Mendaratkan Langkah Terakhir
Sore hari itu Jikaltara pulang ke rumah. Pintu berwarna putih pucat bernuansa kayu kini sudah menjadi pandangan Jikal satu-satunya di depan matanya.
Entah apa yang membuat langkah kakinya terhenti di ambang pintu. Dari balik kaca, netranya melekat pada seorang wanita paruh baya yang tengah duduk damai di meja makan dengan tatapan yang kosong.
Ada perasaan cemas disana, wanita paruh baya kesayangannya, sosok wanita yang telah menjalankan peran ibu selama bertahun-tahun, wanita paruh baya yang bahkan sama sekali tak pernah memanggil namanya dan melontarkan senyuman untuknya.
Tetapi rasa sayang yang begitu besarnya untuk sang ibu tidak akan membuat seorang Jikaltara melangkah mundur dari tempat dia berdiri.
“Ibun makan dulu ya, udah waktunya makan siang nih” ucap Jikal tanpa memperlihatkan dirinya dari segala sudut mata Ibun.
Selama Jikal menyuapi makan siang sang Ibu, selama itu juga dia menahan isakan tangisnya di balik masker yang dia pakai.
Bahkan ketika orang yang Jikal sayang sudah berada di depan mata, dirinya masih belum bisa untuk memeluknya. Pertemuan yang terasa seperti perpisahan.
Seseorang yang selama ini terus menjadi alasan Jikal untuk tetap bertahan sudah ada disini. Di hadapannya.
Tetapi tidak dengan perannya.... tak dengan sifat hangatnya.... melainkan hanya dengan raganya. Hadir sebagai orang asing, bukan sebagai seorang Ibu untuknya.
Tepat pukul 4 sore, setelah Jikal memikirkannya dengan sangat matang. Jikal sudah siap untuk berbicara langsung dengan Ibu kandungnya.
“Bun...” Jikal mulai melangkahkan kakinya memasuki wilayah pengelihatan Ibun.
“Ibun inget ga sama Jikaltara? Kafkama Jikaltara”
Sang Ibu berdiri dan langsung melangkah menjauh dari Jikal. Wajahnya berubah tajam seperti sedang menahan emosi yang akan meluap dalam hitungan detik.
Tapi segala kejadian itu sudah Jikal bayangkan sebelum akhirnya memutuskan untuk angkat bicara. Ini resikonya.
Ini resiko yang harus ia tanggung dengan hati yang terasa sakit sekali. “Bun, ini Jikaltara. Anak Ibun” Jikal perlahan menghampiri sang Ibu.
“Kamu ngomong apa?!! Kamu siapa!!” Amarah dan teriakkan yang Jikal tunggu akhirnya terdengar olehnya. Jikal yakin, Jikal sudah siap seratus persen untuk menghadapi resiko-resiko ke depannya.
“Tutup mulut kamu!! Jangan ganggu saya lagi!!!!” suara teriakan dengan nada bergetar terus menggema di rumah bercat krem itu.
Ibun melangkah lebih jauh dari Jikal, “Saya tidak mau dengar kamu!! Saya tidak mau dengar suara kamu!!!”
Jikal menahan satu lengan sang Ibu, menggenggamnya sangat erat seperti tidak ada tanda-tanda untuk melepasnya dalam waktu dekat. “Ini Jikaltara, Ibun tau itu”
Genggaman hangat itu yang saat ini sedang sang Ibu lepaskan dengan susah payah. Segala tenaga miliknya ia tumpahkan hanya demi melepaskan genggaman itu.
“Bun! Denger Jikal!” Jikal masih terus menggenggam tangan sang Ibu. Meski terlepas tanpa ragu Jikal akan langsung menggenggamnya kembali.
“Jikal mau ngomong, tolong kasih kesempa-”
P L A K !
Satu tamparan hebat mendarat di pipi kiri Jikal. Genggaman hangat seorang anak kini sudah terlepas dari sang Ibu. Harapan akan mendaptkan garis finish hilang dengan cepat.
Mulut yang tadinya ingin terus berbicara untuk menjelaskan semua secara perlahan kini sudah bungkam.
Jikal bersimpuh di hadapan sang Ibu. Membanting keras kedua lututnya pada ubin yang dingin. Kemudian menundukkan kepalanya.
“Gapapa Bun. Ibun tampar Jikal” “Asal Ibun mau panggil aku Jikal”
Tamparan hingga pukulan tiada henti menengai pundak dan kepala Jikaltara. Rasa kecewa dan sakit sangat memenuhi keadaannya sekarang.
Tubuhnya tersungkur akibat dorongan kuat dari sang Ibu. Tetapi dengan cepat Jikal bangun lagi dan lanjut menekukkan lututnya.
“Kamu bukan Jikaltara!!” teriak Ibun di sela-sela tangisannya. Kedua bola matanya tidak berbohong, dirinya memang menatap Jikaltara dengan tatapan tidak percaya.
Tatapan yang berisyarat 'tidak mau melihat dirimu lagi'.
“Pukul Jikal Bun!”
“Kamu ngerti ga sih?!!”
Jikal kembali bangkit agar bisa tetap berlutut di hadapan Ibun. “Pukul Jikal Bun! Pukul”
Tamparan hebat masih dilayangkan Ibun pada anak semata wayangnya itu. Mendorongnya keras tanpa rasa belas kasihan. Benar-benar perasaan benci yang saat ini Ibun rasakan.
“Saya tidak mau dengar lagi!”
Dorongan keras itu membuat Jikal kembali berlutut di tempatnya.
“Jangan sebut-sebut nama itu lagi!!!”
Jikal kembali berlutut. Jikal tetap akan terus berlutut, berlutut, dan berlutut. Sekencang apapun tamparan sang Ibu untuknya, dirinya akan kuat menahannya jika itu bisa membuat sang Ibu menyebut namanya.
“Kamu. Jangan. Sebut. Nama. Itu. Lagi” kalimat terakhir sang Ibu yang ia ucapkan setiap katanya dengan penuh penekanan. Ucapnya sebelum benar-benar pergi mengunci diri di kamar.
Tubuh Jikal bergetar hebat. Memang. Dirinya memang sudah siap menghadapi segala resiko, termasuk ini. Tapi,
Dirinya belum siap untuk menghadapi rasa sakit yang hadir setelah melewati resiko tersebut.
Perlahan Jikal meletakkan kepalanya pada ubin. Menangis hebat dan sangat hebat.
Tangannya yang sibuk memukul-mukul ubin dengan sangat keras dan kepalanya yang masih saja ia benturkan dengan tangisan yang masih terdengar.
Ini. Ini dirinya sebelum kenal dengan Altarok. Ini dirinya yang terlihat sangat hancur dan berantakan. Dan ternyata ini yang menjadi saksi kehancuran dunianya.
Jikal menggerogoti saku celananya dan berusaha menelpon seseorang. “K-kak.. Kak t-to...tolong”
“Le, lo kenapa?” “Kale, lo denger suara gu-”
“Kak... Kale b-beneran ga kuat” “Sakit k-kak.... kak... sakit banget..demi Tuhan”
“Kenapa? Lo kenapa? Ibun?” “Coba ngomong pelan-pelan, jangan bikin gua khawatir”
“Tolong kak... to-tolongin...” “D-disini ga enak... Kale ga-gama-gakuat...” “T-tolong kak... Kale mau ke garis-s fi-nish bareng”
“Iya gua kesana sekarang” “Kale, denger gua kan?” “Ini gua lagi otw kesana, lo jangan ngapa-ngapain” “Jangan dimatiin telponnya”
“K-kak-....”
“Iya Le, bareng. Kita ke garis finish bareng ya” “Jangan nyerah disini” “Tangan gua bisa lo pegang buat bangkit” “Ya Le?” “Jikaltara denger abang kan? “Jangan dimatiin telponnya, abang di jalan”