sunflowers00p

Sore hari itu Jikaltara pulang ke rumah. Pintu berwarna putih pucat bernuansa kayu kini sudah menjadi pandangan Jikal satu-satunya di depan matanya.

Entah apa yang membuat langkah kakinya terhenti di ambang pintu. Dari balik kaca, netranya melekat pada seorang wanita paruh baya yang tengah duduk damai di meja makan dengan tatapan yang kosong.

Ada perasaan cemas disana, wanita paruh baya kesayangannya, sosok wanita yang telah menjalankan peran ibu selama bertahun-tahun, wanita paruh baya yang bahkan sama sekali tak pernah memanggil namanya dan melontarkan senyuman untuknya.

Tetapi rasa sayang yang begitu besarnya untuk sang ibu tidak akan membuat seorang Jikaltara melangkah mundur dari tempat dia berdiri.

“Ibun makan dulu ya, udah waktunya makan siang nih” ucap Jikal tanpa memperlihatkan dirinya dari segala sudut mata Ibun.

Selama Jikal menyuapi makan siang sang Ibu, selama itu juga dia menahan isakan tangisnya di balik masker yang dia pakai.

Bahkan ketika orang yang Jikal sayang sudah berada di depan mata, dirinya masih belum bisa untuk memeluknya. Pertemuan yang terasa seperti perpisahan.

Seseorang yang selama ini terus menjadi alasan Jikal untuk tetap bertahan sudah ada disini. Di hadapannya.

Tetapi tidak dengan perannya.... tak dengan sifat hangatnya.... melainkan hanya dengan raganya. Hadir sebagai orang asing, bukan sebagai seorang Ibu untuknya.

Tepat pukul 4 sore, setelah Jikal memikirkannya dengan sangat matang. Jikal sudah siap untuk berbicara langsung dengan Ibu kandungnya.

“Bun...” Jikal mulai melangkahkan kakinya memasuki wilayah pengelihatan Ibun.

“Ibun inget ga sama Jikaltara? Kafkama Jikaltara”

Sang Ibu berdiri dan langsung melangkah menjauh dari Jikal. Wajahnya berubah tajam seperti sedang menahan emosi yang akan meluap dalam hitungan detik.

Tapi segala kejadian itu sudah Jikal bayangkan sebelum akhirnya memutuskan untuk angkat bicara. Ini resikonya.

Ini resiko yang harus ia tanggung dengan hati yang terasa sakit sekali. “Bun, ini Jikaltara. Anak Ibun” Jikal perlahan menghampiri sang Ibu.

“Kamu ngomong apa?!! Kamu siapa!!” Amarah dan teriakkan yang Jikal tunggu akhirnya terdengar olehnya. Jikal yakin, Jikal sudah siap seratus persen untuk menghadapi resiko-resiko ke depannya.

“Tutup mulut kamu!! Jangan ganggu saya lagi!!!!” suara teriakan dengan nada bergetar terus menggema di rumah bercat krem itu.

Ibun melangkah lebih jauh dari Jikal, “Saya tidak mau dengar kamu!! Saya tidak mau dengar suara kamu!!!”

Jikal menahan satu lengan sang Ibu, menggenggamnya sangat erat seperti tidak ada tanda-tanda untuk melepasnya dalam waktu dekat. “Ini Jikaltara, Ibun tau itu”

Genggaman hangat itu yang saat ini sedang sang Ibu lepaskan dengan susah payah. Segala tenaga miliknya ia tumpahkan hanya demi melepaskan genggaman itu.

“Bun! Denger Jikal!” Jikal masih terus menggenggam tangan sang Ibu. Meski terlepas tanpa ragu Jikal akan langsung menggenggamnya kembali.

“Jikal mau ngomong, tolong kasih kesempa-”

P L A K !

Satu tamparan hebat mendarat di pipi kiri Jikal. Genggaman hangat seorang anak kini sudah terlepas dari sang Ibu. Harapan akan mendaptkan garis finish hilang dengan cepat.

Mulut yang tadinya ingin terus berbicara untuk menjelaskan semua secara perlahan kini sudah bungkam.

Jikal bersimpuh di hadapan sang Ibu. Membanting keras kedua lututnya pada ubin yang dingin. Kemudian menundukkan kepalanya.

“Gapapa Bun. Ibun tampar Jikal” “Asal Ibun mau panggil aku Jikal”

Tamparan hingga pukulan tiada henti menengai pundak dan kepala Jikaltara. Rasa kecewa dan sakit sangat memenuhi keadaannya sekarang.

Tubuhnya tersungkur akibat dorongan kuat dari sang Ibu. Tetapi dengan cepat Jikal bangun lagi dan lanjut menekukkan lututnya.

“Kamu bukan Jikaltara!!” teriak Ibun di sela-sela tangisannya. Kedua bola matanya tidak berbohong, dirinya memang menatap Jikaltara dengan tatapan tidak percaya.

Tatapan yang berisyarat 'tidak mau melihat dirimu lagi'.

“Pukul Jikal Bun!”

“Kamu ngerti ga sih?!!”

Jikal kembali bangkit agar bisa tetap berlutut di hadapan Ibun. “Pukul Jikal Bun! Pukul”

Tamparan hebat masih dilayangkan Ibun pada anak semata wayangnya itu. Mendorongnya keras tanpa rasa belas kasihan. Benar-benar perasaan benci yang saat ini Ibun rasakan.

“Saya tidak mau dengar lagi!”

Dorongan keras itu membuat Jikal kembali berlutut di tempatnya.

“Jangan sebut-sebut nama itu lagi!!!”

Jikal kembali berlutut. Jikal tetap akan terus berlutut, berlutut, dan berlutut. Sekencang apapun tamparan sang Ibu untuknya, dirinya akan kuat menahannya jika itu bisa membuat sang Ibu menyebut namanya.

“Kamu. Jangan. Sebut. Nama. Itu. Lagi” kalimat terakhir sang Ibu yang ia ucapkan setiap katanya dengan penuh penekanan. Ucapnya sebelum benar-benar pergi mengunci diri di kamar.

Tubuh Jikal bergetar hebat. Memang. Dirinya memang sudah siap menghadapi segala resiko, termasuk ini. Tapi,

Dirinya belum siap untuk menghadapi rasa sakit yang hadir setelah melewati resiko tersebut.

Perlahan Jikal meletakkan kepalanya pada ubin. Menangis hebat dan sangat hebat.

Tangannya yang sibuk memukul-mukul ubin dengan sangat keras dan kepalanya yang masih saja ia benturkan dengan tangisan yang masih terdengar.

Ini. Ini dirinya sebelum kenal dengan Altarok. Ini dirinya yang terlihat sangat hancur dan berantakan. Dan ternyata ini yang menjadi saksi kehancuran dunianya.

Jikal menggerogoti saku celananya dan berusaha menelpon seseorang. “K-kak.. Kak t-to...tolong”

“Le, lo kenapa?” “Kale, lo denger suara gu-”

“Kak... Kale b-beneran ga kuat” “Sakit k-kak.... kak... sakit banget..demi Tuhan”

“Kenapa? Lo kenapa? Ibun?” “Coba ngomong pelan-pelan, jangan bikin gua khawatir”

“Tolong kak... to-tolongin...” “D-disini ga enak... Kale ga-gama-gakuat...” “T-tolong kak... Kale mau ke garis-s fi-nish bareng”

“Iya gua kesana sekarang” “Kale, denger gua kan?” “Ini gua lagi otw kesana, lo jangan ngapa-ngapain” “Jangan dimatiin telponnya”

“K-kak-....”

“Iya Le, bareng. Kita ke garis finish bareng ya” “Jangan nyerah disini” “Tangan gua bisa lo pegang buat bangkit” “Ya Le?” “Jikaltara denger abang kan? “Jangan dimatiin telponnya, abang di jalan”

! play lagu – takut dari idgitaf !

Alunan lagu yang berjudul “Takut” mengisi halaman belakang Altarok dengan sopan.

Terdengar suara pintu terbuka, tidak jauh dari tempatnya.

Tempat dimana kedua kakak ini menunggu kehadiran adiknya? Mungkin bisa dibilang seperti itu.

Haikal menatap heran laki-laki yang baru saja meletakkan tubuhnya pada tanah, duduk di sebelahnya.

“Sop udang” ucap Rezvan tiba-tiba, menghancurkan keheningan diantara mereka.

Kedua insan lainnya menoleh dan menatap seseorang yang sedang menikmati pemandangan kota. “Ada sop udang di meja makan. Udah lo makan?”

Kini pandangannya dialihkan sepenuhnya kepada si bungsu. Menatapnya lembut dan tidak lupa dengan kedua sudut bibirnya yang selalu terangkat setiap berbicara kepadanya.

“Belom..” Jikal bahkan tidak mengetahui tentang hal itu? Karena kenyataannya yang dia lakukan hanya melangkahkan kakinya lurus menuju halaman belakang. Dan memang itu tujuan dia pulang.

“Mau gua ambilin?” tanya Rezvan lagi.

“Ga usah” jawabnya dengan penuh kebingungan. Ada apa dengan kakaknya? pikirnya.

Dari seberang sana, tangan Haikal memberikan isyarat kepada Rezvan agar tetap mengambilkan makanannya untuk Jikal.

Kini tempat indah untuk para pejuang hanya terisi dengan Haikal dan Jikaltara.

“Kak-”

“Apa alasan lo gabung sama Altarok?” potong Haikal.

Jikal kembali menatap lampu kota dan sesekali menatap kedua tangannya. Bingung

“Karena rasa percaya?” jawab Jikal dengan nada bertanya, terlihat bahwa dia sendiri pun tidak tahu jawabannya?

“Apa yang bikin lo percaya?” tanya Haikal.

Sebelum Jikal menjawab pertanyaan kedua dari Haikal, Haikal membuka suaranya lagi, “Selama gua hidup. Selama kaki gua nginjek bumi ini-”

Haikal menatapnya.

”-ga ada orang yang umurnya empat belas tahun langsung mau gabung sama orang asing cuma karena di janjiin garis finish, yang bahkan orang yang ngajak aja ga tau definisi dari garis finish itu apa”

“Lo dulu percaya? sepercaya itu?” tanya Haikal.

Perkataan Haikal sangat masuk diakal. Memang secara logika pun, seorang anak berumur empat belas tahun dengan mudah menerima ajakkan orang lain, itu sangat tidak masuk akal.

Terlebih lagi, mereka tidak kenal satu sama lain. Bahkan Haikal saat mengajaknya juga sangat mendadak dan spontan.

Haikal tidak tahu, tidak tahu bahwa ada manusia yang bersifat seperti itu.

Yang Haikal tahu, manusia itu egois dan keras kepala. Apapun kesalahannya sifat setiap manusia pasti diantara dua itu.

Egois atau keras kepala.

Sama dengan Haikal. Sudah terlihat jelas bahwa dirinya mengambil pilihan yang kedua. Keras kepala.

Tapi bagaimana dengan Jikaltara? Seseorang dengan sifat mudah percaya pada orang lain, termasuk egois atau keras kepala?

“Mungkin, iya” jawab Jikal yakin. “Iya bener”

Tatapan mereka bertemu setelah Jikal mengalihkan pandangannya, “Gua beneran sepercaya itu dulu”

“Kenapa?”

Tidak ada jawaban dari Jikal.

“Karena apa?”

Masih tidak ada jawaban dari Jikal.

“Karena lo butuh sandaran?” pertanyaan yang berbeda keluar dari mulut Haikal. “Yang gua tangkep dari lo ya itu”

Bergantian, kini Haikal mengalihkan pandangannya pada lampu kota dan sesekali menatap langit untuk mengabsen bintang pada malam ini.

“Mau sebejat sebangsat apapun mereka, yang penting gua punya sandaran saat ini. Itu yang terpenting dan itu yang gua butuhin sekarang” ucapnya lagi.

Haikal memang pintar. Pintar memposisikan dirinya sebagai orang yang bercerita.

Haikal akan selalu memposisikan dirinya lebih rendah dari orang yang bercerita. Kalau ditanya karena apa, jawabannya simpel.

'karena gua harus ngasih tau kalo lo jatoh lebih bawah lagi, rasa sakitnya bakal ditambah'

'kalo mau jatoh lebih bawah lagi, jangan cerita ke gua. gua ga sanggup berdiri di bawah lo cuma buat nahan lo biar ga jatoh'

Itu jawaban Haikal.

“Apa yang harus gua kejar? Gua ga tau lagi apa yang bakal gua kejar” ujar Jikal.

“Diri lo” suara familier terdengar di kuping kedua pejuang itu. Rezvan.

“Kenapa harus bingung? Kenapa harus takut? Ini hidup lo, jalanin pake aturan dari diri sendiri”

“Kalo gagal? coba lagi. Kalo jatoh? bangun lagi”

“Kalo itu hidup lo, lakuin semua. Lakuin semua yang ga bisa lo lakuin di hidup orang lain”

“Hidup lo harus terus berjalan Le. Jangan buat hidup lo jadi ga berwarna”

“Dimana pun lo berdiri, saat itu juga lo bisa tandain garis finish sendiri. Karena apa?”

Rezvan duduk di kursinya setelah berjalan kesana kemari menyiapkan makan malam untuk mereka di meja teras.

“Karena yang bakal ngerasain berhasil itu diri lo” Rezvan menunjuk Jikal tepat di depan dadanya.

Haikal seketika mengangguk tanpa ada yang menyadarinya. “Di saat lo merasa lo adalah orang paling bahagia sedunia, di saat itu juga garis finish lo udah terbuat” Haikal ikut berbicara.

“Garis finish ga cuma satu”

“Kalo lo pengen ngerasain garis finish setiap hari, bikin sendiri”

“Setelah dibikin...

nikmati sepuas-puasnya. Jadi orang yang paling bahagia di bumi ini”

Air mata mulai membasahi kedua pipi Jikaltara.

“Lah nangis” kata Rezvan penuh candaan.

Laki-laki berumur 14 tahun itu menangis. Menangis sempurna di pelukan orang yang tepat.

Orang yang sangat dia percayai dari pertemuan pertama.

Laki-laki yang berani untuk menerima ajakkan tidak masuk akal itu.

Laki-laki itu bernama Kafkama Jikaltara. Entah apa yang membuat anak kecil itu begitu kuat menahan segala serangan dari semesta.

Betapa hebatnya dia, Betapa kuatnya dia, Semua bisa melihat sosok itu di dirinya.

Tapi untuk seberapa besar lukanya, Seberapa dahsyat tamparan yang dia dapatkan, Dan seberapa lama sakit yang dia tahan, Hanya dirinya yang tahu.

Terlihat sebuah jeruji besi yang perlahan terbuka dan menampakkan seseorang yang baru ia pandang sekali seumur hidupnya dari tempat Haikal bersandar, menunggu.

Dalam hitungan detik Haikal pun langsung berdiri tegak, menyimpan kedua tangannya di kiri dan kanan tubuhnya, dan berpikir keras apa yang harus ia lakukan selanjutnya.

Perlahan-lahan jarak antaranya dan sang ayah mulai terkikis dikarenakan sang ayah yang terus melangkah maju tanpa rasa ragu. “Kamu ke sini sendirian, Bulan?”

Sang ayah mengajak si putra bulan itu untuk duduk di sampingnya. “Sudah makan? Sarapan?”

Satu hal yang Haikal syukuri saat ini. Sang ayah Pratama membuatnya merasa nyaman bahkan hanya dengan waktu sesingkat itu. Perkataan yang disampaikannya juga sangat alami,

tidak terdengar seperti seorang bapak yang baru saja bertemu dengan anaknya setelah 16 tahun terpisah atau seorang anak yang baru saja menemukan dimana sang ayah berada setelah 16 tahun ia menjalani hidup.

“Gimana sekolah? Aman?” tanya sang ayah.

“Kenapa Yah...?” sebuah kalimat akhirnya berhasil Haikal ungkapkan dari mulutnya. Ibarat kata, setelah terdiam seribu bahasa, kini Haikal sudah berada di hitungan ke seribu satu.

Berbicara sekaligus berharap akan mendapatkan jawaban yang memberi kepastian dan kesimpulan.

“Kenapa bisa sampe kayak gini? Ayah ngapain? Apa yang ayah lakuin?” Kalau boleh jujur, terdapat banyak bahkan beribu-ribu pertanyaan yang memenuhi pikiran Haikal saat ini.

Tapi tidak mungkin Haikal menanyakannya semua itu satu persatu dalam waktu singkat yang diberi oleh petugas keamanan.

Haikal tidak mau membuang waktu berharganya dengan sang ayah hanya untuk menanyakan pertanyaan yang bahkan jawabannya saja belum tentu Haikal bisa menerimanya dengan baik.

Setelah suara detik jarum jam menguasai seisi ruangan hening tersebut, tidak lama kemudian sang ayah kembali membuka suara.

“Ayah melakukan satu kesalahan di hidup ayah. Ayah tau itu dan ayah sudah sesali itu” tutur sang pemilik marga Pratama itu.

Dan masih dengan senyuman hangatnya. “Kalo ayah ceritain dari awal sampai akhir, bisa-bisa kamu pulang dari sini tiga hari lagi” lanjutnya, diiringi oleh tawa kecil berusaha membuat anak semata wayangnya itu menunjukkan senyumnya.

“Nak...”

“Haikal Bulan Pratama anak ayah, kan?”

“Bisa dengerin ayah sebentar?”

Nadanya berubah serius. “Kalo ayah ceritakan setiap detail kehidupan yang ayah jalani, mungkin ayah akan semakin merasa berdosa di depan Haikal”

Tatapan hangat penuh air mata tidak terlepas dari anak semata wayangnya. “Yang penting sekarang ayah akan tebus segala kesalahan ayah dibalik jeruji besi itu. Ayah sangat bertanggung jawab atas kesalahan ayah. Terutama kesalahan ayah yang belum bisa jadi orangtua yang sempurna untuk Haikal”

“Ayah belum bisa beliin Haikal mobil-mobilan.. beliin makan malem... ngasih uang jajan ke Haikal... Ayah juga pergi dari kehidupan Haikal seenaknya, ya?”

“Maaf ya nak, maafin ayah” tangan yang sudah mulai dipenuhi dengan kerutan itu menarik pelan tubuh kecil di hadapannya. Tangan yang selama ini selalu memegang dinginnya besi dengan rasa penuh tanggung jawab, kini memeluk seseorang yang terpenuhi oleh kerapuhan.

“Nangis nak. Ini ayah, Haikal boleh nangis di sini”

Pelukan hangat diantara kedua Pratama tersebut berjalan dengan sangat singkat.

Haikal tertegun sejenak. Melihat sosok sang ayah yang benar-benar hadir di depan matanya saat ini. Bukan khayalan yang setiap malam selalu ia mimpikan. Ini benar-benar ayahnya, Ayah Pratama milik Haikal Bulan Pratama seorang.

Pandangannya terkunci pada bola mata yang kini benar-benar terasa nyata. Ditatapnya kedua bola mata itu dan lengan yang terbuka lebar secara bergantian.

Tanpa Haikal sadari matanya mulai berkaca-kaca, ia berusaha membendung tangisnya agar tidak keluar di hadapan sang ayah.

Namun, semakin Haikal menahan tangisnya, air mata itu semakin kuat ingin keluar dari matanya. Dalam beberapa detik, lelaki paruh baya itu tiba-tiba tersenyum. Mengukir senyuman yang kini menjadi pemandangan terindah yang pernah Haikal lihat.

“Kenapa tidak menangis?” bisik sang ayah.

Tangisan Haikal pecah saat itu juga. Kepala yang selama ini selalu ia angkat karena rasa kuatnya yang tidak bisa dikalahkan oleh siapun mulai jatuh perlahan.

Haikal menunduk sambil masih berusaha untuk tetap menahan tangisannya yang sudah menetes. Berharap air matanya terjatuh tanpa meninggalkan jejak sungai kecil yang tergambar di pipinya.

“Kuat boleh.... tapi jangan terlalu keras sama diri sendiri Nak.. diri kamu punya hati, punya perasaan. Jangan selalu menjaga perasaaan orang lain tapi seenaknya sama perasaan sendiri”

Haikal memeluknya. Haikal memeluk semestanya. Haikal yang memulai pelukan hangat ini. Ingat, Haikal yang memulainya.

Ayah Pratama mendapatnya pelukan hangat dari sang bulan. Sang bulan yang selama ini hanya bisa ia pandang dari bumi. Sang bulan memeluknya. Memeluknya erat. Dan rasanya sangat amat membahagiakan. Kebahagiaan yang selama ini juga selalu ia tunggu kedatangannya.

“Yah... pulang” lirih Haikal di sela-sela tangisannya.

“Iya Nak, sebentar lagi ayah pasti pulang. Percaya kan?” tanya sang ayah.

“Haikal mau nunggu ayah sampe keluar?” tanyanya lagi setelah sedikit merenggangkan pelukannya.

“Haikal percaya sama ayah? Memangnya Haikal sudah berani untuk naruh kepercayaan sama ayah?”

“N-nanti Haikal usahain dateng kesini setiap hari....” ucapnya masih dengan suaranya yang bergetar hebat.

Terlukis senyuman indah seindah semesta di wajah sang ayah. Anaknya sudah dewasa.

Dewasa dengan keadaan. Dewasa karena penderitaan.

kamu anak yang hebat nak, hebat sekali. orang-orang mungkin pada heran ya sama sosok kamu? kok bisa ada orang sekuat kamu... sekuat ini menahan semua luka. kamu lebih hebat dari ayah. dan kamu harus jauh lebih hebat dari ayah. sekolah setinggi mungkin, senyum sebanyak-banyaknya, makan yang teratur. ayah sayang sama kamu haikal. maafin ayah. ayah orang pengecut yang pergi seenaknya dari hidup kamu. tolong jangan jadi seperti ayah untuk anak kamu nanti.

Segala doa, ucapan, dan pesan manis itu hanya tersampaikan lewat keheningan ini.

Dengan tatapan yang masih terfokus pada anak laki satu-satunya itu, sang ayah terus-menerus mendoakannya.

Dan pada akhirnya segala ucapan ayah Pratama hanya terdengar oleh dirinya sendiri, semesta, dan Tuhan.

Hanya mereka bertiga yang tahu.

Dan hanya mereka berlima yang mengetahui tentang kerapuhan dari benteng tinggi ini.

Ayah, Ibu, Altarok, Semesta, dan Tuhan.

Haikal, kamu berhak untuk bahagia. Tolong bahagia. Tolong kejar bahagia kamu itu. Jangan merasa puas di tengah jalan hanya karena sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan. Tetap jalan maju untuk mendapatkan kebahagiaan yang lebih besar.

Lelaki dengan marga Kafkama itu melangkahkan kakinya menuju kamar sang kakak.

“Bang, mau uluran” ucapnya setelah membuka pintu kamar Rezvan.

Di teras belakang rumah dapat kita nikmati indahnya suasana dimalam hari. Yang terkadang langit begitu cerah berhiaskan bintang-bintang dan terkadang nampak hitam mencekam menyosong turunnya air hujan.

Berkali-kali lelaki itu menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Setelah merasa siap, lelaki dengan hoodie hitam itu mencoba menaruh seluruh pandangnya pada satu titik.

Semesta, malam ini tolong izinkan putra bungsu Altarok untuk melepas semua topengnya.

Topeng yang selama ini ia jaga dengan sangat baik. Topeng yang membuatnya rela mengalah saat tubuhnya dilukai secara fisik. Topeng yang menjadi alasannya untuk tetap tegar mendengar segala makian dari insan-insan lainnya.

Tatapan pemuda itu lurus, menatap sang kakak yang tengah mengamati langit malam penuh bintang.

Ada setitik harap yang mungkin terlintas dipikirannya. Tentang keberhasilan yang tidak kunjung menjemputnya. Masih dengan kerapuhan yang sama, Jikal mengubah arah pandangnya.

Ia menutup matanya, menundukkan kepalanya. Dengan alasan sudah lelah dengan dunia. Menatapnya saja udah membuatnya ingin menangis.

Melihat itu, Rezvan bergerak pelan mengikis jarak antara mereka. Diletakkannya tangan penuh kehangatan di puncak kepala sang adik. Mengelusnya pelan, seolah ingin memberikan kehangatan yang sudah sang kakak siapkan khusus untuk dirinya.

“Nangis Le” Rezvan kembali menatap lurus, memandangi setiap lampu kota yang terlukis indah di depannya.

Dan terdengar suara tangisan yang sangat pelan, hampir nyari tidak terdengar namun sangat jelas menggambarkan bahwa kerapuhan tiada ampun sedang menimpa orang itu.

“Udah ya Le?” ucap Rezvan. “Kuatnya udahan dulu...”

“Gua tau lo orang kuat. Kuat banget” Rezvan sedikit menekan suaranya di akhir kalimat. “Gua tau karena selama lo di sini gak pernah ada yang ngajarin lo buat jadi lemah”

“Tapi di sini juga gak ada yang pernah ngajarin lo buat kuat sendirian...”

Tangisan yang sedaritadi masih setia mengisi teras belakang Altarok malam ini tak kunjung reda. Sampai akhirnya, sebuah kalimat singkat berhasil ia ucapkan disela-sela tangisnya.

“Garis finish... jauh banget Kak” ucapnya lirih, tidak kuat menahan memori pait yang terus menari dipikirannya.

Pertanyaan yang tepat untuk ditanyakan. Tepat untuk ditanyakan kepada seorang laki-laki pertama yang berhasil mencapai garis finishnya.

Rezvan sangat mengerti apa yang sedang Jikal alami sekarang. Sama. Sama seperti dirinya dulu yang selalu ingin menyerah tanpa mencoba melangkah maju.

“Garis finish lo udah ada Le, ibun” jawabnya. “Ibun satu-satunya garis finish lo yang belom tuntas sampe sekarang”

“Kenapa belom tuntas?” Pertanyaan Rezvan tidak mendapatkan jawaban. “Coba gua tanya, kenapa belom tuntas?”

Kelopak mata penuh cairan krystal itu menatap bingung netra sang kakak. “Kenapa?” tanyanya berusaha bicara walau hanya bisikan yang keluar.

“Karena yang belom sampe di garis finish itu ibun, bukan lo. Bukan Jikaltara” jawab Rezvan, lagi dan lagi membuat Jikal tambah bingung.

“Kita tunggu ibun sampe sembuh, baru lo bisa ngerasain garis finishnya. Dan sekarang, yang mau gua bilangin itu...” Rezvan menggantungkan kalimatnya dan perlahan mengukir senyuman di wajahnya.

“Selesaiin masalah lo sama temen-temen lo. Mereka cuma ngalangin lo buat sampe ke garis finish. Gausah dibawa serius”

“Pengen buru-buru sampe....”

“Iya, pasti sampe. Jangan buru-buru, kalo kesandung harus ulang dari awal lagi” jawab Rezvan. “Tetep akan ada yang nunggu lo dateng. Mau selama apapun itu”

“Gua bilang juga apa-

Malan kembali mencari posisi nyamannya setelah berhasil meraih asbak di meja terdekat.

-orang kuat ga selamanya harus kuat. Batu sih lo”

Entah sudah yang ke berapa kalinya Malan melontarkan omelan-omelan nya kepada Haikal.

“Gua bukannya maksa diri gue buat kuat Mal-”

“Itu lo maksa namanya” Malan memotong perkataan Haikal cepat.

“Kalo lo engga merasa maksa ke diri sendiri, itu artinya lo udah maksa. Lo ga bakal kerasa, karena mindset di otak lo tuh selalu 'udah gapapa, ntar juga bakal lewat'”

“Dan itu yang selalu ngebuat lo ga akan ngerasain yang namanya berjuang Kal”

“Setiap ada luka baru aja langsung lo tutup rapat-rapat”

Skakmat.

Tepat sasaran. Malan menembak dengan sangat tepat.

Luka. Luka yang selama ini selalu menjadi penghalang Haikal untuk bercerita. Luka yang selalu datang tanpa permisi dan menatap lama di hidup Haikal. Luka yang selalu berhasil Haikal tutupi rapat-rapat sekaligus menahan rasa sakitnya yang dalam.

Luka yang selama ini Haikal sembunyikan dengan susah payah, tetapi tetap terlihat oleh mereka. Altarok.

Siapa yang mengenal Haikal melebihi Altarok? Kita ubah pertanyaan dengan jauh lebih sempit. Siapa yang mengenal Haikal melebihi Malan?

Jawabannya tidak ada. Bahkan dirinya sendiri? Jawabannya tetap tidak.

Bagaimana ia bisa mengenal diri sendiri dengan sangat baik jika berdamai dengan semestanya saja masih belum sanggup?

Kerjanya hanya menutup luka, melupakan apa yang dialaminya dan fokus mengulurkan tangan.

“Tapi gua gapapa Mal. Gua ga ngerasa kenapa-kenapa” Boong. Haikal jelas berbohong.

Kedua netra coklat miliknya tidak bisa berbohong. Dirinya sedang rapuh. Sedang berhadapan dengan pilihan menyerah atau terus berjuang.

Sampai di sini kesimpulannya adalah, ada Juan yang menjadi sandaran untuk air mata Haikal. Dan kini ada Malan yang telah menjadi tempat Haikal menceritakan jahatnya dunia kepadanya.

“Mau nangis dulu?” tanya Malan pelan, melihat sang sahabat sudah mulai menunduk memegangi kepalanya.

Karena tidak kunjung mendapat jawaban, Malan kembali buka suara. “Pintunya gua kunci, abisin dulu air matanya. Gua jagain”

“Makasih” jawab Haikal lirih yang hanya terdengar olehnya.

Pintu halaman belakang terkunci bersamaan dengan air mata yang lolos terjatuh.

Haikal berhasil. Berhasil menahan genangan krystal yang sedari tadi meminta kebebasan di hadapan sahabatnya.

Haikal tidak ingin menangis di depan siapapun, walaupun semua sudah tahu bahwa seorang Haikal tidak bisa menahan benteng kokohnya lagi.

Haikal, semesta tidak meminta kamu untuk berjuang sekali lagi, tapi untuk tidak menutupi lukamu lagi.

Buka penutup lukamu, Haikal.

Jangan terlalu keras dengan diri sendiri. Kamu bisa meraih garis finish bahkan dengan tubuh penuh luka sekalipun.

Karena pada akhirnya luka kamu akan sembuh saat kamu udah menginjak garis finish.

Luka kamu perlahan-lahan akan sembuh di setiap langkah yang membawa kamu menuju garis finish.

“Udah nangisnya?” ucap seseorang dengan suara yang sangat familiar di kuping Haikal.

Haikal hanya menengok dan tersenyum kecil menyambutnya yang telah datang. Sore menjelang malam ini bukan waktu yang biasanya Haikal habiskan untuk menangis.

Tapi entah kenapa, cahaya senja yang terpancarkan oleh indahnya langit dan matahari membuat Haikal merasakan segala kehangatan yang ada di dunia. Dirinya yang seakan membeku sedari tadi langsung terasa nyaman.

“Bokap gimana?” tanya Juan, mengambil posisi duduk di sebelah Haikal. “Udah ketemu sama ayah Pratama?”

“Udah” jawab Haikal singkat.

Waktu demi waktu Juan habiskan dengan menatap sahabatnya penuh khawatir. Lima menit berlalu dan Juan masih belum melepaskan pandangannya pada Haikal. Diamatinya setiap detil-detil muka Haikal dengan fokus, “Kalo mau nangis, nangis aja”

Haikal mengalihkan pandangannya ke Juan, menunjukkan raut wajah bingungnya.

“Ada tanda-tanda mau nangis di muka lo” Juan menjawab raut wajah penuh tanya dari Haikal.

“Engga”

Juan yang mendengar itu menghela nafasnya pasrah. Sudah tahu jelas watak sang sahabat yang akan selalu menolak untuk bercerita.

Lagu Runtuh milik Feby Putri, Fiersa Besari mulai terputar memenuhi halaman belakang Altarok sekaligus menyelimuti sang pejuang yang tengah merasakan kerapuhannya.

“Dengerin liriknya” ucap Juan.

“Tak perlu khawatir, ku hanya terluka Terbiasa tuk pura-pura tertawa. Namun bolehkah sekali aja ku menangis? Sebelum kembali membohongi diri

Ketika kau lelah, berhentilah dulu Beri ruang, beri waktu

Tanpa sadar, setetes air mata terjatuh dari kelopak mata yang sudah mengembung berusaha keras menahan cairan krystal yang meminta keluar.

Haikal menunduk. Tak disangka dirinya akan menangis dihadapan sang sahabatnya. Dirinya merasa gagal, merasa terlihat seperti orang yang sangat rapuh di depan orang lain.

Tapi rasa sakit yang sedang hadir dihidupnya tidak bisa lagi ia tutupi dengan sebuah senyuman dan ucapan “tidak apa-apa.”

Juan merangkul pelan tubuh Haikal yang hancur bersama kepingan-kepingan yang penuh dengan kenangan pahit. “Lo udah kuat Kal selama ini, sekali ini aja-

Juan menggenggam tangan sang sahabat dengan kedua tangannya. Dingin. Rasa sedih yang Juan rasakan melihat sang sahabat yang terlihat putus asa dengan tubuhnya yang terasa sangat dingin tapi tidak dengan hatinya.

Hatinya yang terbakar, sudah menolak untuk menjadi kuat sekali lagi.

-sekali ini aja gua minta lo buat rapuh” ucap Juan.

Ketika semua orang diminta untuk tetap kuat, tetap berjuang melawan rintangan. Disini, ada seorang laki-laki yang justru diminta untuk menyerah. Untuk merasakan kerapuhan yang selama ini ia tahan.

Semesta, Tolong sampaikan ini untuk seorang Haikal Bulan Pratama.

Sekeras apapun ia melawan rintangan, sekuat apapun ia bertahan, jangan lupa bahwa ialah hanya seorang manusia.

Jangan terus-menerus berusaha menunjukkan senyuman di wajahnya. Senyuman yang selalu berhasil menyimpan segala beban dari semesta untuknya.

Untuk Haikal, Jangan pernah merasa gagal menjadi seseorang yang kuat. Karena kamu sudah menjadi sosok yang kuat sejak dulu. Karena kamu mereka mempunyai tempat pulang di Altarok. Karena kamu mereka para pejuang mempunyai tempat untuk melepas kerapuhannya. Dan hanya karena kamu, mereka semua bisa merasakan bahagianya yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya.

“Tolong ambilin tisu Wan” pinta Haikal.

“Udah gitu aja kesananya, ayo”

“Sinting kali ya” Haikal protes, bukannya ditolong malah menyuruh yang engga-engga. “Lo mau mereka tau gua abis nangis?”

“Iya biar keliatan rapuhnya” jawab Juan seadanya.

Dan berakhir Haikal mengambilnya sendiri ke dalam rumah. Sedangkan Juan? Masih sibuk menikmati pemandangan di kala senja hari ini dan masih ditemenani dengan playlist milik Haikal.

“Tapi emang bener Kal omongan lo” ucap Juan tepat saat Haikal telah berdiri di sebelahnya.

“Apaan? omongan yang mana?” orang yang baru saja menginjakkan kakinya di situ jelas terlihat sangat bingung mendengar namanya yang tibaa-tiba disebut.

“Kayaknya gua butuh setahun kenal sama lo baru bisa liat lo nangis”

“Dih” Haikal tidak setuju dengan perkataan Juan. “Gua kalah main fifa aja bisa nangis anying kalo udah 5 – 0”

“Gua yang pertama?” Juan berdiri dari duduknya.

“Iya lah kan gua main ps sama lo doang” jawab Haikal. “Gua ga pernah main fifa sama kale-”

“Gua anak altarok yang pertama ngeliat lo rapuh gini?” Juan memotong perkataan Haikal yang masih saja bisa bercanda di situasi seperti ini.

Haikal terdiam, tidak menyiapkan jawaban apapun untuk pertanyaan Juan kali ini. “Kenapa baru sekarang rapuhnya? Sosok lo yang rapuh gini kemana aja dari kemaren?”

“Engga Wan” jawab Haikal.

“Capek ya? Sakit kan?” Haikal menatap Juan tidak percaya. Tidak percaya mendengar semua perkataan yang baru saja ia dengar bersumber dari sang sahabat.

“Kalo sakit jangan ditahan” lanjut Juan. “Lo tau kan orang pada bilang kalo ada luka jangan ditutup nanti bisa infeksi, nanti lama sembuhnya atau lama keringnya?”

“Sama Kal. Lo udah terlalu banyak punya luka dihidup lo”

“Gua ga maksa lo buat obatin lukanya. Tapi tolong... Tolong jangan ditutupin lagi lukanya”

“Lo nya kuat, kita yang ga kuat ngeliatnya”

Pagi itu, Haikal yang sudah menunggu lama bisa bernapas lega, karena bus yang akan mengantarnya bertemu sang ibu akhirnya datang juga.

Setelah mendapatkan tempat duduk dan menemukan posisi nyaman, ia langsung mengeluarkan telpon genggam miliknya.

“Bang ekaall” suasana hati yang berbahagia terpancar jelas dari nada suara yang terdengar setelah panggilan telpon tersambung.

“Kra, maaf ya gua ga bisa jemput lo ke bandara”

“Santai aja sih bang” “Udah gapapa, temuin dulu ayah pratama. Nanti medalinya gua taro di kamar lo ya. Ntar mau gua pajang bareng lo”

Sebuah senyuman yang tidak terlihat oleh siapa pun terukir di wajah laki-laki berambut hitam-coklat itu. “Iya, tunggu gua ya”

Dan panggilan telpon dimatikan tepat saat kendaraan beroda empat itu berhenti di sebuah halte.

Disambutlah dengan senyuman dan pelukan yang belum lama ia rasakan. Sambutan yang sederhana tapi entah kenapa membuat Haikal merasa sangat nyaman.

“Haikal, kamu sudah siap nak?”

“Sudah bu” . . . Sebuah kalimat dengan tulisan berukuran besar terpampang jelas di sisi atas gedung berwarna abu-abu merah tersebut.

“Lembaga pemasyarakatan cipinang” Haikal membacanya dengan sangat pelan nyaris tidak mengeluarkan suara. Lalu ditatapnya sang ibu dengan penuh tanya.

Apa maksudnya? Mengapa sang ibu membawanya kesini?

“Bu” intonasi suara Haikal berubah. Suara yang bergetar akibat sesuatu yang terlintas secara tiba-tiba dalam pikirannya.

Sang ibu hanya menatap Haikal tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Pandangan ibu semakin mengecil akibat sinar matahari yang secara langsung menusuk indra pengelihatannya.

“Bu, jangan bercanda” ujar Haikal. “Ayah Haikal ga mungkin ada di sini” ujarnya lagi, sedikit tertawa.

Sebuah tawa menahan luka sekaligus tidak percaya. Tidak mau percaya lebih tepatnya.

“Nak..” panggil sang ibu diselingi dengan isakan tangis yang entah kapan mulai terdengar.

“Kamu anak kuat sayang... Kamu kuat..” di genggamnya lengan Haikal dengan sangat erat.

“Haikal jangan seperti ini...” tidak hanya sampai dibibir dan suara. Tubuh kecil sang ibu sudah mulai bergetar, menggenggam tangan Haikal dengan penuh rasa khawatir.

“Kamu anak kuat nak” secara perlahan dan masih dengan tangisan yang menyebar ke seluruh tubuh, sang ibu mengangkat kedua tangannya dan memegang wajah penuh air mata itu.

“Haikal kamu anak yang sangat kuat, ya?” tangisan rasa sakit dari sang ibu membuat Haikal mempercayai apa yang dirinya pikirkan sedari tadi.

Ayahnya masuk penjara. Ayahnya seorang narapidana. Ayah Pratama yang selama ini Haikal cari ada di tempat yang seharusnya tidak di singgahi oleh siapa pun.

“Haikal dengerin ibu” ujarnya.

“Ayah orang jahat bu?” tanya Haikal penuh rasa takut.

Sang ibu menggeleng cepat, “Haikal dengerin ibu.”

Haikal lagi-lagi tidak sanggup dengan semua ini. Ternyata memang lebih baik tidak pernah berdamai dengan semesta jika pada akhirnya harus bertemu dengan rintangan seperti ini.

Haikal baru saja ingin melangkahkan kakinya maju menuju garis finish, tapi seakan-akan semesta menyuruh Haikal untuk menyerah sebelum berjuang.

“Bu...” panggil Haikal pelan, sangat pelan. “Haikal mau pulang” ucapan terakhir dari Haikal terdengar jelas bahwa ia sama sekali tidak menggambarkan emosi apapun saat ini.

“Engga Haikal” sang ibu kembali mengangkat kepala Haikal dan menatapnya. “Ibu bilang apa? Kamu boleh nangis, boleh rapuh.. boleh banget. Tapi jangan pernah menurunkan dagu kamu. Kalau kamu tidak salah, jangan pernah menunduk. Itu membuat kamu terlihat lemah di mata semua orang”

“Haikal anak hebat, ibu tau itu. Sekarang Haikal mau kan masuk ke dalam? Kamu harus berdamai dengan semestamu Haikal. Jangan di tunda-tunda lagi”

“Kalo memang semua orang akan mempunyai happy ending-nya masing-masing, Haikal mau ya berjuang sekali lagi? Haikal harus tau makna berjuang yang sebenarnya”

“Bukan berjuang mencapai garis finish dengan menahan luka. Tapi berjuang melawan luka sampai terlihat garis finish di depan mata”

Jam telah menunjukkan pukul 8 pagi di Belanda. Cekra terbangun dari kursi di ruang ganti khusus Cavlez untuk bersiap-siap pergi ke lapangan pertandingan.

“Cekraza! oefenen op het tweede veld, okay?” “Cekraza, latihan di lapangan kedua, oke?”

Sang pemilik nama hanya mengangguk dan mengangkat jempolnya kepada sang pelatih yang berasal dari negara ini.

Setiap langkah kaki yang hanya terdengar oleh sang pemain basket itu, di setiap langkah itulah ia merasakan detak jantungnya yang kian lama semakin cepat.

Bahkan sangat cepat.

“Kra, liat deh!” Langkah kaki yang sedari tadi berjalan mengikuti langkah di depannya tiba-tiba berhenti karena panggilan itu.

Cekra memutar tubuhnya ke arah yang berlawanan lalu menghampiri sang sahabat yang memanggilnya, Heranza.

“Yang menang dibabak ini bakal jadi lawan kita nanti” Sepasang netra milik Heranza masih terus-menerus memperhatikan pertandingan di hadapannya.

Tetapi, perkataan Cekra berhasil membuat pandangan Heranza tertuju pada sahabatnya.

“Terus?” katanya.

Heranza bingung. Orang di sebelahnya tidak merasa takut atau tegang sedikitpun? Bagaimana bisa?

“Gimana sih lo! piala Singapura lo bawa pulang tapi liat lawan jago dikit mundur” jawab Cekra seakan-akan tahu apa yang ada di dalam pikiran Heranza. . . .

Pertandingan kedua selesai. Club basket Raptors yang mewakili negara Kanada berhasil memenangkan dua pertandingan berturut-turut.

Untuk pertandingan ketiga, Cavlez akan bermain untuk pertama kalinya dan akan melawan Raptors yang telah bermain 2 pertandingan sebelumnya.

Telapak tangan Cekra sudah mulai terasa dingin. Entah kenapa tangannya juga ikut bergetar pelan namun cepat. Cekra tak dapat menyembunyikan rasa gugupnya.

Rasa gugup itu terpampang jelas di wajahnya. Rasa khawatir akan timnya yang memiliki dia sebagai center.

Heranza menggenggam tangan Cekra dengan kedua tangannya, “Piala Singapura bisa lo bawa pulang. Piala Belanda bisa lo bawa pulang juga kan?” ucapnya tepat di telinga Cekra yang terus berusaha menutup matanya, meredakan rasa gugupnya.

Perkataan Heranza berhasil menenangkan rasa gugup Cekra walaupun sedikit.

“Guys! laten we samenkomen!” “Ayo kita kumpul!”

Semua berkumpul termasuk Cekra. Membuat lingkaran kecil yang berisi ketujuh pemain dan kedua pelatihnya.

Menyerahkan tangan masing-masing dan menumpuknya secara bertingkat. “Prayer begins”

Semesta. Nama yang selalu Cekra sebut semenjak mengenal Altarok. Nama yang selalu ada disetiap keluh kesah yang Cekra utarakan.

Semesta, ini Cekra. Laki-laki yang selalu mengeluh padamu dalam diam dan hanya mendengarkan perkataan anak Altarok tanpa menjawabnya.

Saat ini Cekra sedang berada di tiga langkah terakhir sebelum benar-benar samapai di garis finish . Sendiri. Ia memperjuangkan segala hal itu sendiri.

Segala hal yang selalu ia sebut mimpi. Mimpi terindah yang tidak akan mau ia lepas apapun alasannya. Tidak akan ia lepas dengan cuma-cuma.

Tidak. Bukan mimpi itu yang sebenarnya Cekra perjuangkan.

Tapi sosok laki-laki yang selalu berada di belakangnya. Yang selalu menjadi alasannya untuk tidak latihan basket sepulang sekolah.

Sosok laki-laki yang harus ia perjuangkan dan kejar untuk membawanya kembali ke rumah. Ke pelukannya yang selama ini terasa kosong.

Papa. Hendro Alvantano.

Cekra berhasil membawa nama sang ayah menjadi alasannya untuk memenangkan piala pertandingan kali ini.

Sang ayah yang selalu menjadi alasan ia tidak bermain basket, kini menjadi satu-satunya alasan dan tujuan ia bermain basket di sini.

Di tempat ia berada sekarang. Semua berkat Papa.

Papa yang selalu menunggu kepulangan Cekra meskipun hal tersebut tidak pernah terbayangkan dipikirannya sekalipun.

Pah, setelah semua ini berakhir. Setelah perjuangan yang papa dan Cekra lewati sudah berakhir, tolong bangun. Apapun hasil pertandingan Cekra nanti, tolong sambut Cekra dengan tatapan hangat bukan mata yang tertutup dengan damai.

Pah, ini Cekra Alvantano, satu-satunya atlet basket kebanggan papa ingin izin untuk memulai perjuangan terakhirnya dan penerbangan terakhirnya untuk mencapai mimpinya sekali lagi.

Dimanapun Cekra mendarat nantinya, entah di tempat tujuan atau di tempat lain. Cekra harap papa ada di sana.

Cekra akan lari sekencang mungkin untuk memeluk papa.

Wish me luck Pah

Malam begitu tenang mengiringi keindahan suasana Altarok di malam hari. Udara terasa dingin menyegarkan. Sesekali burung malam terbang penuh harapan.

Langit berwarna gelap kelabu dihiasi bintang-bintang bertebaran menemani raja malam yang bersinar terang menebar cahaya berkilauan.

Pohon-pohon hijau tumbuh subur dimana-mana dan lampu gedung kota yang selalu siap menyinari malam. Pemandangan yang akan selalu terlihat setiap berada di Altarok.

Pemandangan indah yang akan selalu berhasil membuat setiap manusia terhanyut dalam perasaan tenang dan nyaman.

Kini berada di halaman belakang Altarok.

Tempat yang selalu menjadi wadah kerapuhan ketujuh pejuang itu. Tempat yang akan menjadi sejarah di kehidupan mereka masing-masing.

Dan tempat yang mengetahui adanya tangisan di balik topeng bahagia mereka.

“Kak” Cekra menggantungkan kalimatnya menunggu sang kakak duduk di sampingnya.

“Gue mau menang” lanjutnya.

Haikal membanting pelan tubuhnya di kursi setelah berhasil mengambil sebungkus Lays dari meja.

“Menangin lah” ujarnya santai sambil merobek bungkus makanan dengan cepat.

Cekra menghembuskan napasnya berat.

“Cepet banget ya-

perkataan Haikal membuat Cekra kembali menatap sang kakak

-perasaan baru kemaren lo berangkat ngejar medali ke Singapura”

“Sekarang udah ke Belanda aja” Haikal menatapnya balik. Mengulurkan tangannya, memberi isyarat agar sang adik menggenggamnya balik.

“Sini tangannya”

Dengan perlahan Cekra mengulurkan tangannya dan berhasil mendarat di atas telapak tangan sang kakak.

Tiba-tiba Haikal memejamkan matanya, masih dengan posisi genggaman erat mereka.

“Dah” Haikal membuka matanya. “Sono! Masih aja pegangan. Mau nyebrang lo?”

“LAH” “Terus ngapain tadi merem?”

“Doa mau nyantet lo”

“ANJING LO BANG” nada suara Cekra menaik satu oktaf bersamaan dengan keripik yang mendarat di tubuh Haikal akibat lemparan dari Cekra.

“BRENGSEK! KOK MAIN LEMPAR AJA LO??!” teriak Haikal tidak terima.

“Gua bilangin Juan lo. Baju ini kan dia yang nyuci”

“Hah boong” jawab Cekra panik. Kalau sampai iya beneran Juan yang mencucinya, kelar hidupnya.

“Lah ngapain boong. Kan hari ini jadwal Juan nyuci” jawab Haikal penuh percaya diri. “Mampus lo”

“Gua ga ikut-ikutan ya” Haikal mulai melangkahkan kakinya menjauh mundur. “Semoga muka lo nggak biru-biru” kalimat terakhir dari Haikal sebelum benar-benar pergi dari situ.

“Sialan” “Padahal kan dia ya yang ngajak cari angin keluar. Aneh dah lo bang” “Yeu dasar ga jelas!” ucap Cekra entah kepada siapa.

Cekra kembali ke masalah awal. Bukan. Bukan masalah yang dia ingin menang.

Tapi masalah yang...

“WOI KRA!” teriak Juan.

nah yang ini...

“Mampus lah gua anying. Udah ini mah keburu cedera di sini sebelum tanding” dengan sangat buru-buru Cekra membersihkan meja halaman belakang.

“Ah bang Haikal ga tanggung jawab banget dah abis berantakin”

“KRA! DENGER GA SIH??!”

“IYA IYA INI LAGI JALAN”

Ya Tuhan, semoga ga patah tulang, Cekra masih mau hidup, amin. Batin Cekra.

Angin dingin berembus kencang, siapa sangka cahaya panas dari langit akan kalah dengan sejuknya angin yang bertiup.

Haikal memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket, berusaha menemukan posisi yang nyaman.

Tidak lama setelah itu, Haikal disambut hangat oleh sebuah senyuman. Senyuman yang sudah lama hilang dari ingatannya namun tetap terasa familiar.

Sesampainya di halte bus ini, tempat dimana sang Ibu meminta untuk bertemu. Haikal menyambut sang Ibu dengan pelukan penuh rasa rindu.

Rasa rindu yang selalu terpendam selama bertahun-tahun. Rasa rindu yang akhirnya terbayarkan hanya dengan sebuah pelukan singkat ini.

“Ibu sehat?” ujar Haikal, masih dengan senyuman manis terpampang jelas di wajahnya.

Sang Ibu mengangguk pelan dan tidak lupa menunjukkan senyuman bangganya pada Haikal.

“Kamu sudah siap bertemu dengan abyah Pratama?” tanya sang Ibu berharap mendapatkan jawaban persetujuan.

“Ayah beneran masih ada Bu?” Haikal menatap lawan bicaranya dengan pandangan sendu. Nada suaranya berubah pelan dan ia menghembuskan napas dengan sangat berat seperti baru saja melepas beban terberat di hidupnya.

“Ada nak” nada suara sang Ibu sudah tidak bisa ditutupi lagi. Nada suara yang mulai terdengar bergetar hanya karena menatap sang laki-laki kuat di hadapannya.

Mata Haikal jelas tidak bisa menyembunyikan kalau ia sedang sedih sampai-sampai putra Pratama itu berhasil membuat kelopak matanya menahan air mata yang sudah meminta untuk jatuh.

“Bu...” Haikal menjatuhkan dirinya pada bangku halte, tidak kuat menahan emosi yang bahkan Haikal sendiri tidak mengerti emosi apa yang sedang ia rasakan saat ini.

Terasa seperti dunia akan runtuh detik itu juga. Dunia Haikal akan runtuh. Atau bahkan sudah lama runtuh?

Langit mulai memancarkan warna abu-abu kelam, pertanda bahwa hujan akan turun sebentar lagi.

Senyuman hangat itu hilang, kalaupun terlukis itu hanya semu belaka sebagai tanda rasa rindu kepada sang ibu.

Siang itu, ia habiskan dengan memutar kembali setiap detil yang mampu ia ingat tentang dirinya yang dulu melewati rintangan dunia hanya seorang diri.

“Maaf.. Bu...” keluh Haikal. Dengan tubuh berposisi menunduk dan tangan yang masih menggenggam erat sang Ibu, Haikal mengucapkan kata maaf.

Maaf untuk tidak bisa menjadi kuat saat ini. Maaf sudah karena gagal menahan air mata ini.

“Tidak apa-apa...”

Sang Ibu memeluk Haikal. Meletakkan tangannya di kepala Haikal, mengelusnya pelan.

“Tidak apa-apa Nak...” tidak tahan dengan rasa yang ia rasanya dalam hati, sang Ibu mulai menangis dengan Haikal yang berada di dekapannya.

Rambut hitam yang memilik sedikit corak berwarna coklat itu menjadi alas air mata itu terjatuh.

“Kamu sudah berusaha sekuat mungkin” “Kamu masih Haikal Pratama yang Ibu kenal” “Tidak apa-apa Nak...” “Biar semesta yang membayar setiap tetesan air mata kamu di masa depan”

Sang Ibu kembali mengelus punggung Haikal berkali-kali. Dan, kata “tidak apa-apa” tidak pernah lupa diucapkan oleh sang Ibu di setiap sentuhan lembut darinya.

“Tidak apa-apa Haikal. Kamu hebat”