut bibir Rezvan terangkat, anak kecil di depannya sangat mirip dengan ayahnya yang selalu berbicara tak berhenti.

“Nama kakak Rezvan” Rezvan tersenyum.

Sang perempuan kecil itu melotot lebar, terkejut dengan gaya yang sangat lucu. “Kakak bisa jadi orang yang Ayah sayang juga dong! Huruf depannya R juga”

Rezvan mengangguk, mengelus lembut rambut Reva.

Waktu berlalu hingga akhirnya seseorang datang, membuat Rezvan teringat tujuannya datang kesini untuk apa.

Tujuannya untuk menanyakan kebenaran dan kepastian agar bisa mengakhiri perjuangannya selama ini.

Wanita berambut pendek itu datang dan mengisi tempat kosong di sofa ruang keluarga. Pasti ini sudah menjadi tempat langganannya, seperti Rezvan dulu.

Wanita itu masih terlihat pucat, yang artinya beliau belom sepenuhnya sembuh.

“Reva, kamu makan buah dulu yuk sama ayah, mama mau ngobrol dulu sama Kak Rezvan” ucap sang Ayah.

“Tapi abis itu Reva main ya sama kak Rezvan”

“Iyaa boleh”

Suasana kembali hening. Ternyata rasa nyaman Rezvan tadi hanya karena kehadiran Reva di sampingnya.

Situasi seperti ini tidak pernah Rezvan rasakan, Rezvan tidak menyangka akan berhadapan dengan seseorang yang selalu menjadi alasannya pergi dari rumah. Sekarang dia tidak tahu harus memulainya dari mana.

“Kasih waktu tante buat jelasin dulu ya...” ucap wanita itu lembut, mungkin karena lemas akibat sakitnya.

“Tante tau, Rezvan pasti ga suka banget liat tante tinggal disini ya? Apalagi kita dulu sering ketemu ya kan? Dulu tante sering jemput Rezvan setiap pulang sekolah.”

“Dulu tante hanya sekedar asisten ayah kamu di kantor, sekarang malah jadi pendamping hidupnya. Jahat ya?”

Rezvan reflek mengangguk. Mungkin itu memang jawaban dari hati terdalamnya.

Sang Mama tersenyum, sangat paham dengan perasaan Rezvan saat ini. “Maafin tante kalo tante ngambil kebahagiaan kamu disini, tapi tante ga akan disini kalo takdir tante ga gini.”

“Tante sama ayah kamu di pertemukan saat keadaan kami sama sama hancur, tapi dengan egoisnya, kami saling menguatkan satu sama saling, menjalin hubungan manis ini tanpa memberikan Rezvan kebahagiaan juga, yang kondisinya Rezvan juga habis mengalami kehilangan.”

“Tante ga akan bisa punya anak kalo bukan ayah Rezvan yang semangatin, ayah juga ga akan bangkit kalo ayah terus menyimpan rasa sakitnya. Makanya suatu hari, ayahnya Rezvan cerita semua ke tante dan butuh uluran dari tante.”

Rezvan mulai memahami situasinya dan cerita yang ayahnya lewati selama ini. Tapi hati kecilnya masih menolak untuk menerima situasi ini.

Hatinya terlalu rindu dengan sang Ibu. Ibu yang pernah mengisi posisi wanita di hadapannya itu sekarang berada.

Tapi benar kata Haikal, kalo Rezvan tidak mau menerima kenyataan ini, tidak akan ada kesempatan untuknya lagi untuk mencapai garis finish.

Rezvan akan coba berusaha menerima ini.

Semoga. Semoga bisa.

Setelah hening beberapa lama, Rezvan mengangguk. Merespon semua cerita yang telah di sampaikan wanita di hadapannya itu.

“Tante sempet ga mau kamu kesini, bukan karena tidak mau menerima Rezvan sebagai anak tante. Tapi tante malu-

wanita itu meneteskan air mata pertamanya

-tante malu sama kamu.. Tante harus bilang apa kalo kamu nanya 'tante ngapain di posisi ibu?' Tante takut kamu ngejahuin tante karena tidak sebaik ibu kamu. Bu elisa selalu baik banget sama tante..

Tante yang salah dengan keputusan yang tante ambil sendiri secara sepihak...”

Rezvan ikut menumpahkan air matanya saat mendengar nama yang sudah lama tidak ia dengar.

Sang Mama menghapus air matanya dan kembali tersenyum, “Tante ga minta kamu untuk buru-buru menerima semua ini, tante paham situasi kamu. Maafin tante yang udah egois banget di kehidupan kamu. Tapi kamu pulang ya, ayah butuh kamu di sampingnya”

“Makasih ya Rezvan udah mau dengerin penjelasan tante, semoga kebahagiaan dateng terus ke Rezvan. Tante pamit dulu”

“Nyebutnya mama aja..”

Langkahnya terhenti. Wanita itu membalikkan badannya menatap laki-laki kecil nan dewasa itu. Tatapan tidak percaya terpampang jelas di wajahnya.

“Mama aja ga usah tante” ucap Rezvan ulang.

“T-tante boleh meluk kamu..?” Aruma meminta izin untuk melakukan hal yang selalu ingin ia lakukan sedari dulu.

Bibirnya bergetar, nada suaranya bergetar menahan isakan tangis yang ingin meledak, semua air mata terjun bebas dari mata cantiknya.

Rezvan merentangkan tangannya, tanda izin disetujui.

Mama aruma dengan cepat memeluk anak suaminya itu erat, sangat erat. Memeluk dengan segala rasa sayang dan rindu seperti anaknya sendiri.

“Maafin tante..”

“Maafin maafin..”

“Tante salah.. Tante udah merebut kebahagiaan kamu”

“Maafin tante..” ucap Aruma sela-it selama ini menghantuinya.

“Iya gapapa Ma” jawaban singkat Rezvan membuat pelukan itu semakin erat dan tangisan Aruma semakin menjadi.